Sekolah Membuatku Patuh


Judul di atas sebenarnya adalah judul hasil plagiat dari tulisan teman saya di dalam buku Pendidikan Boneka. Claudius Hans dalam tulisannya di buku tersebut, bercerita tentang pengalamannya selama dia bersekolah di SMA dan masa-masa perkuliahan S1-nya. Bukan suatu pengalaman yang menyenangkan jika kita mau jujur mengakui. Pada tulisannya, kita akan menemukan adanya ketidakpuasan, bahkan kekecewaan Hans dengan sistem pendidikan yang dia alami.
Terlahir di sebuah kota kecil, Hans tidak memiliki banyak pilihan dalam bersekolah. Sekolah terbaik di daerahnya ya sekolah itu. Preferensi agama membuat pilihan sekolah bagi Hans semakin tidak banyak lagi. Masa SMA-nya dijalani dalam sebuah sekolah yang terkenal dengan kedisiplinannya. Hans yang dalam tulisan ini berbicara murni sebagai siswa merasa bahwa apa yang dia alami di sekolah tersebut bukanlah suatu perlakuan yang adil dan memanusiakannya sebagai manusia.


Sebagai contoh, dalam kisahnya Hans bercerita bagaimana dia jika melakukan pelanggaran peraturan di sekolahnya, seperti misalnya terlambat, atau tidak memenuhi ketentuan seragam, dia akan mendapatkan hukuman seperti dijemur di lapangan atau mengangkuti bebatuan, yang entah apa gunanya. Belum lagi ada masalah senioritas dan peraturan-peraturan pada masa orientasi yang menurut Hans, hal itu bukannya membuatnya disiplin atau merasa dimanusiakan, tetapi malahan membuatnya merasa dipermalukan. Senioritas yang dirasakannya sebagai tindakan bullying, pendisiplinan berupa hukuman fisik dan kata-kata guru yang kasar dan mempermalukan seseorang di depan murid yang lainnya yang dimaksudkan sebagai, katanya, usaha pendisiplinan, ternyata tidak sampai pada Hans sebagai proses pendisiplinan yang baik buat dirinya. Jika proses tersebut ada untuk membuatnya jera, hal itu juga tidak membuatnya jera, dari kisahnya, Hans sudah sampai mendapatkan ancaman drop out yang saya terjemahkan adanya pelanggaran besar atau berulang yang sudah dia lakukan.
Hans dan juga saya ini bisa dibilang masih awam dengan yang namanya pendidikan. Proses pendidikan yang kami alami ini bisa dibilang hanya sebatas berdiri sebagai pihak yang dididik. Pihak yang dikenai proses dan yang dianggap akan mengalami perubahan atau transformasi dengan proses formasi yang dilakukan. Masih cukup sulit bagi saya untuk berbicara dari sudut pandang pendidik yang bertanggung jawab untuk membentuk manusia muda menjadi seseorang yang bisa masuk ke masyarakat dengan benar dan tepat. Namun menurut saya tidak berarti bahwa sudut pandang dan pemaknaan yang dialami sebagai peserta didik adalah pemaknaan yang kami miliki itu salah.
Beberapa malam yang lalu, saya, Hans, dan beberapa teman yang lain berkumpul untuk membahas buku Pendidikan Boneka. Pembicaraan yang selalu pada akhirnya membawa kami pada pembicaraan mengenai pendidikan. Malam itu saya mengangkat topik pembahasan mengenai penghukuman akan pelanggaran suatu peraturan. Tidak hanya Hans di masa lalu dan di pinggiran pulau Jawa yang pernah mengalami penghukuman dengan disuruh untuk berlari keliling lapangan, mengangkuti batu, push up, atau dikatai sebagai penjual kangkung, saat ini di Jogja, proses penghukuman seperti itu juga terjadi. Penghukuman yang menurut Hans tidak ada unsur mendidiknya dan malah menjadi aksi bully dari pihak penegak peraturan dan mempermalukannya sebagai manusia.
Saya kemudian bertanya kepada teman-teman saya yang lain yang kebetulan adalah orang-orang yang sudah menjalani proses mendidik orang lain. Lalu, hukuman seperti apakah yang efektif untuk dilakukan dan memberikan pendidikan bagi para peserta didiknya? Dan jawaban inilah yang muncul, dan sedikit banyak saya setuju dengan pendapat teman saya ini.
Kata Mas Noel ditambah dengan pendapat dari Mas Adit, hukuman yang diberikan itu harus ada unsur manfaatnya bagi si terhukum dan bagi orang lain di sekitarnya, jadi dijemur di lapangan itu tidak memberi manfaat bagi peserta didik selain membuat mimisan. Sebagai contoh, suatu saat, kita anggap saja Alex (bukan nama sebenarnya), membuang sampah sembarangan di lingkungan sekolah. Dia tertangkap tangan sedang membuang putung rokoknya yang masih menyala ke tumpukan kertas ulangan dan terbakar, misalnya lo ya… Maka kata Mas Noel, hukuman yang akan ditimpakan pada Alex, dia tidak akan langsung dikeluarkan dari sekolah atau dijemur di lapangan dengan dibekali arit untuk menyabit rumput. Hal paling awal yang harus dilakukan Alex adalah memulihkan kesalahan yang dia lakukan. Dalam hal ini dia akan diminta untuk memadamkan kebakaran yang dia lakukan. Membereskan bekas-bekas kebakaran, meminta maaf pada pihak-pihak yang dirugikan, bahkan kalau perlu menulis ulang kertas-kertas ulangan yang dia bakar, misalnya.
Berikutnya adalah membuat Alex menyadari bahwa apa yang dia lakukan ini adalah tindakan yang salah. Sebagai contoh, karena permasalahannya adalah ketidaksadaran akan bahaya membuang sampah putung rokok sembarangan, maka dalam suatu periode tertentu dia akan dihukum untuk mengumpulkan dan membuang putung-putung rokok yang ada di lingkungan sekolahnya. Alex juga kemudian diberi tugas untuk belajar mengenai bahaya merokok dan lebih jauh lagi dia diminta untuk mengedukasi teman-teman sekelompoknya yang merokok bersama-sama di toilet di pojok belakang sekolah. Dari sini kita membuat hukuman yang diterima Alex menjadi hal yang berguna buat dirinya dan orang-orang di sekitarnya. Dia diharapkan akan menyadari bahwa apa yang dia lakukan itu salah, dalam konteks ini dia diajak untuk tau bahayanya membuang putung rokok sembarangan.
Begitu, kira-kira contohnya. Contoh yang kami sama-sama sepakati malam itu bahwa hukuman yang diberikan oleh pendidik haruslah sesuai konteks dengan kesalahan yang dilakukan, berguna bagi pelaku dan orang lain, dan memberikan kesadaran atau pengertian kesalahan apa sih yang sebenarnya dia lakukan, apa bahayanya, apa akibatnya bagi orang lain sehingga tidak mengulanginya. Bahkan lebih jauh, Mas Noel menyatakan, kalau perlu hukuman itu membuat para peserta didik senang dihukum, karena dengan dihukum dia akan belajar lebih banyak lagi.
Saya menyetujui dan jika saya berada di posisi peserta didik, saya merasa akan dengan lebih lapang dada menerima hukuman tersebut dari pada hukuman yang sekadar mempermalukan diri saya. Dengan dipermalukan mungkin saya akan jera tidak melakukan hal yang sama, tetapi itu karena malu dan takut, bukan karena saya menyadari bahwa apa yang saya lakukan itu salah, dan menurut saya, di sini pendidikan yang diharapkan terjadi tidak mencapai tujuan yang diharapkan dari proses pendidikan itu sendiri. Tidak ada kesadaran yang muncul, tidak ada pengetahuan baru yang didapatkan.
Saya tidak tau apakah teori yang kami bicarakan ini akan efektif atau bisa diterapkan, kami belum praktik. Saya cuma bisa menyampaikan, bahwa sebagai pendidik, kita perlu menjadi kreatif untuk bisa membuat setiap proses yang diterima peserta didik adalah suatu proses pendidikan yang memanusiakan manusia. Yah… walaupun manusia itu sendiri juga berbeda-beda, mungkin ada juga yang lebih merasa dimanusiakan dan memanusiakan dengan dihukum atau menghukum dengan dijemur di lapangan, bisa juga kan ya....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Autoetnografi apaan sih?

Tes Rorschach: Antara Manual dan Kenyataan

The Geography of Faith