Dinamika Psikologis dalam Latihan Kerja Ilmiah

Pagi tadi dengan enggan saya beranjak keluar dari kamar untuk berangkat kuliah. Jam delapan pagi dan gerimis sisa hujan dini hari masih masih belum mau beranjak pergi. Dan berkumpulah kami, tidak lebih dari sepuluh orang yang berkumpul pada awalnya. Orang-orang yang masih menyeret luka yang dibawa setelah peperangan dalam ujian proposal kemarin.
Kelas dimulai, dan ternyata Romo Dosen tidak memulainya seperti apa yang saya bayangkan sebelumnya. Beliau tidak menanyakan bagaimana tulisannya, bagaimana tema-temanya. bagaimana rumusan masalahnya. Ditanyanya bagaimana perasaan kami. Apa yang kami rasakan setelah proses penulisan dan ujian berlangsung?

Rasanya dari sekelompok mahasiswa kami berubah menjadi sekelompok orang yang sedang menjalani terapi kecanduan alkohol. Aku langsung teringat adegan-adegan di film Amerika yang menceritakan tentang sekelompok orang yang melakukan terapi Alcoholics Anonymous. Sekelompok orang duduk dalam lingkaran dan satu demi satu bercerita tentang apa yang terjadi dalam hidupnya. Ya semoga terapi ini juga menyembuhkan kami...
Apa yang sudah dilakukan oleh Romo Dosen saya pagi ini mengejutkan saya. Dia menyadari sepenuhnya bahwa agar proses intelektual ini dapat berjalan dengan lancar, mental dan jiwa kami juga harus sehat. Tidak bisa proses intelektual dilepaskan dari segala afek yang membentuk manusia. Luka, trauma, sudut pandang, perasaan, selera, harga diri, pengalaman... Sesuatu yang manusiawi, sesuatu yang diakui ada, tapi tidak di dunia akademis. Sesuatu yang dahulu malah tidak saya temukan ketika kuliah di psikologi. Tidak ada kami dikumpulkan dan ditanya bagaimana perasaan kami ketika menulis skripsi, bagaimana perasaan kami katika bimbingan dan dirombak tulisannya. Tidak ada yang bertanya kepada saya saat itu, yang ditanya hanya tulisanmu sampai mana. Pengalaman yang membuat saya berpikir bahwa kerja akademis itu selalu bebas dari afek, tapi ternyata tidak seperti itu dan IRB membuat saya berpikir ulang tentang hal tersebut. 
Proses hari ini membawa saya kembali mengingat proses penulisan skripsi saya. Mau dibilang zaman dulu juga nggak juga sih, baru 2012 lalu saya selesai menulis skripsi. Saya setuju sepenuhnya dengan apa yang Romo Dosen bilang bahwa penulisan ini tidak melulu suatu proses intelektual. Lebih dari itu. Bagi saya, proses intelektual dalam suatu penulisan akademis jangka panjang seperti ini adalah suatu proses dengan level yang paling gampang. Yang lebih sulit adalah melawan diri sendiri. Membuat diri sendiri yang suka jalan-jalan ini duduk diam dan membaca atau menulis. Membuat diri ini yang sering berbicara dan bergosip tanpa dasar, harus rajin mencari apa yang melandasi pernyataan yang kita ungkapkan. Jika tidak terbiasa, itu memang menjadi suatu proses yang begitu melelahkan.
Saya ingat awal pertama saya bimbingan skripsi. Entah apa yang saya katakan kala itu, dosen pembimbing saya sampai bertanya, "Ini kamu kan yang meulis skripsinya?" Mungkin saya terlihat begitu tidak menyatu dan memahami dengan apa yang saya bicarakan. Energi saya waktu itu habis untuk menyangkal kenyataan. Saya menghabiskan energi saya untuk berpikir bagaimana berkelit dari sistem ini. Bagaimana caranya saya bisa lulus tanpa harus melalui proses yang melelahkan dan menyakitkan bernama penulisan tugas akhir. 
Saya bisa melihat diri saya di beberapa orang akhir-akhir ini. Saya bisa memahami mengapa doesn pembimbing saya dulu sampai menanyakan hal itu kepada saya. Ada teman saya yang tampaknya begitu tidak mau tahu dengan apa yang dia tuliskan. Dia tidak memahami ke mana dia akan menuju dan apa yang dia tanyakan. Untuk sesuatu yang berangkat dari apa yang pernah kita hidupi, ketidakpahaman itu rasanya hanya menjadi suatu penyangkalan. Memang kita tidak dapat serta merta langsung bisa berkata dengan teori yang matang tentang sesuatu hal yang dekat dengan kita, dan untuk mencapai pemahaman itu, mau tidak mau, suka tidak suka, kita harus melalui suatu proses menyakitkan yang bernama membaca.
Saya ini orang yang suka membaca, membaca bagi saya sama bikin sakawnya dengan bernapas. Saya juga begitu suka menulis, hingga bagi saya, bertahan untuk tidak menulis itu lebih sulit daripada berada dalam kondisi yang mengharuskan saya untuk terus menulis. Tetapi "dipaksa" membaca dan menulis, membuat sesuatu yang tadinya begitu memabukkan jadi sakit untuk dilakukan. Semakin membaca saya merasa semakin banyak yang tidak saya ketahui, semakin banyak lagi hal yang perlu dibaca. Semakin saya menulis, saya akan semakin sadar bahwa banyak hal yang tidak saya tahu. Saya akan berhenti di banyak bagian karena saya tidak bisa membahasakan pemikiran saya. Kuncinya ya kembali membaca. Itulah mengapa, proses penulisan jangka panjang jadi begitu menyakitkan. 
Dan sebagai manusia, adalah suatu mekanisme pertahanan diri ketika kita berusaha mengatasi apa yang membuat diri kita merasa begitu tidak enak dan tidak  nyaman. Buat saya dulu menyangkal, menunda, menghindar, adalah sesuatu yang sampai kenyang saya lakukan. Saya bermain sejauh-jauhnya dan selama mungkin. Berteman dengan semakin banyak orang dan mengiyakan banyak ajakan bepergian. Skripsi menjadi suatu hal yang saya akan sesali untuk lakukan jika saya mati saat itu. Tapi toh pada akhirnya saya harus berhenti berlari. Saya mencoba duduk diam dan melakukan apa yang harus saya lakukan. Menemukan kembali kenikmatan dari membaca dan menulis, dan jadilah saya. 
Bagi saya, semua proses itu menyadarkan saya bahwa jika mental saya beres terlebih dahulu, maka intelektual akan dengan lebih mudah mengikuti. Seperti yang saya bilang tadi, intelektual adalah level yang paling gampang. Atasi dulu rasa sakitnya, atasi dulu menyangkal dan lari dari kenyataannya dan mulai menerima bahwa proses menulis ini akan menjadi sesuatu yang memang panjang dan menyakitkan, kemudian isi dari apa yang kita bicarakan akan membaik. Logika kita akan berjalan dengan lebih benar. 
Saya menjadi apa yang saya rasakan sekarang salah satunya juga karena apa yang saya alami saat itu. Diri saya ini menjadi diri yang dapat saya percaya. Sesuatu yang sebelum penulisan skripsi ini terjadi tidak pernah saya rasakan. Belajar untuk berkata 'ya' dan mengambil tanggung jawab akan suatu proses yang harus berlangsung, atau malah tanggung jawab yang dengan sengaja kita ambil agar proses itu bisa kita alami. Saya tergila-gila untuk bertumbuh hingga kadang hal itu mematikan semangat saya sendiri, tapi toh, apapun yang tidak membunuh akan menguatkan.
Saat ini saya akan kembali memasuki suatu proyek penulisan jangka panjang kembali. Rasanya sekarang saya sudah gentar untuk melangkah jika melihat apa yang menanti di depan saya. Masih banyak buku-buku yang seharusnya saya baca dan masih tergeletak tanpa pernah saya sentuh beberapa minggu ini. Revisi-revisi jangka panjang yang harus saya lakukan, bimbingan-bimbingan yang hanya akan menyatakan bahwa saya begitu kurang, kurang teliti, kurang banyak membaca... Wawancara-wawancara yang harus saya lakukan dengan banyak orang yang mungkin tidak saya kenal, juga sudah membuat saya menjadi lebih enggan untuk melangkah. Penolakan yang mungkin saya temui, harus menyesuaikan diri dan meperkenalkan diri dengan banyak orang, untuk orang yang begitu menghindari hubungan sosial seperti saya, itu berat. 
Tapi saya tidak mau apa yang dulu pernah saya alami terulang lagi sekarang, dan satu hal yang bisa saya lakukan hanya membuat diri saya berkata 'iya' untuk menjalani proses ini. Dan membuat 'iya' yang saya lakukan itu merasuk ke dalam tubuh dan pikiran saya sampai ke setiap sel terkecilnya. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Autoetnografi apaan sih?

Tes Rorschach: Antara Manual dan Kenyataan

The Geography of Faith