Mencari Posisi dalam Seni
Perubahan bertubi-tubi beberapa
minggu terakhir ini membuat saya mau tidak mau berhubungan dengan sesuatu yang
bernama dengan seni. Seni yang secara sekilas pandang saya pahami sebagai suatu
produk hasil dari orang-orang yang bergenre seniman, entah apakah itu musik,
lukisan, atau suatu pertunjukan. Mungkin pemahaman yang terlalu mereduksi dan
mengecilkan mengenai apa itu seni.
Apa yang terjadi pada kehidupan
sehari-hari saya dengan lingkungan tempat di mana saya berdiri sekarang ini
membuat saya banyak kecemplung dengan seni bagian seni rupa. Saya walau tidak
banyak jadi mengenal dan bergaul entah dengan seniman, kurator, atau pengkaji
mengenai seni rupa. Hal ini mau tidak mau membuat saya jadi sedikit banyak ikut
berkunjung melihat pameran yang dibuat oleh teman atau dikuratori oleh teman
yang lain.
Dalam imajinasi saya, dalam
kehidupan ideal yang pernah ada dalam kepala saya, saya ada keinginan untuk
berkunjung dalam pameran-pameran seni entah Artjog atau Bienalle misalnya,
Sesuatu yang memang menjadi trend
dalam kehidupan kawula muda di Yogyakarta ini, walaupun entah apakah
motivasinya, sebagai ruang untuk menikmati karya, ataukah mencari latar
belakang untuk foto profil sosial media. Namun ternyata, keinginan dalam kepala
saya itu ternyata memang hanya sebatas keinginan, ketika saatnya datang, niat
itu tidak pernah cukup untuk membuat saya beranjak mengunjungi pameran-pameran
tersebut. Ada dalam pikiran saya, entah secara tersirat ataupun tersurat bahwa
menikmati seni tinggi itu adalah suatu hal yang membuat diri ini bisa merasa
diri menjadi elit dan intelek atau merasa canggih. Bisa karya seni rupa atau
instalasi, bisa juga berupa musik klasik atau seni tradisi.
Dalam kenyataan yang terjadi,
semakin saya mendatangi berbagai pameran seni rupa itu, semakin saya merasa
terasing dari karya yang ada atau malahan dari diri saya sendiri. Saya malah
berulang-ulang kali jadi menanyakan pada diri saya sendiri, saya ini ngapain di
sini. Apa yang sebenarnya saya lihat? Jika itu yang saya lihat teater, saya
pasti bertanya ini sebenarnya berbicara mengenai apa? Dan seringnya saya tidak cukup
sabar untuk menikmati hal itu sampai selesai.
Beberapa saat yang lalu saya
harus menjawab sebuah pertanyaan menganai apakah ada sebuah pertunjukkan
kesenian yang pernah saya lihat dan yang mengesankan diri saya. Hal itu membuat
saya mengingat kembali pengalaman-pengalaman diri saya yang terkait dengan
seni.
Saya tidak pernah suka dengan
teater atau untuk kelas anak SD di masa lalu ya drama lah ya. Saya pernah
beralasan sakit dan ogah-ogahan berminggu-minggu karena saya tidak mau terlibat
dalam pertunjukan kelahiran Yesus tetapi saya tidak berani menolak karena ada
resiko pengurangan point saat SD dulu. Hal yang membuat saya sakit panas dan ngaku sambil nangis sama bapak saya kalau saya
tidak mau ikut terlibat dalam drama tersebut. Akhirnya bapak saya yang maju
untuk untuk bilang ke Suster bahwa saya tidak mau ikut dengan drama tersebut.
Bagi saya, teater entah yang aliran apa itu terasa terlalu tidak alami dan
melebih-lebihkan, berteriak-teriak atau menunjukkan gesture yang tidak mungkin
ada dalam keseharian. Tetapi ternyata memang begitulah mimesis itu dilakukan,
menggambarkan yang keseharian dengan cara yang berbeda atau berlebihan.
Seni rupa terasa lebih jauh lagi.
Saya hidup dalam rumah yang polos dengan hanya sedikit foto sebagai hiasan
dinding, sehingga dalam masa pertumbuhan saya, seni rupa adalah produk yang
jauh dari kehidupan. Masa saya bisa mengapresiasi seni rupa itu bagus adalah
karya dari Pak Pupuk saat saya menjaga galeri Gejayan tahun 2016 yang lalu.
Itupun yang saya sukai adalah karyanya yang berupa boneka vampir dan Yesus dari
karung goni di dalam almari kaca. Indah.
Satu-satunya seni yang terasa
akrab mungkin adalah seni musik. Sebagai keluarga yang hidup dalam budaya
Katolik, saya terbiasa dengan musik untuk kor atau mengiringi musik di gereja
walaupun tidak lama. Saya sedikit bisa membaca not dan sedikit pernah les
organ, sedikit pernah les gitar, sedikit pernah les menari, dan bisa main
recorder sampai lomba di tingkat provinsi, dan yang banyak saya lakukan adalah
bernyanyi dalam kelompok. Terbatas pada apa yang bisa saya nikmati, tidak
sampai berjuang keras sampai menjadi ahli di sini.
Pertunjukkan yang pernah membuat
saya tergerak adalah suatu pertunjukkan tari yang pernah ditampilkan oleh teman
kuliah saya. Suatu pertunjukkan tari Bali solo yang saya lupa judulnya. Teman saya
itu terasa begitu indahnya hingga membuat saya menangis begitu saja tanpa saya
sadari. Rasanya hanya itu seni pertunjukan yang pernah menggerakkan saya.
Sejauh itu diri saya dengan seni
dari apakah itu seni yang saya pahami. Saya ini orang yang lebih menikmati
melihat jatilan atau menertawakan gojekan di ketoprak. Saya ini ternyata lebih
bisa otomatis bergoyang dan menjadi bahagia ketika melihat konser dangdut
bersama-sama dengan para NDX aka familia. Jika ada yang dinamakan seni tinggi,
maka sereceh itu saya, remah-remah rengginang dalam semesta kaleng Monde. Tetapi katanya kajian budaya itu adalah kajian yang melihat
budaya masa yang menjadi alternatif dari budaya dominan, apakah begitu juga
dalam caranya melihat seni?
Semakin saya berhadapan dengan
berbagai karya seni dan kata seni ini, rasanya semakin resisten diri saya ini
dalam menghadapi kesenian. Saya semakin merasa terasing dengan semua bombardir
mengenai seni rupa dalam kehidupan saya ini, tetapi kali ini mau tidak mau
harus saya hadapi. Mau tidak mau saya harus ikut mencari dalam proses ini,
menemukan di mana tempat saya berdiri di antara semua lukisan dan berbagai
karya yang tidak bisa saya pahami ini. Karena seperti kata orang bijak, Posisi Menentukan Prestasi.
Komentar
Posting Komentar