Postingan

Ragusa dan Sepotong Cerita

Tulisan ini adalah tugas yang dibikin di kelas menulis karena ikut Prakerja dan sayang kalau cuma jadi tugas aja.  Ragusa pasti bukanlah nama yang asing bagi para penikmat kuliner di Indonesia. Salah satu icon di pusat kota Jakarta dengan es krim spaghetinya yang khas. Tentu saja ini menjadi tempat yang tidak saya lewatkan ketika berkunjung ke Ibu Kota. Di siang hari yang panas, tentu saja akan sangat menyenangkan untuk menikmati sepiring es krim spagheti atau sepotong es krim rum raisin yang terbuat dari susu segar. Memasuki ruangannya, kita akan disambut dengan ruangan yang tidak terlalu luas dengan pencahayaan yang temaram. Meja kursi lawas, dan beberapa foto hitam putih banyak menghiasi tembok-tembok di dalam resto. Kami bertiga beruntung bisa duduk di dalam dekat dengan meja kasir. Setelah memilih beberapa jenis es krim, kami berkesempatan mengobrol dengan Ibu pemilik resto. Seorang perempuan keturunan Tionghoa, yang mungkin berusia sekitar 60 tahun, saya tidak bertanya berapa

Tips Mencari Bantuan Psikolog

Dalam satu tahun terakhir setelah kekacauan yang terjadi dalam hidup, aku mulai dengan cukup rutin bertemu dengan psikolog. Alhamdulillahnya sebagai orang yang pernah kuliah di psikologi, aku jadi punya cukup banyak teman yang psikolog dan mengetahui faedahnya untuk berbicara dengan orang yang punya keahliannya. Pengalamanku sebelum waktu-waktu ini juga bertemu dengan psikolog itu membuat kepala bisa terasa lebih bening dan keluar dari pusaran pikiran yang sering kali susah kita selesaikan sendiri. Ada cukup banyak psikolog dengan berbagai versi yang aku temui. Satu orang laki-laki yang Pastor dan Psikolog Klinis, satu orang Suster yang Psikolog, satu orang ibu sepuh yang konselor feminis, satu psikolog perempuan dengan metode Kinesiology, dan terakhir yang aku temui dan masih meraba-raba adalah satu orang ibu dengan metode grafology dan hypnoterapi.  Aku jelas priviledge dengan banyaknya orang yang bisa aku akses selama ini, dan semuanya gratis. Aku jadi bisa membandingkan mana yang c

Mimpi yang sehari-hari

Sebagai penggemar fanatik YouTube, salah satu yang akhir-akhir ini kutonton adalah kepindahan Pandji Prangiwaksono ke New York untuk mengejar mimpinya menjadi stand-up komedian di negara di mana kesenian tersebut sudah memiliki sejarah panjang. Akhir-akhir ini rasanya orang-orang memiliki berbagai mimpi yang besar-besar melibatkan kepindahan ke luar negeri atau kepemilikan sesuatu yang begitu besar.  Aku jadi melihat ke diri sendiri. Sepanjang hidup, sampai beberapa tahun yang lalu aku orang dengan mimpi yang jelas. Ingin menjadi penulis dan semua yang aku lakukan mengejar hal tersebut. Sampai akhirnya aku sudah menulis, menjadi buku dan terbit. Rasanya mimpi itu sudah tercapai, dan aku tidak tahu lagi mau ngapain.  Pernah juga aku ingin melanjutkan sekolah ke luar negeri. Namun pada waktu itu kondisinya adalah aku ingin ke luar negeri karena mengejar seseorang. Patner dengan siapa aku ngobrol setiap hari, orang dengan siapa aku merasa dekat dan ingin terus dekat, sedang belajar di Ero

Cuma Punya Iman

Bulan ini adalah bulan terakhir saya dikontrak untuk penelitian dengan kantor di Jakarta. Akhirnya setelah seumur hidup, di luar masa-masa ditanggung orang tua, saya merasa sejahtera dan tidak deg-degan setiap hari karena uang yang mepet dan tipis. Akhirnya, saya keluar dari black period di mana hidup hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar saja. Ya kalau dibilang miskin, tidak juga, karena batas kemiskinan menurut BPS sekarang ini ada di pengeluaran 1.9 dollar PPP atau setara dengan Rp486.168. Angka yang menjadi batas dari PBB walau dalam kenyataannya agak susah ya hidup dengan angka segitu apalagi buat yang hidup di kota. Bertahan di Jogja bukan hal yang gampang buat saya, apalagi setelah umur menginjak 30-an, minta dari rumah juga tidak mungkin, selain malu, ngga ada juga uangnya. Ya kelihatannya punya toko, tapi keuangan kami tidak selancar itu, saudara-saudara. Akhir tahun 2020 lalu saya juga memilih WO dari sekolah, salah satu faktor terlihatnya ya karena kemiskinan. Mungkin bagi

Perjalanan Menuju Sehat

Setahun berjalan mencari kewarasan ternyata bukan perjalanan yang lurus mulus.  Ada hari-hari yang bisa dijalani dengan positif optimis, tapi tidak jarang tiba-tiba saja, entah dari mana, aku terpicu dan semua ingatan akan rasa sakit itu muncul lagi, dan lagi. Baru semalam, setelah berhari-hari terasa sehat, baru bekerja dengan produktif, makan saja biasa di Nanamia. Lalu datang satu bayangan menakutkan yang diikuti dengan banjirnya ingatan dan ketakutan akan rasa sakit yang sudah pernah terjadi. Kepala ini tahu bahwa kejadiannya tidak ada, bahwa yang sudah terjadi memang sudah ada di masa lalu. Tapi ketakutan ini rasanya mencekam tubuh. Dicegah untuk dirasakan pun pada akhirnya ketakutan dan rasa sakitnya tetap membanjir tidak terbendung. Rasanya lumpuh. Karena ketakutannya, karena kelelahannya. Ketakutan ini bukan datang tanpa diduga. Selama berjalan sekitar setahun ini, aku jadi tahu ada ranjau-ranjau yang akan meledak di sana sini dan membuka lagi luka-luka yang belum tertangani. R

Perempuan yang Belajar Berbicara

Pagi ini di Twitter untuk kesekian kalinya saya menemukan tweet tentang begal payudara yang berkeliaran di sekitar Jogja utara. Korban yang bercerita payudaranya disentuh tanpa izin oleh seorang pengendara motor lelaki dengan helm full face di jalanan yang ramai. Cerita-cerita seperti ini rasanya selalu menimbulkan keputusasaan dalam diri saya sebagai perempuan. Bagaimana kalau itu terjadi pada diri saya? Bisakah saya melawan? Bisakah saya membalas melukai pelaku? Apakah akan saya kejar? Ataukah seharusnya kita menciptakan bra dengan paku beracun jadi tangan pelaku begal payudaranya akan membusuk bersama dengan otaknya yang sudah busuk lebih dahulu? Sepanjang hidup saya menjadi perempuan, saya merasa hidup ini berjalan baik-baik saja. Sebagai Cina saya bermasalah, iya. Tapi sebagai perempuan, rasanya tidak ada masalah khusus yang saya hadapi. Iya pernah dibelai pahanya waktu SD sama mas-mas di jalan, tapi belum bisa aku maknai sebagai pelecehan seksual juga kala itu. Di rumah tidak

Setelah 29 Juli

Beberapa bulan ini hidup rasanya jungkir balik tanpa disangka. Bukan, bukan karena pandemi. Ya pandemi memang mengubah banyak hal, tetapi tidak hanya itu. Jungkir balik ini diawali dengan sebuah pesan impulsif yang kukirimkan pada seorang kawan pada 29 Juli lalu. Pesan yang kukirimkan untuk meminta pertolongan, memohon bantuan. Pertolongan yang baru kusadari sudah kucari sejak berbulan-bulan sebelumnya, bahkan mungkin beberapa tahun yang lalu. Rasanya tiba-tiba saja aku menjalani kehidupan yang berbeda sejak 29 Juli itu, kehidupan sebagai orang yang sedang sakit mental. Hidup sebelum 29 Juli juga bukan hidup yang baik-baik saja sebenarnya. Dua atau tiga bulan sebelum itu rasanya aku sudah hidup menjadi semacam sayur-sayuran. Rutinitas yang hanya berkisar seputar kirim paket dan nonton YouTube dari pagi sampai dini hari lagi. Kepala yang biasanya sibuk berpikir dan membuat berbagai macam skenario tiba-tiba saja terasa jadi putih polos. Saat-saat itu aku sudah mulai curiga, untuk kepal