Ada Ide?
Baru sekitar
dua hari yang lalu saya dikirimi pesan dari seorang kawan yang berada jauh di
ujung timur Indonesia sana. Pesan yang tidak biasanya datang. Pesan yang datang
menjelang tengah malam yang berarti sudah dini hari di sana. Sebut saja
Theresa, sama seperti seorang perempuan sederhana yang pernah hidup dan menjadi
legenda di India sana. Dia malam itu bercerita akan pengalaman barunya yang
ternyata kali ini menguji batasnya. Dia yang selalu penuh semangat dan
bercerita tentang anak-anak yang diajarnya di sana dengan penuh optimisme kali
ini tidak demikian.
Malam itu dia
bercerita akan kesedihan dan keputusasaan yang dia rasakan di tempat barunya.
Tempat di mana dia tidak hanya menemukan anak-anak yang tidak bisa belajar dan
bersekolah. Kali ini berbeda. Masalahnya tidak hanya tidak adanya guru yang mau
mengajar, masalahnya ada pada anak-anak yang tidak bisa makan, anak-anak yang
tidak bisa berlari-larian karena tubuhnya tidak cukup kuat karena kurang gizi.
Dia bercerita tentang penyakit kulit, TBC, malaria, dan kusta. Penyakit yang
tidak pernah saya lihat wujudnya, yang hanya saya kenal di Alkitab dan di
berita. Penyakit yang pastinya tidak bisa dihindari oleh tubuh manusianya.
Saya yang saat
ini sedang berada di lingkungan yang mengajari saya mempertanyakan dan
menganalisis berbagai hal, membuat saya langsung ingin bertanya dan
menganalisis banyak hal. Mungkin bukan itu yang sebenarnya Theresa butuhkan.
Maaf, tapi itu reflek. Saya bertanya bagaimana keadaan di sana, apakah memang
tidak ada apapun untuk dimakan hingga banyak anak dan orang yang sakit di sana?
Apakah tidak ada perawatan kesehatan? Apakah dia juga kesulitan makan?
Ternyata teman
saya ini tetap bisa makan. Pasokan bahan makanan ada, tapi mungkin kemampuan
membelinya yang tidak ada. Tapi katanya lagi, masyarakat di sana masih mencari
makan dengan beburu atau mengumpulkan makanan di hutan. Pikiran saya kemudian
ada pada kerusakan hutan hingga tidak lagi bisa mencukupi kebutuhan. Namun
ternyata tidak juga, hutan masih memberikan apa yang mereka butuhkan dengan
cukup, bahkan lebih. Analisis sementaranya adalah karena mereka sudah terbiasa
menerima bantuan dan itu membuat mereka tidak memiliki kemauan untuk berupaya.
Kondisi yang
jauh lebih besar dan kompleks daripada hanya membutuhkan seorang guru sukarela
untuk mengajar anak-anak di sana. Kondisi yang juga menyayat hatinya ketika
harus merawat seorang anak yang penuh luka dan hanya tersisa tulang terbalut
kulit karena gizi buruk. Melihat anak-anak yang membuatnya jadi tidak doyan
makan dan ambruk lagi karena malaria. Saya yang di kamar kos di tengah kota
dengan mini market yang buka 24 jam dan di atas kasur ini bisa bilang apa…
Saya hanya
bisa mengulang apa yang pernah seorang liyan signifikan katakan kepada saya
ketika anak yang saya sekolahkan keluar dari sekolah begitu saja. Saat di mana
saya datang ke kampus dengan menahan tangis karena begitu gelanya, saya yang waktu itu merasa begitu kecewa. Di tengah
ledakan tangis saya, signifikan liyan ini berkata begini, “Pekerjaan sosial itu
adalah pekerjaan yang kering. Kita kadang tidak bisa melihat perubahannya.
Bahkan sering kali kita akan kecewa karenanya.” Kalimat yang saya terjemahkan
kepada Theresa, “Pekerjaan sosial itu emang bikin nggerus, Ndhuk.” Keesokan harinya, saya membaca kalimat itu terpampang
di dinding facebooknya. Dan saya yang merasa tidak bisa membantu apa-apa ini,
dibuat menjadi pengen menangis karenanya.
Percakapan
malam itu membuat saya memiliki pemikiran ingin membantunya, paling tidak saya
ingin memberikan support group
untuknya. Volunteer for volunteer. Saya
sekarang sedang tidak berada di lapangan, entah jika nanti Tuhan mengirimkan SK
yang berbeda. Jika bantuan berupa uang atau barang, rasanya teman saya ini yang
punya jaringan sampai bisa mengirimkan ribuan buku ke berbagai penjuru
Indonesia pasti sudah ada yang membantu. Saya ingin membantu dalam bentuk yang
lain.
Saya sekarang
sedang berada di bidang kajian bersama dengan teman-teman di sini. Kadang kalau
lagi sela lan bolong, kami akan
banyak berdiskusi mengenai pendidikan dan berbagai kompleksitasnya. Saya juga
punya teman psikolog yang banyak bergelut di bidang pendidikan. Bayangan
abstraknya adalah, di sini kami—jika boleh saya katakan demikan, optimis mau
pada terlibat—meringankan apa yang Theresa lakukan di sana. Entah berupa
mengolahkan teori pedagogis yang rumit hingga bisa langsung diterapkan. Entah
menyediakan tim hore-hore yang memberinya semangat untuk menjalani hari-harinya
di sana. Sesuatu yang bisa dipertukarkan lewat jaringan internet (FYI saja,
mengirim satu lembar surat ke Papua melalui PT. Pos Indonesia bisa menembus
angka Rp153.000,-, otak konspirasi saya berpikir apakah memang akses informasi
ke sana dipersulit).
Saya belum
berbicara lagi dengan Theresa apakah yang dia butuhkan ataukah bantuan seperti
yang saya bayangkan ini akan memberi dia manfaat, atau jangan-jangan malah
merepotkan? Orang yang tidak tau lapangan sok-sokan ngomong tentang apa yang
bisa dilakukan. Saya juga jadi memendam keinginan untuk ngomong sama Mbak
Psikolog tapi belum sempat berjumpa juga. Apakah ada ide untuk membantu? Jadi
tulisan ini sekaligus proposal untuk teman-teman. Bagaimana? Ada ide?
Komentar
Posting Komentar