Berbicara Autoetnografi
Ini adalah tugas kuliah Penulisan Artikel Ilmiah yang ternyata hasilnya menurut saya tidak terlalu ilmiah dan masih juga dalam proses revisi untuk proyek metodologi penelitian. Saya mah emang nanggung gitu orangnya (ternyata)... Belum selesai udah dipublish aja.
Metode penelitian menggunakan autoetnografi
adalah suatu metode penelitian yang masih terbilang cukup baru untuk digunakan
dalam penelitian sosial terutama di Indonesia. Masih banyak perdebatan dan
kritik yang ditujukan pada metode ini, antara lain adalah subjektifitasnya yang
sangat tinggi, permasalahan mengenai kode etik dalam penelitian, kurang
analitis, dan peneliti tidak perlu turun ke lapangan sebagaimana lazimnya suatu
penelitian. Tulisan ini merupakan suatu argumentasi mengenai metode
autoetnografi sebagai suatu metode penelitian yang akademis, valid, dan
analitis dalam penelitian sosial, terutama dalam kajian budaya.
Kata
kunci: autoetnografi,
metode penelitian
Autoetnografi
adalah salah satu metode penelitian yang semakin banyak digunakan dalam 15
tahun terakhir. Hal ini dinyatakan oleh Sara Delamont dalam tulisannya yang
berjudul The only honest thing:
autoethography, refelxivity and small crises in fieldwork yang diterbitkan
pada tahun 2009. Saya sendiri baru mengenal metode penelitian ini ketika saya
menempuh mata kuliah Kajian Gender pada tahun 2013. Bagi
saya metode ini merupakan suatu metode penelitian yang menarik untuk digunakan
karena memberi kesempatan pada peneliti atau penulisnya untuk mengekspresikan dirinya
dalam karya yang dia hasilkan. Carolyn Ellis (2004), Professor dalam bidang
komunikasi dan sosiologi serta pengajar di University
of South Florida, dalam bukunya The
Ethnographic
I memberi
definisi singkat mengenai autoetnografi yaitu sebagai suatu metode penulisan
yang berangkat dari pengalaman pribadi penulis, dan mengamati sensasi fisik,
perasaan, pikiran dan emosi. Suatu introspeksi sosiologis yang sistematis dan
mengingat ulang suatu pengalaman yang emosional untuk lebih memahami pengalaman
yang sudah dijalani (Ellis, 2004: xvii). Adanya kesempatan dan ruang bagi
penulis untuk mengekspresikan dirinya dan pengalaman dirinya tanpa terlalu
berjarak dengan tulisannya bagi saya adalah suatu nilai lebih dalam metode ini,
tetapi bagi beberapa peneliti lain, hal ini malahan menghilangkan keilmiahan
dari metode autoetnografi.
Heewon
Chang (2008) dalam bukunya Autoethography
as Method memiliki pendapat yang sejalan dengan pendapat di atas. Ia menyatakan bahwa metode ini memberi
ruang dan kesempatan bagi penulis atau peneliti untuk menggunakan suara dan
pengalaman pribadinya untuk lebih memahami lingkungan atau situasi budaya yang
ada di sekitarnya (Chang, 2008; Wall, 2008). Selain itu, pada beberapa tulisan
mengenai penggunaan metode autoetnografi juga dinyatakan bahwa penggunaan
metode ini memberikan efek yang baik atau menyembuhkan diri secara mental bagi
para penulisnya (Ellis, 2004: 19). Hal ini bisa dibenarkan karena dengan
mengeksplorasi apa yang kita alami dan kita rasakan, kita dapat lebih memahami
apa yang terjadi pada diri kita serta hal-hal apa saja yang memengaruhi
pemikiran dan perasaan kita. Bagi saya yang memiliki latar belakang psikologi,
saya jadi memiliki ketertarikan tersendiri terhadap kesehatan mental seseorang
dan metode ini jadi memiliki nilai tambahnya tersendiri.
Di
sisi lain, saya juga tidak dapat menutup mata mengenai perdebatan yang ada di
balik penggunaan metode ini. Metode autoetnografi yang terbilang masih cukup
baru ini juga membawa permasalahannya tersendiri. Metode ini mengangkat kisah
hidup dari penulis sebagai sumber data utama dari sebuah penelitian. Hal ini
menimbulkan banyak masalah dan pertanyaan. Masalah yang paling sering muncul
adalah mengenai subjektivitas dari penulis itu sendiri. Apakah penggunaan data
pribadi memberikan jarak yang cukup bagi penulis untuk memandang
permasalahannya secara objektif? Apakah penulis akan cukup kritis untuk
menganalisa permasalahan yang ada dari dalam data pribadinya? Permasalahan lain
yang juga muncul adalah mengenai kualitas data, legitimasi, dan juga
permasalahan kode etik (Wall, 2008: 39). Dari pertanyaan dan perdebatan ini
saya ingin berangkat dan memulai perjalanan saya untuk memahami metode
penelitian autoetnografi secara lebih jauh.
Autoetnografi dan Perdebatan di
Sekitarnya
Sara
Delamont dalam tulisannya yang berjudul Arguments
againts Auto-Ethnography[1]
dengan cukup keras melakukan kritik terhadap metode penelitian
autoetnografi. Ia menggunakan kata yang keras yaitu ‘lazy’, malas. Delamont menyatakan bahwa pada dasarnya metode
penelitian ini adalah suatu metode penelitian yang malas, baik secara harafiah
maupun secara intelektual (Delamont, 2007: 2). Selain itu ia juga mengajukan
ada enam keberatan mengenai metode penelitian autoetnografi yaitu:
1.
Autoetnografi tidak dapat melawan (bersikap
kritis) terhadap hal-hal yang sudah umum atau sudah diterima oleh masyarakat di
sekitar penulis
2.
Hampir mustahil untuk mempublikasikan kisah
autoetnografi tanpa menemui permasalahan etis. Permasalahan ini terkait dengan
pemberian ‘informed consent’ kepada orang-orang yang kisah hidupnya ikut
menjadi data dalam cerita pribadi peneliti.
3.
Autoetnografi hanya menitikberatkan (mendasarkan)
pada pengalaman dan kurang analitis
4.
Autoetnografi berfokus pada pihak yang
kuat, bukan pada pihak yang lemah sebagaimana keberpihakan yang saat ini
berkembang dalam bidang sosiologi
5.
Metode ini mencabut kewajiban peneliti
untuk keluar dan mengumpulkan data.
6.
Diri kita tidak cukup menarik untuk
dituliskan dalam jurnal, untuk diajarkan, dan mengharapkan perhatian dari pihak
lain.
Delamont dalam
artikel yang diterbitkan oleh jurnal Ethnography
and Education pada tahun 2009, masih mengajukan enam keberatan dan argumen
yang sama dalam menentang penggunaan metode autoetnografi ini sebagai metode
penelitian. Di sini saya mengambil posisi yang berlawanan dengan Delamont. Saya
dalam tulisan ini mencoba berargumen dan memaparkan pemahaman dan pembacaan saya
mengenai metode penelitian autoetnografi sebagai suatu metode penelitian yang
ilmiah dan bisa dipertanggungjawabkan.
Autoetnografi sebagai Metode
Penelitian Sosial
Penelitian
yang dilakukan untuk memahami diri sendiri (self-naratives)
atau lingkungan tempat di mana peneliti tersebut tinggal sudah banyak dilakukan
dewasa ini, Melihat pengalaman diri sendiri ini membuat peneliti menjadi
peneliti sekaligus objek dari penelitian tersebut (Lincoln & Denzin, 2003:
19). Ada banyak variasi istilah yang digunakan dan berbagai metode penelitian
yang dapat digunakan yang terasosiasikan dengan arti dan penggunaan dari
autoetnografi seperti personal
narattives, narasi tentang diri, kisah diri (self stories), auti-observasi, personal etnografi, autobiografi
kritis, radical empiricism, evocative naratives,
etnografi refleksif, metode biografi, indigenous
anthropology, antropological poetics, dan performance ethnography (Lincoln & Denzin, 2003: 19). Lalu apa
yang membedakan autoetnografi dengan model penulisan lainnya?
Istilah
autoetnografi sendiri menurut David Hayano pertama kali didengarnya pada tahun
1966 dalam seminar strukturalisme Sir Raymond Firth di London School of Economis (Hayano, 1979: 99). Dalam tulisannya Auto-Ethnography: Paradigms, Problems, and
Prospect ini, Hayano menyoroti tentang munculnya tren dalam bidang
antropologi yang mulai banyak melakukan penulisan etnografi pada
“orang-orangnya sendiri” (Hayano, 1979: 99).
Autoethnography
sendiri bukanlah suatu teknik penelitian, metode, atau suatu teori yang
spesifik, tetapi ia mewarnai setiap bagian dalam penelitian lapangan yang
dilakukan (Hayano, 1979: 99). Heewon Chang (2008) mengawali penjelasannya
mengenai metode autoetnografi dengan menyatakan bahwa bercerita atau narasi merupakan
salah satu kegiatan yang sudah lama dilakukan oleh manusia, bahkan mungkin
sudah ada sepanjang sejarah kehidupan manusia. Orang-orang saling menceritakan
kenangan masa kecil, pembentukan atau sejarah suatu keluarga, komunitas, atau
suatu suku bangsa. Dalam perkembangannya cerita-cerita mengenai kehidupan
seseorang atau suatu autobiografi disebut dengan self-narative (Chang, 2008: 31).
Penulisan
mengenai diri sendiri ini semakin berkembang dan banyak dilakukan pada beberapa
dekade terakhir. Self-narative sendiri
memiliki beberapa genre atau beberapa kategori, Chang (2008) membaginya menjadi
tujuh kategori[2].
Dalam tulisan kali ini saya secara khusus akan membahas dan membicarakan
mengenai penulisan autoetnografi.
Sama
seperti metode penelitian yang lain, memutuskan menggunakan metode penelitian
autoetnografi juga harus disesuaikan dengan tema dan tujuan penelitian yang
kita lakukan. Seperti misalnya mencari korelasi atau perbedaan dua variabel akan
lebih cocok dengan menggunakan metode statistik, atau melihat suatu akibat dari
perlakuan dengan metode eksperimen. Sejak awal kita perlu menyadari bahwa ada
tema-tema dan tujuan penelitian yang bisa diteliti dengan menggunakan metode
penelitian autoetnografi dan ada juga yang tidak (Adams, Jones & Ellis,
2015: 21).
Perkembangan
dari autoetnografi sendiri tidak terlepas dari tren di mana subjektivitas dan
refleksifitas dari peneliti mulai dihargai dalam pandangan postmoderenisme
(Chang, 2008; Wall, 2008). Sejalan dengan pandangan tersebut, Adams, Jones
& Ellis (2015) menjelaskan bahwa autoetnografi adalah suatu metode
kualitatif yang menawarkan adanya suatu pengetahuan yang memperlihatkan adanya
perbedaan nuansa, kompleksitas, dan pengetahuan yang spesifik mengenai suatu
bagian kehidupan, pengalaman, dan relasi daripada suatu informasi yang bersifat
umum tentang sekelompok besar manusia.
Lebih
lanjut Leon Anderson dalam tulisannya Analytic
Autoethnography menjelaskan akan adanya suatu kecenderungan yang baru dalam
dua dasawarsa belakangan ini dalam penelitian sosial dan kemanusiaan. Model
penelitian ini merupakan suatu model penulisan dengan genre yang kabur, yang
menekankan pada refleksifitas dari penulis dalam suatu penelitian etnografi,
meningkatkan fokus pada emosi dalam penelitian sosial, dan adanya skeptisisme
dari postmodernisme mengenai ketidakpercayaan akan adanya klaim pengetahuan
yang digeneralisasikan secara luas (Anderson, 2006: 373).
Menurut
saya, semua penulisan itu merupakan suatu produk yang subjektif, hal itu
tercermin dari fokus penelitian yang dipilih, sudut pandang penulisan, sampai kesimpulan yang diambil. Hal ini juga
diamini oleh Paula Saukko (2003) dalam bukunya Doing Research in Cultural Studies, An Introduction to Classical and New
Methodological Approaches. Ia membuka bukunya dengan pernyataan bahwa
argumen yang diangkatnya dalam buku ini adalah bahwa suatu penelitian atau
metodologi penelitian tidak akan pernah ‘objektif’ tetapi selalu kontekstual (located), selalu dipengaruhi oleh posisi
sosial dan peristiwa sejarah tertentu dan memiliki agenda atau tujuan tertentu
(Saukko, 2003: 3). Dalam kasus autoetnografi permasalahan mengenai
subjektivitas dari peneliti ini lebih ditunjukkan dan “dirayakan”.
Subjektivitas
dalam penelitian ini saya rasakan benar dalam membaca suatu hasil penelitian
ataupun dalam proses penulisan karya ilmiah itu sendiri. Sebagai contoh adalah
apa yang saya alami dan rasakan dalam pengerjaan bab 2 penelitian tesis saya. Bab
2 ini saya rencanakan untuk berbicara mengenai konteks sejarah orang keturunan
Cina yang ada di Indonesia. Suatu bagian yang menurut saya pada awalnya tidak
akan bersentuhan dengan pengalaman pribadi saya sama sekali. Ternyata saya
salah. Saya merasakan benar subjektivitas itu dari buku-buku yang saya pilih
untuk dibaca, bagian-bagian yang saya baca, dan kutipan-kutipan yang saya ambil
untuk saya tuliskan dalam membangun argumen saya dalam tulisan tersebut. Apa
yang saya baca dan apa yang saya rencanakan untuk saya tulis dalam bab 2 saya
tersebut berbeda sekali dengan bagian yang sama dalam tesis dari Alwi Atma
Ardhana[3]
(2013). Pada bab tersebut penulis juga membahas mengenai konteks dan sejarah
orang keturunan Cina yang ada di Indonesia, tetapi buku yang dia baca dan
bagian yang dituliskan sangat berbeda dengan pilihan-pilihan yang saya ambil.
Di sini saya melihat bahkan untuk bagian yang tidak personal seperti konteks
sejarah, kita tetap bisa melihat subjektivitas dari penulis.
Sebenarnya
mengenai autoetnografi sendiri ada banyak pemahaman dan genre yang berkembang
tergantung di mana seni penulisan mengenai diri ini berkembang. Penulisan kali
ini mengambil pemahaman yang diangkat oleh Chang (2008) yang memahami penulisan
autoetnografi sebagai penulisan kombinasi analisa budaya dan interpretasi
dengan detail yang bersifat naratif. Autoetnografi adalah suatu metode
penelitian yang menggunakan data autobiografi dari peneliti untuk menganalisis
dan menginterpretasikan asumsi budaya mereka (their cultural assumptions) (Chang, 2008) .
Ellis
dan Bochner dalam Chang (2008) memberikan suatu model yang menjelaskan mengenai
kompleksitas dari variasi autoetnografi. Mereka menjelaskan bahwa dalam
penulisannya, autoetnografer harus selalu menyesuaikan penekanan dalam proses penelitian
(graphy), pada budaya (etno), dan
pada diri (auto), dan setiap hasil penulisan dari autoetnografi berada pada
kontinum antara tiga aspek tersebut. Lebih lanjut Chang (2008) menyimpulkan
bahwa dalam penulisan autoetnografi kita harus menjaga keseimbangan antara
ketiga aspek tersebut. “I argue that
autoethography should be ethnographic in its methodological orientation,
cultural in its interpretive orientation, and autobiographical in its content
orientation” (Chang, 2008) .
Dari
beberapa pemaparan di atas, dapat kita lihat bahwa autoetnografi memiliki
posisinya sendiri dalam suatu penelitian. Ia memiliki kompleksitasnya sendiri
dalam memandang suatu permasalahan, baik itu identitas, kehidupan, relasi, dan
pengalaman personal seseorang. Untuk dapat mengungkapkan hal-hal tersebut dalam
suatu desain penelitian bukanlah hal yang mudah. Suatu desain penelitian
autoetnografi yang diharapkan dapat mengungkapkan kompleksitas-kompleksitas itu
tidak dapat hanya dengan menggunakan rancangan penelitian yang berupa
eksperimen, survei, atau daftar pertanyaan saja. Namun bagaimanapun juga
autoetnografi memiliki beberapa hal yang menjadi prioritas, perhatian,
cara-cara dalam melakukan penelitian (Adams, Jones & Ellis, 2015: 26). Hal
itu meliputi:
1.
Mengedepankan pengalaman pribadi dalam
penelitian dan penulisan
2.
Menggambarkan proses pembentukan makna
3.
Menggunakan dan menunjukkan refleksifitas
4.
Menggambarkan pengetahuan dari orang dalam
(insider) dari suatu fenomena
budaya/pengalaman
5.
mendeskripsikan dan mengkritisi norma
budaya, pengalaman, dan kebiasaan
6. Mencari
respon dari pembaca
Lebih
lanjut, dalam penjelasannya mengenai bagaimana melakukan penelitian
autoetnografi, Chang (2008) mencoba menjelaskan langkah-langkah apa yang perlu
dilakukan baik itu sebelum maupun saat melakukan penulisan autoetnografi itu
sendiri. Salah satu hal yang ditekankan dalam penulisan autoetnografi adalah
mengumpulkan data kenangan.
Kenangan
atau memori adalah suatu hal yang penting dalam penulisan autoetnografi. Kenangan
adalah faktor pembentuk diri kita saat ini. “Recalling”
atau mengingat kembali suatu kejadian dalam penelitian autoetnografi
memiliki perinsip yang sama dengan apa yang dilakukan oleh penelitian etnografi
dari genre yang lain (Chang, 2008: 71). Sedangkan dalam autoetnografi, penulis
memiliki keuntungannya tersendiri. Sebagai penulis kita memiliki akses penuh
pada pengalaman dan interpretasi kita akan apa yang terjadi di masa lalu.
Selain itu kita juga menjadi tangan pertama yang bisa memilih ingatan mana yang
relevan dalam penelitian yang sedang kita lakukan (Chang, 2008: 27).
Dalam
mengumpulkan data kenangan ini, Chang (2008) memberikan beberapa panduan yang
sudah pernah dia lakukan dalam melakukan penulisan autoetnografi yaitu menyusun
kembali kenangan berdasarkan hal-hal besar yang terjadi dalam kehidupan,
seperti pernikahan, kelahiran, lulus sekolah, pindah tempat tinggal atau
perubahan karir. Hal lain yang digunakan dalam menyusun kenangan adalah
berdasarkan perayaan tahunan atau kejadian sehari-hari, seperti perayaan hari
raya keagamaan, pertemuan komunitas yang diadakan setiap minggu, rapat, sampai
waktu bersama keluarga. Kegiatan keseharian inilah tempat di mana orang-orang
belajar mengenai bahasa, kebiasaan, budaya dan dapat menyatu dengan pola-pola
yang ada dalam masyarakat (Chang, 2008: 72-75).
Hal
ini berarti bahwa walaupun dari segi isi atau data penelitian autoetnografi
banyak menggunakan data yang dimiliki oleh peneliti itu sendiri tetapi tetap
harus menggunakan prinsip dan disiplin dari metode penelitian etnografi.
Seperti dalam pengumpulan data, penulisan data lapangan, dan penggunaan data
lain untuk melakukan triangulasi validitas data (wawancara, observasi, data
pustaka, dan artefak). Selain itu pada hasilnya autoetnografi tidak hanya menekankan
pada kisah yang dimiliki oleh autoetnografer itu sendiri melainkan harus
menghasilkan suatu analisa atau interpretasi mengenai konteks budaya dan
pemahaman mengenai liyan (other) baik
yang berhubungan secara langsung maupun tidak langsung. Penulis dituntut untuk
memperlakukan datanya dengan kritis, analitis, dan interpretatif untuk
menemukan wacana yang ada.
Dari
pemaparan di atas saya memahami bahwa dalam penelitian kajian budaya di mana lived experience menjadi suatu aspek
yang penting dalam penelitian, autoetnografi juga menjadi suatu model
penelitian yang dapat digunakan dalam bidang ilmu kajian budaya. Autoetnografi
sendiri memiliki keuntungan dalam mendapatkan data mengenai
pengalaman-pengalaman yang bersifat personal, seperti pengalaman mengenai
sakit, gangguan mental, relasi, atau pengalaman kehidupan terutama pada
orang-orang yang termarjinalkan yeng sulit diungkapkan pada orang lain. Banyak
contoh penulisan autoetnografi yang menceritakan tentang pengalaman penulisnya
dalam menghadapi pengalamannya sebagai kaum minoritas baik secara kelas,
gender, agama, maupun dalam pengalamannya mengenai keterbatasan fisik dan
mental.
Salah
satu keuntungan yang besar dari autoetnografi adalah dari pandangan bahwa self adalah suatu perpanjangan dari komunitas,
alih-alih sebagai suatu individu yang bebas atau terlepas dari komunitas
tersebut. Self-sufficient being, karena
kemungkinan dari analisa personal bersandar pada pemahaman bahwa diri merupakan
bagian dari suatu komunitas budaya. (Chang, 2008) p.26
Contoh
lain dari autoetnografi adalah tulisan dari Paula Saukko dalam bukunya Anorexic Self. Di sini ia mencoba
mendeligitimasi pandangan-pandangan yang selama ini ada mengenai anoreksia yang
terjadi pada wanita. Ia mencoba menyatakan ketidakpuasannya akan pandangan
mengenai anoreksia yang selama ini banyak diseskripsikan oleh para pskiater,
media, dan para feminis. Di sini Saukko menganailisis dan mengkritisi wacana
normatif mengenai perempuan dan menggambarkan kembali dari sisi yang berlawanan
apa yang selama ini dianggap sebagai gangguan anoreksia (Saukko, 2008: 1-2).
Mengolah, analisa, dan interpretasi
data
Lalu data seperti
apakah yang kita butuhkan dalam melakukan penelitian dan penulisan dengan
metode autoetnografi ini? Bagaimana kita menganalisa data tersebut? Dan sejauh
apa interpretasi dilakukan dengan metode ini?
Di sini saya ingin
menceritakan sedikit contoh mengenai suatu penelitian yang dilakukan oleh
Michael Hemmingson yang berjudul Zona
Norte: The Post-Structural Body of Erotic Dancer and Sex Worker in Tijuana, San
Diego and Los Angeles: an Auto/ethnography of Desire and Addiction, Hemmingson menuliskan tentang peneltian autoetnografi
yang dilakukannya di Zona Norte, suatu area prostitusi di perbatasan Amerika
dan Mexico. Ia menceritakan pengalaman dan ketertarikannya pada dunia
prostitusi di area itu. Dalam penelitian ini selain menceritakan pengalaman
yang dialaminya dengan para penari telanjang, ia juga menceritakan bagaimana
perasaannya saat melakukan penelitian itu. Bagaimana dia tertarik dengan
wanita-wanita yang dianggapnya mirip seorang teman atau seorang mantan kekasih.
Ia juga menceritakan mengenai kondisi sejarah, sosial, dan politik yang
membentuk kota Tijuana, kota tempat di mana penelitian itu berlangsung. Pada
bab ke empat dalam bukunya, dia menceritakan tentang dirinya yang kecanduan
Tramadol, obat penghilang rasa sakit yang bisa dengan mudah dan murah di dapatkannya
di apotek-apotek di Tijuana.
Lebih jauh,
Hemmongson tidak hanya menceritakan pengalaman-pengalamannya itu, baik dengan
para pelacur yang disewanya maupun pengalamannya sebagai pecandu obat penenang,
tetapi dia juga mengkritisi pengalaman-pengalaman tersebut dari berbagai sudut
pandang. Seperti dia menganalisis seleranya dalam memilih wanita yang akan
disewanya, pendapat orang lain dan pendapat dirinya sendiri bahwa dia merupakan
seorang yang kesepian hingga melakukan penelitian ini, bias-bias yang menurutnya
dialaminya, sampai pada ia merasa begitu ‘jatuh’ ketika menyadari dirinya
kecanduan Tramadol. Sampai akhirnya dia berusaha berhenti mengkonsumsi obat-obatan
tersebut (Hemmingson, 2008).
“And that is how I see myself now—a seeker of
truth, a body desiring transendence and the truth. Every time I take the
trolley down to the international border to get another bottle of my new
reality, I am comfortable with the veracity I have embraced (Hemmingson, 2008:
104).”
Mengkritisi apa
yang terjadi dalam diri sendiri dan mengkritisi hal apa saja yang membentuk
dirinya. Melihat bias-bias apa saja yang dibawa. Mencari kebenaran atau
pembenaran akan apa yang terjadi dan dialami.
Hemmingson dalam
penelitiannya ini menggunakan narasi dalam mengisahkan pengalaman yang
dialaminya. Ia menceritakan apa saja yang dialami dan dilakukannya, bagaimana
pertimbangan-pertimbangan dan refleksinya, juga hal-hal apa yang dirasakan
selama kejadian itu berlangsung. Ia juga memberikan setting lokasi, waktu, dan
tokoh-tokoh yang terlibat di dalam kisahnya. Banyak bentuk lain yang bisa pilih
dan digunakan dalam penulisan autoetnografi, ada yang menuliskan dalam bentuk
puisi (Jhonson, 2014: 85), esai, ataupun fiksi (Hemmingson, 2008:)
Autoetngografi
merupakan sebuah cara penulisan atau pengumpulan data dalam suatu penelitian
sosial. Hemmingson (2008) dalam penelitiannya lebih jauh menggunakan metode
tambahan dalam melakukan interpretasi pada penelitian yang dilakukannya. Dia
menjelaskan bahwa interpretasi dalam penelitiannya ia menggunakan metode
imaginasi sosiologis untuk bisa melihat dan menggambarkan kondisi
sosial-ekonomi, budaya, sejarah, dan lingkungan di sekitar para pekerja sex
komersial di Tijuana yang menjadi area penelitiannya (2003: 11).
Dari sini saya
menyimpulkan bahwa autoetnografi tidak dapat berdiri sendiri sebagai suatu
metode penelitian. Metode ini tetap membutuhkan cara yang lain agar data yang
didapat bisa diinterpretasikan dan menemukan maknanya.
Kesimpulan
Autoetnografi
adalah suatu metode penelitian yang tergolong baru dalam ranah akademis.
Walaupun istilah dan genre ini sudah muncul cukup lama, tetapi baru dalam dua
dasawarsa terakhir ini autoetnografi banyak digunakan dalam suatu penulisan
akademis. Kemunculan yang tidak dapat dipungkiri menimbulkan banyak perdebatan
di dalamnya mengenai subektifitas dan permasalahan etis. Bagi saya,
autoetnografi adalah suatu cara saya untuk bersuara, membantu saya menyatakan
diri, dan mengeluarkan saya dari posisi subaltern
saya sebagai minoritas di Indonesia. Di sini saya menyatakan bahwa belum
tentu posisi penulis autoetnografi adalah seseorang yang berada di posisi yang
kuat seperti yang dikatan Delamont di awal tulisan ini. Mungkin iya setelah
suatu tulisan autoetnografi jadi, penulisnya akan berada di posisi yang kuat
dan bisa bersuara, tetapi dari mana penulis itu berasal, kita tidak dapat
memastikan.
Kritik dari
Delamont di awal yang menyatakan bahwa penelitian ini merupakan suatu metode
yang malas dan mengambil kewajiban peneliti untuk terjun ke lapangan menurut
saya adalah suatu tuduhan yang emosional dan tidak berdasar di sini. Jika
peneliti itu malas karena tidak terjun ke lapangan, maka akan sangat banyak
peneliti dalam bidang sastra dan filsafat yang juga malas dan semua studi
pustaka yang mereka lakukan adalah produk dari kemalasan tersebut. Dapat kita
lihat salah satu contohnya dalam penelitian yang dilakukan Hemmingson yang
tetap terjun ke lapangan dan menemui narasumbernya dan penelitiannya juga
merupakan suatu penelitian autoetnografi karena perspektif penulisan yang
diambilnya.
Sama seperti metode
penelitian yang lain juga, ada tema-tema yang memang cocok untuk diteliti
dengan metode autoetnografi, dan ada juga yang tidak. Hal ini tidak berarti
bahwa metode yang tidak dapat meneliti semua tema menjadi suatu metode yang
tidak ilmiah untuk dilakukan. Tidak semua tema juga bisa diteliti menggunakan
statistik, dan itu tidak membuat metode statistik menjadi suatu yang tidak
ilmiah.
Mengenai masalah
subjektifitas, di sini saya mengutip pernyataan dari Katrin Bandel dalam
tulisannya Gender dan Posisionalitas
yang dipaparkannya pada Studium Generale Program
Pascasarjana Universitas Sanata Dharma pada 12 Desember 2012
“Sebuah tulisan akademis yang berbicara
dengan suara yang sangat berjarak tanpa sekalipun mempersoalkan psosisi
subjektif penulisnya, tidaklah lebih netral dan objektif daripada tulisan yang
secara eksplisit berangkat dari subjektifitas penulisnya. Tulisan seperti itu
hanyalah terkesan lebih objektif, sebab perspektif penulisnya tidak disadari
atau tidak diakui (Bandel, 2013: 14).”
Saya ingin menutup
tulisan saya ini dengan kutipan yang dituliskan oleh Hemmingson untuk
mengakhiri pengantar bagian kedua dari penelitiannya,
“Kita tidak pernah benar-benar tau secara
menyeluruh pengalaman yang dimiliki orang lain. Beberapa mungkin berkenan
membagi pengalaman mereka, tetapi setiap orang melakukan sensor atau represi,
atau mungkin tidak sepenuhnya menyadari atau memiliki kemampuan untuk
mengartikulasikan aspek-aspek tertentu yang sudah dialami (Bruner dalam
Hemmingson, 2008: 118).”
Saya setuju
sepenuhnya dengan kata-kata Bruner di atas. Jadi mengapa kita bisa lebih
menerima hasil penelitian orang lain (peneliti luar negeri misalnya) yang
membuat penelitian (atau kategorisasi) atas diri kita dan menganggapnya sebagai
suatu kebenaran dari pada apa yang diri kita sendiri alami dan maknai, hanya
atas nama objektivitas?
Daftar
Pustaka
Adams, T. E., Jones, S. H., &
Ellis, C. (2015). Autoethography Understanding Qualitative Research. New
York: Oxford University Press.
Anderson,
L. (2006). Analytic Autoethnography. Jounal of Contemporary Ethnography ,
Volume 35 Number 4, 373-395.
Bandel,
K. (2013). Gender dan Posisionalitas. Gender dan Posisionalitas: Merumuskan
Kerja Akademis yang Sadar Gender (pp. 2-27). Yogyakarta: Universitas Sanata
Dharma.
Chang,
H. (2008). Autoethnograpy as Method. California: Left Coast Press, Inc.
Delamont,
S. (2007, February 4). Arguments againts Auto-Ethnography. Quality , pp.
2-4. (diunduh pada 1 Maret 2015)
Delamont,
S. (2009). The only honest thing: autoethnography, reflexivity and small crises
in fieldwork. Ethnography and Education , 51-63. (diunduh pada 1 Maret
2015)
Ellis,
C. (2004). The Ethnographic I A Methodological Novel About Autoethnography.
United States of America: AltaMira Press.
Hayano,
D. (1979). Auto-Ethnography: Paradigms, Problems, and Prospects. Human
Organization , Vol. 38, no. 1, 99-104. (diunduh pada 1 Maret 2015)
Hemmingson,
M. (2008). Zona Norte: The Post-Structural Body of Erotic Dancers and Sex
Workers in Tijuana, San Diego and Los Angeles: an Auto/ethnography of Desire
and Addiction. Cambridge: Cambridge Scholar Publishing. (diunduh pada 28
Mei 2015)
Johnson,
A. L. (2014). Negotiating More, (Mis) labeling the Body: A tale of
Intersectionality. In R. M. Orbe, Critical Autoethnography (pp. 81-95).
California: Left Coast Press, Inc.
Lincoln,
Y. S., & Denzin, N. K. (2003). Turning points in qualitative research:
tying knots in hankerchief. Walnut Creek, CA: Alta Mira Press.
Saukko,
P. (2003). Doing Research in Cultural Studies, An Introduction to Classical
and Ne w Methodological Approach. London: Sage Publication.
Saukko,
P. (2008). The Anorexic Self, A Personal, Political Analysis of Diagnostic
Discourse. Albany: State University of New York Press.
Wall,
S. (2008). Easier Said than Done: Writing an Autoethnography. International
Journal of Qualitative Methods , 38-53.
[1]
Artikel dari Sara Delamont ini adalah tulisan yang pernah dipresentasikan pada European Sociological Association
conference; ‘Advance in Qualitative Research Practice’ pada September 2006.
Tulisan ini juga diterbitkan kembali di Qualiti (halaman 2-4), suatu terbitan
mengenai penelitian kualitatif dari Cardiff
University pada 4 Februari 2007. Artikel saya unduh pada Kamis, 12 Maret
2015 dari http://www.cardiff.ac.uk /socsi/qualiti/QualitativeResearcher/QR_Issue4_Feb07.pdf)
[2]
7 kategori tersebut adalah autoetnografi; memori dan autobiografi (MA)—rasial,
etnik, dan bahasa; MA—permasalahan religius; MA—politik, konflik sosial, dan
perang; MA—kenangan masa kecil, hubungan keluarga, dan pertumbuhan; MA—permasalahan
gender; MA—ketidakmampuan (disability),
penyakit, dan kematian (Chang, 2008: 32)
[3]
Masyarakat Cina dan Kekerasan Objektif dalam Karya Sastra: Sebuah Kritik
Ideologi atas Multikulturalisme, 2014, Alwi Atma Ardhana, Tesis Program
Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma.
Komentar
Posting Komentar