Postingan

Menampilkan postingan dari April, 2017

Arisan dan Kedigdayaan Perempuan

Hari Kartini dan emansipasi pada perempuan adalah sesuatu yang sangat tidak terpisahkan di Indonesia ini. Bagaimana perempuan yang tadinya dianggap tidak memiliki hak untuk bersekolah atau melakukan kegiatan publik apapun, berkat rintisan dari Kartini seakan-akan sekarang perempuan Indonesia jadi bisa memiliki berbagai hak yang sama dengan para lelaki. Bahkan bagi beberapa orang, kata wanita sudah tabu untuk diucapkan dan memilih menggunakan kata perempuan, mungkin seperti istilah Cina dan Tionghoa ya... walaupun untuk terma perempuan ini, saya kurang begitu paham sebab musababnya. Bukankah menghina atau tidak, ada pada pengetahuan yang dipakai di baliknya, pada penandanya? Pembicaraan mengenai perempuan dan hak-haknya yang setara dengan lelaki, mengenai girl power atau yang saya terjemahkan menjadi kedigdayaan perempuan itu juga menjadi pembicaraan yang seksi di majalah-majalah. Saya ingat sekali, dulu saat masih muda dan berlangganan Majalah Gadis adalah hal yang sangat umum dilak

Panda, Pedangang Perantara Anda!

Beberapa minggu belakangan ini, saya dan teman-teman selingkaran diskusi sedang membicarakan Henri Lefebvre. Beliau adalah seorang sosiolog dari dan filsuf dari Prancis yang secara umum dikategorikan beraliran Neo-Marxism (wikipedia.org). Tidak mau membahas orang ini ataupun karyanya sebenarnya. Hari ini kami baru saja selesai membaca kata pengantar dari bukunya yang Critique of Everyday Life dan itu saja sudah membuat kami terengah-engah kehabisan napas. Saya kemarin kebagian membaca salah satu bagian dari pengantar tersebut yang membuat saya tertarik dan ingin ngomong di sini. Bagian yang akhirnya hanya saya baca tiga halaman dan saya lemparkan ke teman yang lain (maaf Kak Nico...). Pada bagian itu, saya membaca mengenai pekerjaan yang mengalienasi. Lefebvre dalam tiga halaman yang saya baca itu berbicara mengenai bagaimana bekerja itu membuat kita sebagai manusia menjadi teralienasi atau terasing. Dengan bekerja dan melakukan proses produksi, kita akan menjadikan diri kita ini

Kekalahan Ahok dan Rasa yang Tersisa

Gambar
Jakarta baru saja menentukan pemimpin daerahnya hari ini. Walaupun masih dari versi hitung cepat, tetapi kekalahan dari Gubernur sebelumnya sudah terlihat dan tampaknya sudah diterima oleh berbagai pihak, baik dengan lapang dada maupun tidak. Proses Pilkada ini terasa sebagai proses yang sangat panjang dan melelahkan, tidak hanya bagi warga Jakarta, dengan kecanggihan media saat ini, rasanya seluruh Indonesia diajak ikut berperang bersama mereka. Saya sendiri melihat ini dari kejauhan, saya orang desa yang tinggal di Jogja, KTP Jogja saja tidak, apalagi KTP Jakarta. Dari logikanya, siapa yang terpilih di Ibukota sana, tidak ada hubungannya dengan kehidupan saya. Tetapi dari segi rasa, saya ikut merasakan imbasnya. Masa kampanye yang panjang dengan berbagai isu SARA yang diangkat di dalamnya ini, mau tidak mau menarik minat saya dan membuat saya juga merasa ikut terlibat. Ahok yang orang Cina dan Kristen. Saya juga Cina dan yah... sedikit Kristen. Atribut-atribut ini yang diperlawa

Paskah Tahun Ini

Paskah adalah perayaan yang biasanya paling saya sukai. Waktu masih muda dulu, waktu masih semangat-semangatnya jadi mudika, Paskah adalah waktu yang paling saya tunggu. Waktu ke gereja yang berkali-kali dan bertemu dengan banyak teman-teman yang beberapa di antaranya hanya pulang di saat-saat itu. Keriaannya biasanya sudah dimulai sejak sebulan sebelumnya, mulai dari latihan untuk misdinar, latihan kor, sampai latihan drama penyaliban. Pekan suci pun diisi dengan meriah, dari Misa Kamis Putih, lanjut dekor dan menginap di gereja untuk persiapan drama pagi hari, lanjut dengan bongkar dekorasi, kemudian Ibadat sore harinya. Sabtu sore akan misa bersama dengan teman-teman. Saat masih misdinar, biasanya saya dan serombongan teman akan tugas bersama di misa Paskah malam, misdinarnya bisa sampai 18 orang. Atau jika tidak tugas, maka saya bisa berangkat dua kali misa hanya untuk bersalaman dan bertemu dengan sebanyak mungkin orang. Itu dulu... Paskah tahun ini, ada yang sedikit berbeda. S

Tidak Sekadar Narsis, Pengalaman Meneliti Diri dalam Autoetnografi

Bahan diskusi bulanan Anjani, Selasa, 18 April 2017 Berbicara autoetnografi ini sudah menjadi pembicaraan yang kesekian kalinya dalam perjalanan saya di IRB. Saya pertama kali mengenal mengenai metode ini adalah dalam perkuliahan Kajian Gender , jika saya tidak salah ingat, waktu itu metode ini mulai disebut-sebut digunakan oleh Kurniasih. Saya juga mendengar bagaimana dia bercerita tentang metode ini dalam perkuliahan di kelas dan pada suatu diskusi di Ngeban. Pada awalnya saya tertarik dengan metode ini adalah karena keluasan cakupan yang bisa dilakukan. Dengan metode autoetnografi ini, sepanjang yang saya ketahui waktu itu adalah saya bisa menuliskan penelitian saya dalam bentuk novel. Tujuan awal saya untuk berkuliah di IRB adalah untuk belajar menulis, saat itu sama sekali tidak kepikiran bagi saya untuk terjun dan menyelam dalam penulisan akademis. Saya hanya ingin menjadi novelis, dan jika itu bisa dipelajari saat kuliah, kenapa tidak. Di sisi lain, saya selama perkul

Sekartaji

Gambar
Beberapa saat terakhir ini, salah satu kegiatan yang mendominasi kehidupan saya adalah berjualan. Awalnya saya hanya berjualan pulsa kepada teman-teman di sekitar, kemudian saya bergabung dengan Mbak Galuh Sekartaji untuk menjual sabun bersama-sama dengannya. Suatu pekerjaan yang membawa saya melangkah lebih jauh dalam dunia jual menjual. Saya yang dulu paling tidak bisa membungkus dan mengemas barang, kemarin mau tidak mau saya harus membungkus berpuluh parsel untuk dikirimkan kepada pembeli dari berbagai penjuru Indonesia. Dari Riau sampai Mataram dan banyak juga dari berbagai penjuru pulau Jawa. Saya sendiri suka heran, kenapa ada orang yang rela bayar ongkos kirim mahal untuk membeli sabun. Tapi ya Alhamdullilah sih ya... Bekerja bersama dengan Sekartaji adalah saat-saat yang menyenangkan saya, dengan produknya yang pastinya saya suka, dan saya juga sepaham dengan visi dan misi dari Sekartaji, jika tidak mau dibilang sebagai ideologi yang melandasi. Sekartaji berdiri d