Dispensasi Pengingat Merapi
Beberapa waktu
ini saya sedang mengurus dispensasi pembayaran uang kuliah saya. Karena saya
tiba-tiba harus pindah kos dan pembayaran yang di kos lama biasanya bulanan
tiba-tiba harus berubah menjadi pembayaran enam bulan di depan, membuat
Orangtua Foundation yang membiayai kuliah saya selama ini cukup kaget dengan
pengeluaran yang tiba-tiba banyak tersebut. Dan tidak beruntungnya bagi saya
dan bagu universitas tempat saya kuliah adalah pembayaran kos ini sebulan
sebelum batas waktu pembayaran kuliah saya.
Oke, sebagai
anak yang tidak berpenghasilan, salah satu cara yang bisa saya lakukan adalah
meminta dispensasi agar saya bisa mundur membayar uang kuliah tanpa mendapatkan
denda. Jangan kalian berpikir bahwa karena saya Cina dan punya toko maka saya
akan dengan mudah membayar uang kuliah.
Kalian tau berapa banyak yang didapat
dari sebuah toko? Toko saya itu jualannya gorengan, kalau satu bijinya itu
harganya Rp 1500,- sampai Rp 2000,- maka secara logis keuntungannya pasti di
bawah angka tersebut. Mari kita sebut saja Rp 500,- untuk setiap potong
gorengannya. Jadi butuh berapa ratus potong gorengan yang terjual agar saya
bisa membayar uang kuliah sebesar Rp 2.500.000,-? Lima ribu potong Gaes… Yo ini
penggambaran saja sih. Kira-kira begitulah tapinya ya…
Nah, kembali
ke masalah dispensasi. Karena saya tau bahwa saya perlu menunda pembayaran,
maka jauh-jauh hari saya sudah mulai mengurus surat dispensasi tersebut. Saya
harus membayar pada tanggal 10 Januari ini—yang ternyata hari Sabtu, jadi
katanya boleh dibayar hari Seninnya. Alhamdulilah deh ya—jadi pada tanggal 11
Desember kemarin saya sudah mebuat surat, bertemu Romo Kaprodi dan mendapatkan
tanda tangan beliau yang mengizinkan saya untuk menunda pembayaran. Saya cuma
minta menunda lo, bukannya mau nggak bayar.
Baiklah, saya
sudah menempatkan posisi diri saya pada posisi sebagai orang yang membutuhkan
bantuan dari orang lain. Tidak pada tempatnya saya sombong kan kalau begini.
Maka dengan rendah hati saya datang pada bagian yang mengurus masalah
dispensasi ini dan menemui ibu petugasnya.
Singkat cerita
saya mendapatkan perlakuan yang bagi saya, sangat tidak menyenangkan. Saya
dijawab dengan ketus., diminta membaca pengumuman yang ditempel di depan pintu
dan melakukan prosedur yang ada di sana. Oke deh, saya manut.
Surat dengan
tanda tangan dari Romo Kaprodi itu jadi tidak berguna dengan metode permohonan
yang baru tersebut. Saya kembali ke fakultas dan mendapatkan bantuan yang penuh
kasih dari sekertariat. Saya mengirimkan email sesuai dengan prosedur yang
diminta. Sudah.
Kemudian, pada
enam Januari ini saya mulai bertanya-tanya. Bagaimana nasib dispensasi saya?
Karena itu hanya permohonan, maka alangkah baiknya saya perlu tau apakah
permohonan itu diterima atau ditolak dan sebagai penjual gorengan ini maka saya
berpikir bahwa orangtua saya perlu tau nasib permohonan tersebut beberapa hari
sebelum pembayaran kan, siapa tau ditolak.
Saya datang
lagi pagi tadi. Saya datang dan bertemu dengan petugas yang lain. Saat saya
bertanya apakah saya boleh mendapatkan jawaban dari email yang sudah saya
kirim, ternyata… Ternyata nis Sodara-sodara sekalian… Karena saya S2 maka saya
perlu membawa surat dengan persetujuan Kaprodi untuk mendapatkan dispensasi
pembayaran. Tapi karena Si Ibu ini memberikan penjelasan dengan ramah tamah,
saya sih senang-senang saja. Saya pulang ke kos baru saya yang meminta pembayaran
enam bulan ke depan itu, mencari surat dari Kaprodi di antara tumpukan sampah
dalam kamar saya, dan setelah menemukannya saya harus mengganti amplopnya
karena sudah lecek, secara sudah sebulan umurnya, lalu saya bawa kembali ke
kampus.
Sedihnya… ketika
saya bawa kembali ke tempat pengurusan dispensasi itu, saya berjumpa dengan Ibu
yang pertama. Beliau langsung bilang bahwa l=kalau minta dispensasi ya
prosedurnya kirim email. Saya bilang sudah. Saya bilang katanya ibu yang kedua
saya harusnya bawa surat dari Kaprodi. Surat diterima dengan masam. Masih
ditambah lagi kalimat penutupnya, “Ini hanya permohonan lo ya, bisa diterima bida ditolak. Email yang
kemarin saja belum didisposisi.” Apa itu disposisi? Saya nggak ngerti deh… Dan
sedihnya, saya kok lupa bilang ya, kalau saya tau itu permohonan dan saya hanya
meminta jawaban apakah permohonan saya ini diterima atau ditolak. Jika memang
harus ditolak ya apa boleh buat, tapi apakah saya tidak berhak akan sedikit
sikap ramah? Posisi saya sendiri sudah rendah, saya yang meminta bantuan, saya
tau itu…
Posisi meminta
bantuan ini memang posisi yang bagi saya tidak menyenangkan. Ingatan saya lalu
mundur pada pengalaman yang saya temui beberapa tahun yang lampau, 13 November
2010. Waktu itu Merapi meletus, dan saya kebetulan berada di tempat yang
menerima dan menyalurkan bantuan kepada para korban letusan yang sangat hebat
kala itu. Kami di tempat itu ada beberapa bagian, ada dapur umum, ada bagian
gudang yang mengurus bantuan yang bukan makanan siap makan, ada bagian belanja,
ada juga bagian distribusi. Siang itu saya sedang membantu di bagian gudang.
Lalu seperti biasa ada banyak orang yang datang untuk meminta bantuan. Dalam
pemikiran saya yang lugu dan bodoh mungkin kala itu, orang yang datang minta
bantuan itu pasti adalah orang yang sedang kesusahan dan harus merendahkan
dirinya untuk meminta-minta. Nggak semua orang lo mudah untuk meminta bantuan
pada orang lain.
Kemudian ada
seorang ibu yang datang meminta bantuan, petugas jaga tidak bisa memutuskan
akan memberi apa dan seberapa banyak dan harus menunggu koordinator yang
berwenang di situ. Apalagi saya yang hanya tukang bantu-bantu, siapalah saya
ini sampai bisa memutuskan akan memberikan apa. Kami menunggu cukup lama kala
itu. Saya tidak bisa memastikan berapa menitnya tapi lama deh. Lalu si Bapak
Koordinator itu datanglah, berjalan dengan santai dari dalam, dengan celana
pendek dan kaos kremnya, mendengarkan sesuatu dengan earphone dari hapenya. Dan keputusan memberikan apa kepada yang
meminta bantuan itu ternyata dikembalikan lagi kepada si ibu yang menerima
tamu.
Saya langsung
naik pitam kala itu. Dalam pikiran saya, orang ini sudah susah, harus
merendahkan diri ke tempat kami untuk meminta bantuan, dan perlakuan yang harus
diterimanya dari kami adalah sesuatu yang kala itu saya rasakan, begitu tidak
menghargai. Saya lupa apa yang saya katakan, saya lupa apa yang saya lakukan.
Saya hanya ingat saya begitu marah sampai tidak dapat saya kendalikan. Mungkin
juga karena saya kelelahan, ditambah malam itu kami begadang sampai dini hari
untuk menyiram teman yang berulang tahun. Yang pasti sore itu saya harus
menjauhkan diri dari tempat tersebut untuk menenangkan diri. Berikutnya saya
mendapat penjelasan mengenai berbagai penipuan yang berkedok meminta bantuan
dan akhirnya bantuannya malah dijual, sejenis itulah. Tapi perlakuan yang bagi
saya begitu meremehkan dan menggampangkan orang lain itu yang membuat saya naik
pitam. Sama dengan masalah dispensasi ini, tapi sekarang saya berada diposisi
ibu yang meminta bantuan tersebut.
Saya ini
adalah orang yang seumur hidup melihat kehidupan di toko. Kepuasan pelanggan
adalah kehidupan kami. Bagi saya, menyenangkan dan memuaskan orang lain itu
adalah suatu hal yang mutlak perlu dilakukan, apa lagi jika saat itu saya dalam
posisi menjual barang atau jasa yang saya miliki. Dalam hal dengan transaksi
jual beli saja kita harus bersikap profesional dan memuaskan pelanggan kita,
apalagi dalam kasus melayani orang lain yang dalam musibah dan kesulitan.
Orang-orang ini pasti mengharapkan sikap ramah dan empati yang lebih karena
posisinya yang memang sedang sulit.
Saya harap
saya bisa terus ingat untuk meperlakukan orang lain dengan baik. Saya yakin
saya bisa meperlakukan orang yang menggunakan jasa atau tenaga saya dengan
baik, seyakin saya akan begitu galaknya dengan orang yang bekerja bersama saya
untuk menghadapi pelanggan atau untuk menghadapi peserta seminar. Jadi
teman-teman, terima kasih sudah menemani saya sampai di sini sekarang ini,
padahal saya begitu sulitnya. Terima kasih untuk tetap sabar menghadapi ledakan
kemarahan dan rengekan saya yang merepotkan sampai sekarang. Makasih yaa...
Anne
BalasHapus