Membaca Sejarah Cina di Indonesia

Beberapa bulan terakhir ini saya sedang banyak bergelut dengan kasus pembantaian massal orang keturunan Cina di Indonesia pada periode Agresi Militer Belanda di tahun 1946-1948. Dari salah satu sumber yang saya baca, TIonghoa dalam Pusaran Politik karya dari Benny G. Setiono, dia menceritakan bagaimana kejadian pembantaian tersebut dengan cukup mendetail. Tempat mana saja terjadi pembakaran pabrik, rumah, ataupun pemukiman penduduk sipil. Berapa perkiraan kerugian yang terjadi akibat keputusan untuk bumi hangus di masa itu. Berapa banyak orang Tionghoa yang tinggal di satu kota, dan apa yang terjadi pada mereka. Seperti di kota Salatiga, pada waktu itu ada 3000 orang keturunan Cina yang tinggal di kota tersebut, dan tersisa 12 orang. Sampai yang mengerikan adalah bagaimana penulis dari buku tersebut menceritakan dengan mendetail bagaimana pembunuhan yang terjadi. 

Orang-orang tionghoa banyak yang dikumpulkan dan dibawa ke hutan, diminta untuk menggali lubang, dan dibunuh bersama di dalamnya. Cara lain mereka dikurung di satu rumah dan dibakar. Orang yang kabur akan ditembaki oleh senapan mesin. Sampai detail kekejaman seperti disunat paksa-yang dengan kondisi seperti itu, tidak mungkin disunat sesuai prosedur-ditelanjangi dan dipermalukan, diperkosa, ditusuk dengan bambu runcing, dibakar hidup-hidup, sampai dimutilasi. Korbannya tidak hanya lelaki dewasa, perempuan, orang tua, bahkan tertulis ada anak umur 3 tahun yang juga dibakar hidup-hidup. 

Selain dari sumber buku, saya juga mendengarkan beberapa wawancara dari penyitas di era tersebut. Beberapa kakek dan nenek yang berhasil lolos dari masa-masa mengerikan di kehidupan mereka. Ada yang sempat ditangkap namun dilepaskan lagi karena belum cukup umur, ada yang harus berjalan berhari-hari di hutan untuk menyelamatkan diri dengan hanya minum air hujan, ada juga yang harus tinggal lama dalam pengungsian dengan segala keterbatasannya. Mereka semua melihat kekejaman itu dengan mata mereka sendiri, dan membawa ingatannya sampai puluhan tahun kemudian. Masih hidup di tempat yang sama di mana ayah, suami, anak, dan saudara lelaki mereka dibantai. Saya bisa mendengarkan tawa getir dan nada kekalahan yang terasa akrab seperti yang sering saya dengar di keluarga saya. Kekalahan menjadi orang Cina di negara ini. 

Saya harus berhenti berkali-kali setiap membaca atau mendengarkan rekaman-rekaman tersebut. Rasanya terlalu dekat. Orang-orang yang dibantai itu adalah orang dengan identitas yang sama dengan yang saya miliki. Orang keturunan Cina, tinggal di Indonesia, dan saya perempuan pula. Saya merasakan perbedaan yang sama dengan lingkungan tempat saya tinggal, sama dengan para korban pembantaian sekitar 70 tahun yang lalu. Saya mendengarkan kisah-kisah kerusuhan dan pembakaran yang dialami oleh kedua orang tua saya di tahun 1965 dan 1981. Saya sendiri mengalami walau dari televisi, kerusuhan dan perkosaan yang terjadi di tahun 1998. Dari apa yang saya baca, respon negara sama untuk semua kejadian itu, pembiaran saat kejadian, prihatin dan ikut berduka cita, dan sudah. Tanpa ada penyelesaian atau tindakan nyata bagi para pelakunya. 

Membaca dan mendengarkan berbagai kisah itu membuat saya kembali diingatan akan siapa diri saya, di mana saya tinggal, dan saya merasa sedemikian rentannya. Rasanya kisah-kisah itu menyalakan alarm dalam diri saya dan membuat saya memasuki mode bertahan hidup. Melawan atau lari atau membeku. Otak saya langsung berputar, apa yang bisa saya lakukan jika itu terjadi lagi? Atau bagaimana caranya agar saya bisa menempel dengan kekuasaan agar saya selamat? Bisakah saya sedemikian kaya agar bisa membangun benteng atau mengungsi ke luar negeri?

Pagi hari sebelum saya membaca tulisan di buku Tionghoa dalam Pusaran Politik, saya mendengar obrolan di YouTube dari channel Gita Wirjawan yang ngobrol dengan Reza Rahadian, mereka membicarakan bagaimana generasi sekarang banyak terikat dengan gawai, tidak membaca buku, dan itu menceraikan mereka dari sejarah. Kutipan kasarnya demikian,

"...menceraikan mereka dari sejarah, dari para pendahulu kita. Semakin tidak berkomunikasi dengan pendahulu, semakin menjadi korban amnesia sejarah, semakin tidak punya kebijaksanaan. Semakin tidak mengerti sejarah, semakin mereka sulit untuk membentuk dan mengukir masa depan. Semakin sulit untuk menjalin hubungan sosial dengan makhluk lain." 

Bagi kami, bagi para korban, bagi teman saya yang mengalami sendiri kejadian 1998 di Jakarta, rasanya kami lebih memilih untuk amnesia. Teman saya bahkan benar-benar lupa bagaimana prosesnya mengungsi ke hotel ketika kerusuhan terjadi. Dia tidak bisa mengingat dia naik apa, bagaimana dia bisa sampai di kamar hotel tersebut dari rumahnya. Kejadian yang sama juga dikisahkan dalam salah satu wawancara penyitas yang saya dengar, ada satu proses dari kejadian yang sangat menakutkan tersebut yang terlupakan begitu saja. Kejadian yang terlalu berat untuk ditanggung sampai pikiran kita memilih untuk menghilangkannya agar kita bisa melanjutkan hidup. 

Saya sendiri, keterikatan dengan sejarah ini terasa menakutkan. Seumur hidup saya berusaha melepaskan diri dari kenyataan bahwa saya terlahir sebagai orang keturunan Cina, dan saya tidak mau menghidupi itu. Saya masih merasakan cekaman ketakutan ketika melihat Liong yang dimainkan di jalanan, rasanya terlalu bising, menganggu, akan menimbulkan kebencian dan kerusuhan dari orang-orang. Rasanya saya sepakat denga  kutipan dari buku Benny G. Setiono yang merupakan potongan dari surat yang ditulis oleh Konsul Jenderal Republik Tiongkok di Batavia, Chiang Chia-tung kepada Letnan Jenderal H. J. Van Mook dan Letjen. S. H. Spoor, 

"Orang tionghoa... telah dipaksa untuk bersikap netral... Kita hidup dalam masa di mana tindakan seseorang bukan dianggap tindakan perorangan, perbuatan sekelompok kecil orang Tiongjoa, akan tampak seolah perbuatan seluruh komunitas Tionghoa."

Entah relevansinya saat ini, tapi saya berjalan dengan pendapat ini dalam kepala saya seumur hidup. Jangan terlalu vokal, kesalahan omongan, melawan orang yang salah, akan membuat seluruh kota dibakar. Kejadian ini juga menjadi salah satu penyebab beberapa kerusuhan yang terjadi di tahun 1998 dan mungkin kejadian lain-ada di sudut ingatan saya, tapi saya tidak bisa memberikan bukti kutipan-bahwa ada satu orang yang berpendapat menentang mayoritas, dan seluruh orang keturunan Cina di kota tersebut yang menanggung akibatnya. 

Membaca kembali mengenai apa yang terjadi di tahun 1948 tersebut membuat saya menilik kembali bagaimana pendapat orang-orang tionghoa dari generasi yang lebih tua ngotot untuk tidak mau disebut sebagai Cina. Hampir setiap 20 tahun, semua yang sudah dikumpulkan dan diperjuangkan, dihancurkan dalam suatu kerusuhan. Menyebut diri sebagai tionghoa saya pikir menjadi selemah-lemahnya perlawanan yang bisa dilakukan. Mempertahankan sedikit harga diri yang tersisa. Rasanya menjadi sedemikian masuk akal bagi banyak orang yang memilih untuk meninggalkan Indonesia dan membangun kehidupan baru di luar negeri, karena rasanya menjadi begitu tidak punya pengharapan untuk membangun sesuatu di negara ini sebagai orang keturunan Cina. 

Saya beberapa tahun ini, tidak ingin lagi melakukan penelitian tentang cecinaan, salah satunya ya karena penderitaannya. Konteks sejarah yang begitu berdarah, penuh kekerasan, ketakutan, dan ketidakberdayaan. Saya takut stress kalau harus mengurusi hal seperti ini selama bertahun-tahun. Habis membaca detail pembantaian ini saja, rasanya leher jadi kenceng semua. Selain itu, saya sampai sekarang masih belum bisa berbicara tidak dari posisi korban. Beberapa kali ketika saya membicarakan ini, ada beberapa pendapat yang seakan menyatakan kalau orang Cina itu tidak semenderita itu, ada banyak juga korban lain yang juga menderita. Kemarin ketika saya menanyakan soal pembantaian masal ke teman saya yang pernah melakukan penelitian soal sejarah di Jogja, dia juga menjawab agar saya menilik kembali istilah pembantaian masal yang digunakan, karena ada juga suku lain yang juga menjadi korban. Ya bukannya mau bersaing siapa yang lebih menderita juga, tapi kenyataannya, bagi orang yang berbagi identitas yang sama, ternyata memang menyakitkan. Dan berapapun jumlah korbannya, apakah lebih banyak atau lebih sedikit dari suku lain, pembantaian dan rasa sakitnya terjadi.

Semakin saya belajar mengenai kesehatan mental, bagaimana trauma diturunkan dalam keluarga, rasanya saya jadi semakin bisa membayangkan bagaimana traumanya menjadi orang keturunan Cina di masa lalu. Bagaimana kisah-kisah diturunkan mengenai pembantaian yang dilakukan, atau malah keheningan yang menakutkan karena tidak mau menceritakan kejadian yang traumatis tersebut. Tapi toh tidak membicarakan kasusnya, tidak berarti tidak muncul dalam perilaku lainnya. Menghindari otoritas dan birokrasi, mendidik anak agar mandiri sedini mungkin, mengirimkan anak bersekolah ke luar negeri sejak SD, membayar ke sana kemari agar aman, menelisik sekolah yang aman dari diskriminasi, adalah sedikit simptom yang muncul dari ketakutan yang ditekan di bawah sadar. 

Saya jadi mempertanyakan kembali bagaimana keterikatan dengan sejarah akan membawa kebaikan dan kebijaksanaan bagi diri saya sekarang. Rasanya membaca sejarah yang ada malah membuat saya mengalami krisis kepercayaan kepada negara ini atau malah menimbulkan respon melawan atau rasa ingin kabur dalam diri saya. Tampaknya menjadi amnesia dengan apa yang sudah terjadi di masa lalu, bagi generasi muda menjadi lebih mudah. Sebagaimana generasi muda Cina sekarang yang dengan enteng menyebut dirinya Cindo, Cina Indonesia, dengan ringan dan tanpa beban ingatan.  




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Autoetnografi apaan sih?

Tes Rorschach: Antara Manual dan Kenyataan

Menuju Shopia Latjuba 2024