Menuju Shopia Latjuba 2024

Hari yang aku tunggu-tunggu sekian lama akhirnya tiba. Angka di timbangan menunjukkan 68.90. Akhirnya aku ada di bobot 60-an. Berat teringan di masa dewasaku. Bahkan lebih ringan dari saat aku SD, karena aku ingat betul saat kelulusan ada profil yang harus aku isi, dan di situ berat badanku sudah 72 kg. 

Perjalanan menurunkan berat badan ini merentang lebih dari 10 tahun. Awalnya tidak diniatkan untuk menurunkan berat badan sebenarnya. Di 2010, setelah ketidaknyamanan badan sedemikan rupa, setelah kondisi-kondisi yang aku tidak pahami sebabnya, akhirnya aku cek ke Prodia dan menemukan bahwa gula darah puasa saat itu ada di angka 285 dari yang seharusnya di bawah 100. Saat itu aku 23 tahun. 

Perjalanan dimulai dari titik itu. Tidak berobat karena merasa mahal, dan bisa ditangani dengan cara tradisional. Resep dari guru Papahku adalah rebusan bunga lidah buaya selama periode tertentu tanpa terputus. Dan Papahku mencarikan berkuntum-kuntum bunga lidah buaya yang sebelum saat itu aku tidak tahu kalau bunga itu eksis. Aku meminumnya dengan patuh selama beberapa waktu, namun entah bagaimana hasilnya. 

Di luar itu, aku mulai menyadari bahwa selama bertahun-tahun itu aku kecanduan minuman bergula dalam botol. Dulu aku tidak merasa kalau gula berbahaya, tidak seperti sekarang di mana kesadarannya sudah berjalan dengan lebih baik, dulu aku lebih takut sama lemak. Jadi kepikirannya adalah kolesterol, diet ya diet lemak, daging. Ternyata masalahku yang lebih besar adalah gula. Jadi sejak angka gula itu diketahui, aku mengurangi hampir semua minuman manis dalam botol yang sebelum itu bisa lebih dari satu dalam sehari. 

Perlahan, tanpa usaha yang lain, berat badanku di masa itu yang di angka sekitar 83 kilo, turun. berhenti di angka 78. Untukku itu mencerahkan, aku tetap kenyang, hanya dengan tidak minum gula berat badanku turun begitu saja. Sesuai dengan karakterku, aku orang yang tidak bisa dipaksa, bahkan oleh diri sendiri. Jadi perubahan gaya hidup yang mudah dijalankan adalah cara paling cocok. Tidak lagi minum teh, jus buah dalam kemasan, soda, minuman isotonik. Aku mulai membaca kandungan nilai gizi dan mulai shock melihat kadar gulanya yang bisa mendekati bahkan melebihi kebutuhan gula harian di 30g. Selain itu aku makan kenyang dengan normal, masih minum susu kotak karena merasa susu bergizi, dan sesekali es krim. Kebiasaan ini bertahan.

Merasa bisa menurunkan berat badan dengan gampang, tanpa lapar, tanpa capek, tanpa menjadi orang lain, maka aku berpikir bisa ini kalau diusahakan turun lagi. Tentu saja tidak dengan melaparkan diri dan memaksa diri, karena itu engga aku banget dan aku yakin tidak akan bertahan. Setelah beberapa tahun berjalan, akhirnya angka timbanganku di sekitar 72, terakhir karena bekerja dan punya uang, makanku ucul, jadi ada di angka 74. 

Sekitar bulan Oktober tahun lalu. Aku lalu memutuskan, 'turunkan lagi ah'. Niatnya adalah mengurangi tepung dan deepfried. Seperti jika ada tempe garit dan mendoan, maka pilih tempe garit, jika ada bakwan dan tahu, maka pilihlah tahu. Sesederhana itu saja pilihannya. Tapi itu berarti juga tidak cireng, cilok, kentang goreng, gorengan sore hari, yang membuat pilihan mengudap jadi tambah menipis. Kudapan favorit jadi pepaya dari gerobak tukang buah. 

Di saat yang sama, ada teman yang sedang ikut teacher training yoga dan butuh kelinci percobaan buat jadi murid yoganya buat mengambil nilai ujian. Kapan lagi kan ya ada kesempatan yoga gratisan. Aku ambilah kesempatan itu, dua kali latihan yoga gratisan sebagai kelinci percobaan. Naahhh... di saat yang sama, Bu guru yoga yang dulu pernah belatih bersama chat juga ngajak latihan yoga lagi. Semesta sudah memanggil, apalah saya ini kalau tidak menanggapinya dengan niat baik. Roda berputar. Hampir bersamaan ada teman yang juga yoga dan mengajak latihan yoga juga di studio langganannya. Maka dimulailah pejalanan beryoga secara lebih rutin. Alhamdulilah juga semesta bertanggung jawab membayari yoga ang tidak murah itu dengan pekerjaan yang terus datang. 

Sambil berjalan yoga, aku juga direkomendasikan buku berjudul Revolusi Glukosa dari teman yang juga sedang berjuang buat hidup lebih sehat. Entah dengan efektifitasnya secara angka terhadap gula dalam tubuh, tapi aku suka strateginya dan beberapa sudah aku terapkan, semacam sarapan dedaunan agar gula darah tidak bergejolak sepanjang hari. Jadi aku mulai menerapkan itu juga sambil tetap tidak minum gula, mengurangi tepung dan gorengan, dan yoga. Yoga sendiri awalnya sekali seminggu, naik jadi dua kali, sekarang diusahakan tiga kali seminggu. Kendalanya kalau yoga lebih dari itu jadi kurang dolan, nyeri otot ga selesai-selesai, dan mahal tentu saja. 



Akhirnya sampai di angka 68,9 kg di atas. Angka yang dicapai karena sempat demam dan engga doyan makan selama beberapa hari sebelum Lebaran kemarin juga. Dan baru dugaan saja, metabolisme menjadi lebih baik setelah olah raga rutin selama beberapa waktu. Di umur 37 aku lebih ringan dari saat umur 12 tahun. Aneh sekali rasanya. 

Rasanya masih aneh dengan perut yang terasa lebih rata dan tipis dibandingkan seumur hidup. Masih gagap di beberapa hal, seperti kemarin mau membeli celana buat yoga di shopee. ukuran 2XL paling besarnya untuk bobot 68-72kg. Rasanya sudah kecewa karena 'yah, tidak cukup,. Aku masih berpikir aku orang berbobot 80an, lalu sadar kalau sudah ada dalam range tersebut. Beberapa merk sudah tidak lagi ambil ukuran XL. 

Perjalanan yang masih panjang untuk dilakukan. Masih ingin sampai di angka 65 lima dulu, lalu mungkin di range 58-60. Aku orang yang suka donor darah, maka akan kupertahankan di atas 55. Mulai merasa mungkin kok angka-angka itu dicapai dengan perlahan dan sehat. Mulai berpikir usia cuma angka, metabolisme dalam tubuh bisa ditata dengan cara yang benar. Masih ada harapan untuk hidup dengan lebih sehat dan bugar, dan di umur 37 ini masih menemukan cita-cita baru untuk ambil teacher training yoga dan suatu saat hidup dengan menulis dan mengajar yoga. 

Komentar

  1. Kereeennnn Mba.....sabar ya pasti nyampe pada cita-cita💪💪💪💪👍

    BalasHapus
  2. Barangkali mungkin duluuu sekali orang lebih banyak memikirkan untuk bisa bertahan hidup dan berumur panjang. Musuhnya penyakit, natural disaster, perang, dan dimangsa hewan buas. Tapi setelah semua itu jauh berkurang, entah mengapa tiba-tiba kita lebih suka mengorbankan tubuh kita untuk sesuatu yang diberi label produktivitas, gaya hidup, eksistensi, pembuktian, dophamine, ... biar cepet naik pangkat, cepet kaya, cepet keren, ...
    Alhasil kebanyakan gula dan kebanyakan lemak sudah menjadi endemik (kalau tidak malah pandemik). Memang, urusan seperti ini ibarat perjuangan ingatan melawan lupa. Mungkin kayak gitu ya hehehe.
    Karena itu, selamat hehehe. Ndherek bingah! Yang penting hepi dan enjoy.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama-sama berjalan buat terus sehat yo, Mas. Hehehehehe

      Hapus
  3. Wiiihhh asiiikkk bener kaannn... Dulu km smpt komen "TT ih aku nggah deh" katamu... Ya cm ada kmgknan di Bali wktu itu tp intinya ngga kebayang wktu itu. Skrg udh kerasa badannya enak n it works! Baru jadi kepikir TT hahahhaaa.... Kl udh mulai kecanduan yoga mmg jadinya nambah n nambah terus. Susah dijelasin buat yg ngga punya pengalaman bersentuhan lgs sih. Tapi selamat yaaa Ne seneng denger cerita self improvement gini... Semangatt!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wahahahaha, ya tapi masih mencari tempat TT yang engga marathon 3 minggu. Dan ya benerin postur sendiri dulu lah yaaa....

      Hapus
  4. Kita ada di usia di mana banyak kawan-kawan seusia mulai menutup bukunya. Sepertinya, kita tetap harus punya sedikit cinta untuk mencintai diri sendiri. "Cintailah orang lain seperti dirimu sendiri," kata Yesus. Bagaimana kita bisa mencintai orang lain jika kita tidak pernah tahu cara mencintai diri sendiri, ya 'kan? Makasih ya, Anne... kisahmu ini menginspirasi. Mari tetap hidup... sehat... sehingga bisa terus mencintai lian... sebelum akhirnya beneran tutup buku.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yessss... ternyata engga bisa diterima begitu saja ini badan. Harus diusahakan.

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Autoetnografi apaan sih?

Tes Rorschach: Antara Manual dan Kenyataan

The Geography of Faith