Postingan

Menampilkan postingan dari 2018

Dilema Menjadi Hijau

Setiap orang pasti memiliki ketakutan terhadap sesuatu, entah apapun itu. Salah satu ketakutan yang saya miliki adalah takut kalau bumi ini kehabisan sumber dayanya. Saya paling tidak suka melihat berita penebangan hutan, beruang kutub yang kelelahan karena kehabisan es yang mengapung di lautan. Atau di saat saya sedang berada di tengah mall dan penuh lampu, rasanya menakutkan ketika disadari berapa banyak listrik yang digunakan untuk menyalakan semua lampu, mesin kopi, AC, dan entah apa lagi. Walaupun saya pada akhirnya berusaha untuk mengabaikan karena suka dengan mall dan AC. Naaa... sebagai seorang yang punya ketakutan kehabisan sumber daya begini. Saya kemudian jadi suka dan memilih untuk mengambil gaya hidup yang cenderung hijau. Beberapa di antaranya seperti memakai pembalut kain, memakai tas belanja, membawa tempat minum, dan baru saja terjadi adalah membeli sedotan stainless dalam rangka mengurangi pemakaian sedotan plastik. Semua hal tersebut dengan catatan kalau ingat, ka

Berusaha Menjadi Tidak Normal

Ambyar. Begitu kata Kalonggedhe mendefinisikan dirinya yang kehilangan arah setelah menyelesaikan penulisan tesisnya dan lulus dari kuliah Pascasarjana. Tesis memang membuat gelisah, tetapi lulus memberikan kegelisahan yang lain. Bagi beberapa orang yang bisa menjalani kehidupan normal, masa transisi mungkin bisa dilakukan dengan mudah. Lulus, melamar pekerjaan, diterima, lalu bekerja. Beberapa yang berada dalam ikatan dinas malahan sudah mendapatkan SK penugasan sebelum tesisnya sepenuhnya tuntas. Kegelisahan yang lain lagi, tapi paling tidak, mereka tidak mengalami fase hilang arah.  Menjadi merepotkan dan membuat ambyar adalah bagi orang-orang yang tidak suka dengan kehidupan normal. Seperti saya saja misalnya, tidak suka rutinitas, tidak suka terikat lokasi, melarikan diri dari rasa sepi, tidak suka birokrasi, tidak suka jadi subordinat, suka melawan, tidak suka sistem. Banyak sekali yang tidak saya sukai ya...  Atau seperti teman saya Kalonggedhe yang saya sebut di atas. Dia

Lulus

Gambar
Beberapa saat ini saya mulai berpikir bahwa saya sering salah paham dengan diri sendiri. Saya merasa bahwa saya merupakan seorang yang introvert, penyendiri, tidak suka dengan manusia, jika bertemu dengan manusia terus menerus dalam jangka waktu lama akan membuat diri saya kelelahan, yang dalam kenyataannya ternyata tidak demikian. Dalam waktu beberapa bulan terakhir ini, bersamaan dengan habisnya masa studi untuk angkatan di sekolah, beberapa teman mulai mondok di GAS University untuk menyelesaikan kewajiban penulisan mereka. Saya yang berperinsip ‘tidak penting ke mananya yang penting sama siapanya’ jadi ikutan berkumpul di rumah tersebut. Membacakan beberapa tulisan, melampiaskan marah-marah pada beberapa orang, atau sekadar numpang tidur siang, nonton bola bersama-sama, atau minta makan kalau sedang ada yang memasak. Tidak berguna sebenarnya keberadaan saya di situ itu selain ngerusuhi. Kumpul-kumpul kali ini adalah tempat di mana saya belajar ulang bahwa sebagai seoran

Ketika Agoni Tidak Boleh Menyanyi

Gambar
Sore, 14 Februari 2018, di tengah ribetnya COD dagangan, saya tiba-tiba mendapat kabar bahwa pementasan Agoni yang rencananya akan diadakan di Galeri Lorong malam itu, harus dibatalkan. Pementasan yang bertajuk "Pameran Solidaritas Tanah Istimewa" ini dibatalkan karena Pak Dukuhnya menghubungi pihak Galeri setelah beliaunya juga dihubungi oleh pihak kepolisian untuk membatalkan acara tersebut. Alasan yang diajukan adalah karena acara ini tidak pro dengan program pemerintah dan dianggap meresahkan. Siapa sebenarnya yang resah ya? Setelah saya ingat kembali pembatalan pementasan kali ini bukanlah kali pertama bagi Agoni sejak saya terlibat dengan mereka, tapi pembatalan sebelumnya terjadi beberapa hari sebelum pementasan, kali ini, kabar datang dua jam sebelum jadwal tampil. Apalagi bagi para anggota Agoni yang lain, ini pastinya pembatalan pementasan yang kesekian kalinya bagi mereka. Pembatalan ini pastinya memunculkan beragam reaksi dari orang-orang yang terliba

Tembok Menulis

Proses penulisan saya semester ini adalah proses terberat yang saya alami seumur hidup. Setelah sekitar enam tahun membahas masalah yang sama yaitu kecinaan. Masalah yang sudah saya temui seumur hidup saya. Yang berarti praktis saya ada di dalam situ selama 30 tahun, saya merasakan menulis itu mudah. Saat menulis bab kecinaan, saya bisa punya bayangan apa yang akan saya bicarakan, jika saya membicarakan bab A, misalnya, saya bisa tahu ke mana saya harus mencari. Petanya bisa saya bayangkan dari sekitar tahun 1740-an sampai sekarang. Permasalahan dari Sunan Kuning sampai Ahok, dari Geger Pacinan sampai Anies dan pribuminya. Saya bisa tahu, atau paling tidak membayangkan siapa saja nama-nama yang bisa saya akses untuk mencari tahu tentang suatu hal tertentu. Dan apa yang terjadi sekarang membuat saya merasa begitu buta dan tidak punya cukup amunisi untuk bisa berbicara. Proses yang saya jalani sekarang ini pada akhirnya sudah menuntut saya untuk berproduksi, membuat tulisan tepatnya.

Sekali Lagi Pedih ini Diciptakan

Februari 7 tahun yang lalu. Di tanggal yang tidak berbeda jauh, saya mendapatkan kabar bahwa ada yang merusak Gereja di kampung saya. Saat itu, saya dan teman-teman di sekitar saya yang tumbuh bersama di tempat tersebut merasakan sakitnya ketika ada yang merusaknya. Tidak ada yang terluka kala itu, tapi rasa sedih dan takutnya tetap saja besar. Pagar depan gereja langsung bertambah tinggi beberapa senti.  Kemarin kejadian yang sama berulang kembali, bukan di gereja yang sama. Dan juga bukan kejadian pertama sejak tujuh tahun yang lalu. Lima orang terluka karena seseorang yang tiba-tiba masuk ke dalam gereja saat misa berlangsung dan membacok beberapa orang dengan pedang yang dibawanya. Seorang di antaranya adalah Rama sepuh yang memimpin misa. Kali ini lawannya hanya satu orang dan bapak polisi juga datang untuk menindak orang tersebut. Peluru akhirnya ditembakkan ke perut pelaku setelah dia melawan ketika akan ditangkap.  Sebagai orang yang masih tercatat beragama Katolik di KTP

Manusianya mana?

Akhir-akhir ini ada beberapa berita yang ramai dibicarakan di facebook . Ada tiga yang menarik perhatian saya, yang pertama adalah tentang guru yang meninggal karena dianiyaya muridnya yang masih SMA, lalu ada berita tentang mahasiswa yang mengkartu kuning Jokowi, dan berita tadi pagi mengenai orang di Transjakarta yang menolak tawaran tempat duduk karena alasan perbedaan agama. Selain berita yang terakhir, saya tertarik-tertarik gemes dengan komentar, meme , dan wacana yang berputar di balik berita tersebut, Mengenai kasus guru yang mengalami penganiyayaan sampai meninggal dunia, banyak sekali muncul komentar dan keprihatinan tentang bagaimana perlakuan murid ke guru oleh kids zaman now . Bagaimana zaman sekarang guru seakan tidak punya ruang dan penghargaan yang selayaknya dari berbagai pihak. Jika zaman dulu anak berbuat kesalahan dan dihukum, maka itu adalah suatu hal yang wajar terjadi. Anak-anak akan patuh, bahkan tidak berani bercerita kepada orangtuanya di rumah karena orang