Kekalahan Ahok dan Rasa yang Tersisa
Jakarta baru
saja menentukan pemimpin daerahnya hari ini. Walaupun masih dari versi hitung
cepat, tetapi kekalahan dari Gubernur sebelumnya sudah terlihat dan tampaknya
sudah diterima oleh berbagai pihak, baik dengan lapang dada maupun tidak.
Proses Pilkada ini terasa sebagai proses yang sangat panjang dan melelahkan,
tidak hanya bagi warga Jakarta, dengan kecanggihan media saat ini, rasanya
seluruh Indonesia diajak ikut berperang bersama mereka.
Saya sendiri
melihat ini dari kejauhan, saya orang desa yang tinggal di Jogja, KTP Jogja
saja tidak, apalagi KTP Jakarta. Dari logikanya, siapa yang terpilih di Ibukota
sana, tidak ada hubungannya dengan kehidupan saya. Tetapi dari segi rasa, saya
ikut merasakan imbasnya.
Masa kampanye
yang panjang dengan berbagai isu SARA yang diangkat di dalamnya ini, mau tidak
mau menarik minat saya dan membuat saya juga merasa ikut terlibat. Ahok yang
orang Cina dan Kristen. Saya juga Cina dan yah... sedikit Kristen.
Atribut-atribut ini yang diperlawankan dengan keras kepala selama masa kampanye
ini. Bapak Anies yang orang Arab dan Islam yang dianggap lebih pribumi dan
keturunan pejuang yang mempersatukan NKRI, sedangkan Ahok adalah orang Cina, Kresten dengan segala atribut di
dalamnya. Antek asing? Komunis? Tidak nasionalis? Neo-liberal? Kapitalis? Dan
entah apa lagi yang akan menempel pada kondisi itu. Tidak ada yang peduli bahwa
Arab juga asing atau memikirkan bahwa Pak Djarot itu pribumi. Dan ya... keplesetnya Ahok dengan kasus penistaan
Agama membuat isu ini semakin empuk dan enak untuk dilahap. Mudah dan lezat.
Selama periode
ini, saya kebetulan mendapatkan pekerjaan mengedit suatu naskah yang merupakan
hasil desertasi mahasiswa Ilmu Politik. Mengutip dengan bebas berdasarkan
ingatan, dalam penelitian tersebut salah satu indikator yang berpengaruh pada
suara pemilih, sudah bisa ditebak, adalah kesamaan-kesamaan primordial seperti
suku dan agama. Saya percaya bahwa kedua tim memiliki ahli strateginya
masing-masing di baliknya dan saya yakin penelitian sejenis itu juga menjadi
referensi mereka dalam mendulang suara sebanyak-banyaknya. Bisa jadi, bisa juga
tidak, isu SARA ini kemudian diangkat dan dikipasi terus menerus agar terus
berkobar baranya.
Malam ini,
saya membaca linimasa di Twitter dan
terasa mendung yang menggantung di sana. Entah kenapa, kebetulan yang saya
ikuti kebanyakan orang-orang yang mendukung Ahok, beberapa di antaranya adalah
artis-artis yang kebetulan keturunan Cina. Banyak ketakutan yang merebak di
sosial media hari ini. Beberapa orang membandingkan ini ini seperti keadaan
Amerika ketika Trump terpilih.
Saya juga ikut
becanda di Facebook dengan membuat status, “Presidennya Soeharto 32 tahun aja
selamet kok (yang slamet sih)...” Saya sama takutnya dengan orang-orang di
Jakarta sana. Belum lagi beberapa cuitan menyatakan ada yang Mamahnya menangis
terus karena masih trauma dengan peristiwa 1998. Saya yang jauh di sini, tidak
mengalami apapun di tahun 1998, juga merasakan ketakutan dan kekhawatiran akan
apa yang akan terjadi di Indonesia ini.
Saya memahami
kenapa ketakutan ini bisa sampai muncul. Apa yang terjadi selama proses
kampanye ini malahan menegaskan ketakutan yang dirasakan. Bagaimana kelompok
yang terkenal intoleran mendapatkan ruangnya, bagaimana pengerahan masa
dijadikan senjata untuk menakuti dan menekan hukum dan pemerintahan. Bagaimana
orang-orang yang pernah dianggap terlibat dengan kerusuhan pada masa itu juga
mendapatkan kekuasaannya.
Bagi para
politisi dan para penguasa itu, mungkin, mengangkat isu ras dan agama ini
adalah jalan mudah dan murah untuk mendulang suara dan memuluskan perjalanan
mereka menuju kekuasaan. Namun apakah semudah itu bagi para pendukungnya? Untuk
para politisi yang setiap lima tahun bisa berganti partai dan berpindah
keberpihakan, bisa saja bagi mereka ideologi tidak ada harganya. Selama
kepentingan bisa terakomodasi, yang tadinya berperang bisa saja besok duduk
bersama satu meja, makan soto dan membicarakan presiden selanjutnya. Tetapi apakah
ideologi juga semurah itu bagi pendukungnya? Apakah semudah itu untuk melupakan
halalnya darah orang untuk diganyang atau halalnya perempuan-perempuan untuk
diperkosa? Walaupun saya masih heran, misal perempuannya halal sekalipun, kan
pemerkosaannya tetep ngga halal ya...
![]() |
Foto mengambil dari @JennyJusuf |
Saya teringat
pernah membaca salah satu bagian dari buku tulisan Ien Ang yang juga saya
amini. Bagi orang-orang kaya, ketika terjadi
kerusuhan mereka akan bisa pindah ke luar negeri atau minimal ke luar kota yang
lebih aman, tetapi bagi orang-orang miskin, merekalah yang harus menghadapi
sesamanya (dikutip dengan tidak presisi dari Ien Ang, On Not Speaking Chinese). Apakah mereka yang ikut menyulut ini, setelah mendapatkan apa yang diinginkan cukup mau tau untuk ikut memadamkan?
Apa yang saya
lihat hari ini, pemilihan pemimpin yang dilakukan sekarang ini adalah pemilihan
yang berdasarkan ketakutan. Di satu pihak ada yang takut memilih Ahok karena
bisa masuk neraka atau takut memilih Ahok karena pemimpin nonmuslim itu tidak
amanah, atau karena pengusaha Cina yang ada di balik Ahok yang tidak prorakyat
kecil. Di sisi lain ada yang memilih Ahok karena takut keberadaanya sebagai
minoritas semakin terancam jika pihak lawan yang berkuasa. Mungkin, alasan
ketakutan ini yang pada akhirnya lebih dominan daripada karena kinerja atau
integritas dari para calon gubernur.
Hidup dan
memilih karena ketakutan itu adalah hal yang menyebalkan dan tidak enak,
apalagi jika yang menjadi pertaruhan adalah kehidupan dan masa depan kita
semua. Pilkada yang sangat riuh ini barulah Pilkada untuk memilih gubernur di
satu area yang bahkan tidak sampai seperseratus dari luas Indonesia. Riuh,
kacau, menyebalkan. Saya kemudian jadi memikirkan, akan sekacau apa Pemilu
Presiden 2019 nanti...
Apakah ada
yang bisa kita lakukan untuk kedamaian bersama?
Komentar
Posting Komentar