Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2013

Pemuka Agama yang Bijakasana

Beberapa hari ini banyak orang yang dikejutkan dengan pernyataan mudurnya Bapak Paus di Vatikan sana. Keputusan ini dianggap tidak biasa karena pada umumnya jabatan Paus ini adalah jabatan seumur hidup. Di Indonesia sendiri, beberapa hari yang lalu muncul sebuah berita ditemukannya kerangka seorang mantan suter dan dua orang janin yang sedang dikandungnya, rupanya mantan biarawati tersebut dibunuh oleh kekasihnya yang pada waktu itu adalah seorang Pastur. Di sebuah komik Jepang yang saya baca, diceritakan ada orang-orang yang heran ketika seseorang dengan penampilan yang anak muda banget dengan kaos merk Nike, gondrong dan bersepatu boot adalah seorang pendeta kuil [1] . Keheranan para tokoh komik itu adalah yang sama dengan yang saya rasakan ketika saya mendengar berita mengenai pembunuhan yang dilakukan oleh Pastur tersebut. Pada umumnya kita pasti memiliki suatu kerangka yang membingkai pola pikir kita mengenai para pemuka agama dari agama yang kita anut. Dalam kasus saya, p

Kelas Inspirasi

Rabu, 20 Februari 2013. Jam enam lewat beberapa menit, serombongan profesional muda sudah berkumpul di depan kantor kecamatan Pakem. Rombongan yang terdiri dari dua belas orang ini kemudian melanjutkan perjalanan mereka menuju ke Srunen, Cangkringan. Jalanan yang masih basah sisa hujan semalam, Gunung Merapi yang berdiri gagah menemani perjalanan mereka selama hampir 30 menit. Jarak yang ditempuh hanya sekitar sepuluh kilometer, tetapi banyaknya kondisi jalan kurang baik membuat perjalanan ini menjadi lebih sulit ditempuh. Hampir setengah perjalanan harus ditempuh di jalanan yang berlubang-lubang dan banyak genangan yang membuat para pengendara motor harus sangat berhati-hati jika tidak ingin tergelincir. Selain itu banyaknya truk-truk yang sarat pasir hasil dari Kali Gendol membuat perjalanan ini semakin menantang untuk ditempuh. Pukul tujuh, rombongan ini sampai di SD Negeri Srunen. SD yang tampak seperti baru muncul dari katalog iklan semen. Bangunan baru dengan ruangan-ru

Sofa Merah Marun

Mau diakui atau tidak, tetapi segalanya berawal dari ruang tamu ini. Ruangan yang hanya seluas 9 m 2 , dengan sofa berbantalan beludru merah marun. Ruangan yang selalu didominasi asap rokok yang diembuskan oleh Ethan, sahabatku. Eh, bukan benar-benar sahabatku pada awalnya. Tapi sekarang dia sahabatku, mentorku, konselorku dan bullier -ku . Lima bulan yang lalu tepatnya, aku mendamparkan diri di sofa merah marun itu. Telentang dan bercerita, dengan ditemani segelas teh dan Ethan dengan sebungkus LA merahnya. “Iya, aku tahu kalau kami lebih baik putus. Iya, aku tahu kalau dilanjutkan juga tidak akan sampai ke mana pun. Aku tahu…” “Tapi…??” Ethan bertanya dengan nada menyebalkannya seperti biasa. Seperti biasa. “Tapi sakit.” Tidak ada air mata yang menetes di ruang tamu Ethan pagi itu. Tidak banyak juga rahasia yang kuungkap dari hubunganku dengan sahabatnya yang sudah berlangsung selama dua tahun ini. Bahkan sekarang, tidak banyak yang tersisa di ingatanku mengenai perca