Postingan

Menampilkan postingan dari 2014

Dinamika Psikologis dalam Latihan Kerja Ilmiah

Pagi tadi dengan enggan saya beranjak keluar dari kamar untuk berangkat kuliah. Jam delapan pagi dan gerimis sisa hujan dini hari masih masih belum mau beranjak pergi. Dan berkumpulah kami, tidak lebih dari sepuluh orang yang berkumpul pada awalnya. Orang-orang yang masih menyeret luka yang dibawa setelah peperangan dalam ujian proposal kemarin. Kelas dimulai, dan ternyata Romo Dosen tidak memulainya seperti apa yang saya bayangkan sebelumnya. Beliau tidak menanyakan bagaimana tulisannya, bagaimana tema-temanya. bagaimana rumusan masalahnya. Ditanyanya bagaimana perasaan kami. Apa yang kami rasakan setelah proses penulisan dan ujian berlangsung?

Mimpi untuk Mapan

Akhir-akhir ini rumah dan ingin mapan sedang menjadi isu penting dalam hidup saya selain proposal yang deadlinya semakin mendekat. Bapak Kos mengaku bahwa dia baru menyadari bahwa kamar saya yang seluam 5x7m itu seharusmnya menjadi dua kamar dan untuk ditinggali dua orang juga. Dari kesadaran yang baru tumbuh tersebutlah Bapak Kos berencana membongkar kamar saya menjadi dua kamar. Baiklah sebenarnya, ini rumah beliau dan ini kamar beliau, saya menghargai hak kepemilikannya itu. Tetapi caranya yang membuat saya begitu frustasi. Ahh… sebelumnya beerapa aturannya juga juga membuat saya frustasi. Pada awalnya kos ini baik-baik saja, teman-teman saya bisa main dengan bebas, teman-teman perempuan saya juga bisa menginap dengan nyaman dan senang. Dulu malah beberapa orang ada yang menginap jangka panjang di kosan ini. Ada pula yang bawa kulkas, tv, komputer, tanpa ada kesepakatan untuk menambah biaya listrik. Tidak ada kesepakatan sodara-sodara.

Semester Neraka

Gambar
Ahhh... bagaimanapun juga ini terasa sebagai semester neraka buat saya dan mungkin buat teman-teman saya yang lain juga. Neraka dengan nama proposal tesis.  Semester ini ada tiga mata kuliah yang isi mata kuliahnya hanya mengublek-ublek proposal kami masing-masing. Mengumpulkan tulisan, membaca, mendiskusikan, dicecar dan dibongkar lagi idenya, dibongkar lagi tulisannya, membaca buku lain lagi, rasanya siklusnya seperti itu terus menerus. Baik bagi yang sudah mendapatkan pertanyaan penelitian yang sudah pasti, tetapi bagi yang masih mbingungi kaya saya ini, kuliah ini jadi mulai terasa menyiksa. Satu jam dicecar di kelas, dibolak-balik logikanya itu lelah, Sodara. Kami ini sudah mulai merasa terkuras. Banyak dari kami yang mulai membolos karena kelelahan dan ketakutan pastinya. Saya juga. Mulai ada yang menghilangkan dompet, melupakan kunci motor, dan yang pasti jam tidur kami mulai bertambah panjang. Withdrawl mungkin ya kalau menurut mekanisme pertahanan diri psikologi. Kemud

Kalo Bosen, Enaknya Ngapain Eeaaa???

  Akhir-akhir ini saya sering mendapat curhat teman-teman yang temanya mirip-mirip lah. Paling banyak adalah bosan dengan hidup dan kerjaannya. Ya bukan berarti si teman ini bosen dan pengen pindah dari hidup yang sekarang ke hidup yang lain sih. Tapi lebih bosen dengan apa yang dilakukan sekarang ini. Bosen dengan rutinitas dan hidup sehari-hari yang dirasa begitu-gitu melulu. Bangun pagi, ngantor, pulang, persiapan buat ngator, tidur, dan begitu terus. Masih mending kalau ada kegiatan yang lain di luar kantor. Paling nggak ada kegiatan yang bikin hidup terasa lebih berwarna. Masih mendingan kalau gajinya besar di kantor, paling ngga bosennya nggak sia-sia, dan kalau luang ada kesibukan buat menghabiskan uang yang didapat. Tragisnya kalau udah bosen, terus kerja lembur terus nggak sempet ngapa-ngapain lagi, terus gajinya ngepas pulak. Plus di kator dapet abuse dari atasan, sudahlah…

TK Kyai Mojo

Gambar
Pendidikan di Indonesia ini memang memiliki beragam rupa. Saya secara kebetulan bergaul dan kecempung dalam lingkungan yang nggak jauh-jauh dari masalah pendidikan dan perkembangan anak-anak ini. Terutama anak-anak di taman kanak-kanak dan pendidikan dasar. Dari pergaulan saya ini saya jadi akrab dan cukup tau dengan beberapa macam pendidikan yang berkembang atau tidak berkembang saat ini.  Beberapa sekolah menjual kurikulum impor, inklusi, bilingual atau trilingual, dan memiliki berbagai fasilitas yang kelas satu. Beberapa sekolah lain masih berjibaku dengan jumlah murid yang semakin menipis, dan kondisi keuangan yang juga tipis. Kali ini saya berdiri di sisi TK Kyai Mojo, sekolah dengan murid dan keadaan yang begitulah...

Emang Kami Misa?

Gambar
Beberapa hari ini saya mengikuti persiapan seorang teman dalam mempersiapkan Ekaristi Kaum Muda atau EKM di desanya. Persiapan dan segala hal tentang EKM ini membawa ingatan saya pada sebuah EKM yang saya ikuti beberapa bulan yang lalu yang menimbulkan perdebatan dan meriah dengan berbagai artikel pro-kontra yang mengikutinya. Saya sendiri nggak dong dengan masalah Liturgi yang diperdebatkan. Saya dan OMK saya di Temanggung bertaun-tahun yang lalu juga pernah membuat EKM kami sendiri. Dua yang saya ingat betul. Satu untuk tahun baru 2006, satu lagi untuk hari Valentine 2006.

Analisis Artikel Jokowi dan Perpustakaan

Gambar
Ini adalah tulisan yang dikumpulkan kepada Bapak Haryatmoko sebagai tugas akhir semester mata kuliah Hermeneutika. Jokowi danPerpustakaan JJ Rizal, Sejarawan, @JJRizal, Majalah Gatra, 19-25 Juni 2014 diambil dari twitter @JJRizal Adakah cara yang paling gampang untuk mengukur sebuah kota beradab atau tidak? Pertanyaan ini muncul pada hari mulia,  World Book Day , di Museum Nasional Jakarta 23 April lalu dalam diskusi memperingati Kartini. Siapapun tahu, Kartini dan buku seperti gigi dengan gusi; dekat sekali.

Pertanyakan Sejarahmu!

Gambar
Judul buku: The 100 Year Old Man Who Climbed Out of the Window and Disappeared Pengarang: Jonas Jonasson Halaman: 508 halaman isi Penerbit: Bentang Pustaka Menarik! Itulah kata yang muncul saat saya melihat buku ini untuk pertama kalinya, apalagi setelah saya membaca sinopsis di bagian belakang buku hijau ini.

Panjang Usia Mbah Jan

Renta usianya, entah berapa pastinya aku tidak pernah bertanya. Wajah legamnya sudah penuh keriput, pendengarannya pun sudah banyak berkurang, tetapi pijatannya masih mantap terasa, pijatan yang sering diberikannya secara cuma-cuma kepada kami. Mbah Jan namanya, semua orang memanggilnya begitu. Aku tidak tahu siapa nama lengkapnya, untuk ini aku juga tidak pernah bertanya. Mungkin aku tidak cukup peduli dengan keberadaanya, hingga aku tidak cukup ingin tahu siapa dirinya, tapi aku tahu beberapa hal mengenai dirinya. Beberapa hari yang lalu aku main lagi ke Pingit. Awal tahun ajaran seperti ini selalu memberi kegiatan ekstra untuk kulakukan di Pingit. Ada beberapa administrasi yang harus diselesaikan, mungkin juga ada beberapa anak yang harus didaftarkan masuk sekolah. Kegiatan yang sudah kulakukan selama beberpa tahun belakangan ini. Dan siang kemarin aku datang lagi ke Pingit. Siang hari di awal puasa yang panas.

Ayo Nyoblos!

Gambar
Pemilu tinggal hitungan hari lagi dan saya sudah tidak sabar lagi menanti tanggal 9 Juli ini datang. Bukan kenapa-kenapa, tapi saya sudah mulai muak dengan semua perdebatan dan perselisihan yang menyertai semua pemilu ini. Sepanjang ingatan, ini adalah pemilu yang paling heboh yang pernah saya rasakan. Semua orang membicarakan pemilu, dari media yang terlihat jelas memihak, sinetron yang menyelipkan kampanye pada dialognya, semua surat terbuka yang balas membalas di media sosial, sampai berbagai media kampanye yang tersebar di segala sudut. Kreatif memang, tapi tetap saja bikin muak. Di sisi lain, saya juga ikut deg-degan dan harap-harap cemas dengan hasil pemilunya. Bagaimana pemilu nanti akan berlangsung? Siapa yang menang? Apakah akan ada kekacauan nanti setelah Pemilu selesai, melihat proses perjalanannya saja sudah begini panas. Dan semakin mendekat ke tanggal sembilan, ketakutan yang saya rasakan semakin terasa jelas.

Berteman yang Begitu Menyenangkan

Sudah lama banget saya pingin nulis dengan tema ini, tapi entah kenapa tidak jadi-jadi juga sampai sekarang. Pernah dulu jadi satu tulisan tapi urung saya terbitkan. Dua hari ini tema ini balik lagi di kepala saya, dan saya putuskan untuk mencoba menuliskannya dan mempublikasikannya. Dulu saya adalah seorang yang takut dengan manusia lain. Teman-teman yang mengenal saya lebih dari tiga tahun pasti ingat bagaimana saya dulu. Saya tidak suka menyapa orang lain, apa lagi dengan tipikal wajah yang cenderung galak membuat orang-oarang juga tampaknya jadi enggan buat duluan menyapa saya. Jadi tambah anti sosiallah saya kala itu. Rumah saya itu toko, dan selama bertahun-tahun saya tidak pernah berdiri di toko untuk membantu Mamah saya. Menjadi pusat perhatian di toko itu begitu menakutkan buat saya. Saya juga akan memilih menghindar kalau berpapasan dengan orang yang saya kenal dengan tanggung. Saya bisa berlangganan di suatu warung atau rental dan tidak pernah bertukar percakapan dengan pen

Dilemanya Warga Budaya Konsumsi

Gambar
Seminar Seminar “Dilema Warga Budaya (Konsumsi) & Ruang Publik” yang diadakan sama IRB baru saja selesai. Rasanya masih heboh dalam ingatan bagaimana rempongnya mempersiapkan itu. Dari bahan-bahan publikasinya, pendaftarannya, pembicaranya, sampai materinya. Sebenarnya saya nggak ngapa-ngapain lo dengan semua itu. Yang bikin TOR, poster, sertifikat, backdrop, daftar peserta, dan materi semuanya bukan saya. Saya cuma ikut mbingungi aja sebenarnya… Naaa… tapi saya bukan mau cerita soal seminarnya kok kali ini. Saya cuma mau cerita kalau saya tadi habis jalan-jalan ke Amplaz dan saya langsung ingat sama materi seminar yang membahas warga budaya konsumsi itu. Selain itu, saya sebagai warga IRB yang baru saja belajar mengenai Baudrillard tentang teori konsumsi dan segala macam mengenai analisis wacana kritis, rasanya itu sudah jagoan.

Para Sahabat...

Bagaimana menggambarkan ini ya.... Ini adalah saat-saat kacau yang terjadi dalam hidup saya. Kuliah dan beberapa masalah lain yang datang dalam waktu yang bersamaan. Keadaan yang membuat kondisi diri saya menjadi terasa begitu kacau. Rasanya semuanya menumpuk dan tidak ada yang bisa saya selesaikan. Saya tidak paham apa yang saya baca, saya harus menolak permintaan simbok saya untuk menemani beliau ke Jakarta dan mengalihkan kegiatan itu pada kakak saya. Penolakan yang mengambyarkan diri saya sendiri... Yang agak parah saya jadi beberapa kali mendapatkan serangan tangis yang sporadis, sewaktu-waktu, di mana saja dan kapan saja. Itu membuat saya agak repot memang. Kondisi ini membuat saya harus belajar untuk mengisolasi afek agar saya tetap bisa berfungsi dengan cukup normal lah minimal. Paling nggak saya tidak mungkin menangis heboh di tengah-tengah kuliah. Saya belajar untuk menggurung emosi saya agar bisa meledak di waktu yang saya inginkan. Bisa saya lakukan, tapi itu membuat tubu

Kuliah yang Menyekaratkan

Gambar
Gila aku tidak bisa, waras aku tidak pantas Bisaku hanya neurotik -Status Facebook Felomena Joni Sema- Semester dua kuliah kali ini sudah berjalan setengahnya dan saya mulai merasakan atmosfer yang begitu menyesakkan di kampus. Pembicaraan-pembicaraan yang semakin berbau materi dan teori—becanda pun pakainya teori (tensor, suprastruktur, sublim, objek a, opoh jaalll?), status-status yang mulai curhat dari merasa tidak memahami materi sampai merasa mulai gila dan sekarat, seperti status teman sekelas saya di atas. Orang-orang yang mulai kuliah dengan mata yang mengantuk dan lingkaran mata yang hitam pekat. Sampai kelelahan akut dan histeria yang mulai terjadi di sana sini. Beberapa sudah mulai tampak seperti tubuh tanpa nyawa dan tanpa ekspresi, mati rasa katanya. Ada apakah gerangan? Kenapa keadaannya jadi tampak begitu menggalaukan?

Tuhan, Terima Kasih Sudah Menciptakan Jesuit

Sebenarnya saya isin banget mau nulis tulisan ini. Ya… teman-teman juga pasti tahu kalau saya itu isinan. Tapi karena baru tadi pagi saya belajar metode penelitian yang berbicara mengenai menjadi peneliti yang baik maka saya nekat untuk menulis ini. Sebuah penelitian yang baik itu harus mempunyai refleksifitas dari peneliti, menjadi lebih otentik terhadap pengalaman hidup, dan menentukan posisionalitas, jadi dalam tulisan ini saya mencoba untuk melakukan itu. Ya nggak yakin juga sebenarnya apakah ada hubungannya antara metode penelitian dengan tulisan saya kali ini. Hari ini saya disadarkan betapa banyak peran para Jesuit dan karya-karya Jesuit dalam hidup saya dalam empat tahun belakangan ini. Dan pengalaman saya hari ini yaitu dibantu bikin presentasi dan diajakin nonton film sama para Jesuit, membuat saya merunut kembali sejarah hidup saya ke belakang. Awal perkenalan saya secara langsung dengan manusia yang berlabel Jesuit ini

Manusia Berkarakter

Gambar
"Karakter yang kuat membuat seseorang menjadi pribadi yang utuh dan tangguh. Mereka tidak tergantung pada lingkungan, tetapi menjadi pemimpin dan pembaru bagi lingkungannya. Karakter merupakan inti dari manusia yang unggul dan bermartabat. Dengan karakter yang kuat, anak-anak akan mampu mengatasi berbagai tantangan hidup ini."  http://sanggarcantrik.org/tentang-kami/muatan-sanggar/ Sebagai seorang yang pernah bergumul di bidang pendidikan anak-anak, visi dan harapan seperti di atas adalah hal yang sangat akrab untuk saya. Di Pingit kami, para volunteer, juga memiliki harapan dan keinginan agar anak-anak menjadi seorang yang memiliki karakter yang baik. Namun karena Pingit merupakan salah satu kasus khusus, jangankan menjadi pemimpin dan membuat perubahan untuk lingkungan, pada satu titik kami hanya ingin anak-anak itu bisa bersikap baik dan sopan terhadap orang lain.  Masalah pendidikan karakter ini sendiri

Setelah Sebungkus Lotek

Hanya sebuah catatan galau... Kemarin, siang-siang, panas-panas, saya baru pulang kuliah dan jajan lotek di dekat perempatan, dan dalam perjalanan pulang bersama sebungkus lotek itu tiba-tiba muncul pertanyaan yang nggak jelas dalam kepala saya. Hidup itu ngapain sih sebenarnya? Saya kemudian melihat lagi sehari-hari saya ngapain ya... Pada umumnya dalam beberapa bulan terakhir ini aktivitas saya adalah kuliah, dolan, cari makan, bekerja kadang-kadang. Ya hanya seputar-putar itu saja kegiatan saya. Kegiatan simbok saya di rumah malah lebih tidak variatif lagi. Bangun, buka toko, tutup toko, buka toko lagi, tutup toko lagi, nonton TV, terus bobo. Ya diselingi mandi, makan, dan berkebun sesekali. Tapi ya hanya begitu-begitu saja tampaknya. Terus ngapain sebenarnya saya ini jalan-jalan di dunia ini, menghabiskan tempat dan oksigen?

Kisah

Triingg… Suara dari messenger itu membangunkan Nadia dari tidurnya. Tidur yang sudah tidak pernah nyenyak sejak satu bulan yang lalu. Matanya langsung terbuka, dirabanya kasur di sekitar kepalanya untuk mencari sumber bunyi itu. Dugaannya tepat. Siapa lagi yang menghubunginya di tengah malam buta seperti ini selain orang itu. Rey, Reynato. “Nad…” Hanya sepotong kata itu saja dan itu sudah cukup membuat Nadia gelisah, seperti biasa. “Kenapa Rey?” “Baru sampai rumah nih, capek banget…” Nadia melirik jam di sudut atas smartphone dalam genggamannya, 01.39. Ia menghela napasnya.

Imaji Gender Wanita Cina yang Indonesia (full)

Gambar
Klenteng Kranggan Pengantar Bertahun-tahun dalam hidup saya, Kartini menjadi suatu gambaran perempuan ideal yang didengung-dengungkan oleh banyak orang di sekitar saya. Gambaran untuk menjadi seorang ibu dan seorang istri yang baik. Suatu gambaran yang ternyata diwacanakan oleh negara seperti yang dikatakan Julia I. Suryakusuma dalam artikelnya Seks, Posisi Birokratis [1] . Dalam Artikel itu Julia menjelaskan bahwa negara ikut campur dan melembagakan seksualitas para pegawai negeri sipil dengan Peraturan Pemerintah no. 10 tahun 1983. Pembentukan dan penyebaran citra tersebut juga dilanggengkan dengan dibentuknya Darma Wanita dan PKK.

Belajar dari Paper

Sudah bertahun saya memiliki hubungan cinta dan benci dengan makhluk yang bernama paper itu. Masih teringat jelas dalam ingatan saya, ketika saya masih jadi mahasiswa S1 dan belum paham benar dengan makhluk satu ini. Saya harus berebut perhatian dengannya, dan saya selalu kalah. Setiap saya mengirimkan sms andalan saya kepada teman-teman saya, “Ayoo dolaannn…” Jawaban yang saya dapatkan pasti, “bikin paper.” Seakan paper menjadi ini sudah menjadi kemutlakan dan permakluman untuk nggak dolan-dolan. Kalau kala itu saya ketemu sama si paper pasti saya pukulin karena dia bikin teman-teman saya nggak bisa menemani jalan-jalan. Hingga akhirnya saya merasa mendapatkan karma. Saya kuliah S2 dan tugasnya jelas, bikin paper. Akhirnya saya mengalami apa yang teman-teman saya kala itu pernah alami. Nggak seberat teman-teman saya kala itu yang harus membaca belasan paper