Postingan

Menampilkan postingan dari 2016

Kamu Suci dan Aku Penuh Busa

Masih gelisahkah kamu? Aku di sini masih mencari. Entah kenapa begitu caraku menyembuhkan diiri. Ketika gelisah dan sakit masih terasa mengganggu, aku hanya bisa terus mencari. Bagiku, pemahaman adalah kesembuhan. Memahamiku, memahamimu, atau berdamai dengan pemahamanku tentangmu, memhami apa yang sudah terjadi. Aku tau kamu tidak suka dibicarakan, tapi kali ini aku harus berbicara. Berbicara membuat pikiranku ini tertata dan terkadang, bertemu dengan orang yang tepat, membuatku bisa menemukan cara baru untukku bisa melihat. Berbulan aku mencoba membaca apa yang kamu mau dan aku berjalan di atas imaji atas kehendakmu. Aku tidak berbicara, aku berjalan dalam diam, karena dalam benakku itu yang kamu suka. Sampai saat ini, ternyata masih tidak mudah untuk lepas dari garis yang aku buat. Kamu masih menjadi superego yang terasa menjerat kuat.  Di sisi lain, tidak mensyukurimu akan menjadi ketidakadilan yang aku jatuhkan pada diriku sendiri. Kehilangan ini menjadi suatu hal yang aku s

Ada Ide?

Baru sekitar dua hari yang lalu saya dikirimi pesan dari seorang kawan yang berada jauh di ujung timur Indonesia sana. Pesan yang tidak biasanya datang. Pesan yang datang menjelang tengah malam yang berarti sudah dini hari di sana. Sebut saja Theresa, sama seperti seorang perempuan sederhana yang pernah hidup dan menjadi legenda di India sana. Dia malam itu bercerita akan pengalaman barunya yang ternyata kali ini menguji batasnya. Dia yang selalu penuh semangat dan bercerita tentang anak-anak yang diajarnya di sana dengan penuh optimisme kali ini tidak demikian. Malam itu dia bercerita akan kesedihan dan keputusasaan yang dia rasakan di tempat barunya. Tempat di mana dia tidak hanya menemukan anak-anak yang tidak bisa belajar dan bersekolah. Kali ini berbeda. Masalahnya tidak hanya tidak adanya guru yang mau mengajar, masalahnya ada pada anak-anak yang tidak bisa makan, anak-anak yang tidak bisa berlari-larian karena tubuhnya tidak cukup kuat karena kurang gizi. Dia bercerita tentan

Apa Agama Saya?

Beberapa hari yang lalu saya sedang berada di sebuah tempat perawatan kecantikan dan berencana untuk melakukan pembersihan wajah di sana. Saat mendaftar ternyata untuk bisa melakukan perawatan di tempat itu harus tercatat sebagai anggota. Maka dimintalah kartu identitas yang saya miliki. Karena KTP saya saat itu sendang menjadi jaminan meminjam buku di perpustakaan, maka saya menyerahkan SIM. Saya juga dimina untuk mengisi formulir pendaftaran dan mengisikan data diri saya seperti alamat dan tempat tanggal lahir. Kemudian data tersebut dipindahkan ke komputer, saat itu saya kemudian ditanya, agama saya apa. Rasanya langsung ada suatu tombol yang menyala di kepala saya. Apa relevansinya menanyakan agama di salon kecantikan? Saya masih menanyakan relevansi tersebut dan teman saya akhirnya yang menjawabkan apa agama saya. Perdebatan yang kemudian masih saya panjang-panjangkan lagi di sosial media. Ada yang kemudian berkata agar saya tidak negatif thinking dahulu dengan pertanyaan ters

Sekolah untuk siapa?

Beberapa hari yang lalu, saya bertemu dengan seorang nenek yang bertanya kepada saya apakah saya tahu seseorang atau suatu lembaga yang bisa membantu pembayaran sekolah cucunya yang duduk di bangku SMP. Nenek ini bercerita bahwa mereka membutuhkan bantuan untuk membayar sekolah itu. Beliau sudah mencari benatuan ke suatu lembaga, tetapi disyaratkan surat keterangan tidak mampu yang keluhnya tidak diberikan oleh RT dan RW setempat tempatnya tinggal. Dari sekolah mereka mendapatkan bantuan untuk potongan uang sekolah, tetapi juga tidak banyak dan masih terasa beratnya. Saya pun menanyakan lebih lanjut tentang sekolah si cucu ini. Ternyata si cucu ini bersekolah di sekolah swasta katolik dengan asrama, dan biaya yang harus dikeluarkan untuk uang sekolah setiap bulannya adalah sekitar satu juta tujuh ratus ribu rupiah. Saya cukup terkesan dengan angka itu, saya sendiri sekarang bersekolah dengan biaya dua juta satu semester, jadi angka yang disebutkan nenek itu memang mengesankan. Usu

Menerima itu Memberi

Gambar
Salah satu buku yang saya suka baca dan saya baca berulang-ulang adalah buku dengan judul 29 pemberian.  Buku berwarna ungu yang pertama kali saya tau dari teman kos. Buku ini menceritakan tentang pengalaman penulisnya, Cami Walker yang menderita multiple skleriosis dan kecanduan obat-obatan penghilang sakit. Suatu hari dia bertemu dengan sorang teman yang juga merupakan penasihat spiritualnya bernama Mbali. Mbali kemudian menyarankan Cami untuk melakukan suatu ritual buang sial dan mulai melakukan pemberian selama 29 hari berturut-turut. Dalam penjelasannya, kalau tidak salah ingat, karena cuma pakai ingatan dan ngga ngadep buku, pemberian yang dilakukan ini tidak mementingkan apa yang diberikan dan sejumlah apa. Yang penting dari perilaku memberi yang dilakukan ini adalah kesadaran dalam memberi dan bagaimana energi yang terkumpul dari memberi itu dan bagaimana kita terhubung dengan orang lain dalam proses memberi tersebut.

Galau Surup Disorder

Sebelum membaca lebih lanjut tulisan ini, saya peringatkan sebelumnya kalau ini benar-benar cuma nyampah (kaya biasanya ngga aja). Buang uneg-uneg, buang stress, buang sial.  Beberapa bulan yang lalu, setelah bangun dari bobok siang yang kesorean saya mulai mengalami serangan rasa sedih tanpa sebab yang spesifik, Leher terasa kenceng, manteng. Saya telisik-telisik, rasanya hari ini saya sehat-sehat saja. Tidak ada kejadian yang bikin galau, rasanya juga sedang tidak ada adegan yang tidak membuat semedhot, tapi rasanya sedih dan kesepian. 

Sekolah Membuatku Patuh

Gambar
Judul di atas sebenarnya adalah judul hasil plagiat dari tulisan teman saya di dalam buku Pendidikan Boneka . Claudius Hans dalam tulisannya di buku tersebut, bercerita tentang pengalamannya selama dia bersekolah di SMA dan masa-masa perkuliahan S1-nya. Bukan suatu pengalaman yang menyenangkan jika kita mau jujur mengakui. Pada tulisannya, kita akan menemukan adanya ketidakpuasan, bahkan kekecewaan Hans dengan sistem pendidikan yang dia alami. Terlahir di sebuah kota kecil, Hans tidak memiliki banyak pilihan dalam bersekolah. Sekolah terbaik di daerahnya ya sekolah itu. Preferensi agama membuat pilihan sekolah bagi Hans semakin tidak banyak lagi. Masa SMA-nya dijalani dalam sebuah sekolah yang terkenal dengan kedisiplinannya. Hans yang dalam tulisan ini berbicara murni sebagai siswa merasa bahwa apa yang dia alami di sekolah tersebut bukanlah suatu perlakuan yang adil dan memanusiakannya sebagai manusia.

Gong Xi Fat Cai, pa?

Gambar
Kalau biasanya Dewi Lestari atau Dee memberikan nukilan bukunya yang akan terbit di buku-bukunya yang lama, maka ini juga nukilan cerita dari tulisan yang saya harap akan jadi segera. Belum tentu untuk diterbitkan sih, tapi paling tidak akan diujikan. Entah kapan, jangan ditanya! Karena penelitian saya adalah autoetnografi, maka data pribadi menjadi isi dari bab 2 penelitian saya ini, dan ini adalah sepenggal darinya. Ini adalah pengalaman saya di malam Imlek kemarin, karena pengalaman ini masih segar dan ternyata masih terasa emosi dan ketidaksenangannya, kalau tidak mau dibilang marah, jadi sama Bu Dosen disuruh mengevaluasi lagi setelah bisa ambil jarak. Jadi daripada dibuang sia-sia, maka saya taruh sini saja.