Dilema Menjadi Hijau

Setiap orang pasti memiliki ketakutan terhadap sesuatu, entah apapun itu. Salah satu ketakutan yang saya miliki adalah takut kalau bumi ini kehabisan sumber dayanya. Saya paling tidak suka melihat berita penebangan hutan, beruang kutub yang kelelahan karena kehabisan es yang mengapung di lautan. Atau di saat saya sedang berada di tengah mall dan penuh lampu, rasanya menakutkan ketika disadari berapa banyak listrik yang digunakan untuk menyalakan semua lampu, mesin kopi, AC, dan entah apa lagi. Walaupun saya pada akhirnya berusaha untuk mengabaikan karena suka dengan mall dan AC.
Naaa... sebagai seorang yang punya ketakutan kehabisan sumber daya begini. Saya kemudian jadi suka dan memilih untuk mengambil gaya hidup yang cenderung hijau. Beberapa di antaranya seperti memakai pembalut kain, memakai tas belanja, membawa tempat minum, dan baru saja terjadi adalah membeli sedotan stainless dalam rangka mengurangi pemakaian sedotan plastik. Semua hal tersebut dengan catatan kalau ingat, kalau tidak malas, kalau tidak malu bilang untuk tidak usah memakai sedotan.
Bagi saya, menjaga konsistensi untuk tetap hijau itu rumit. Memilih untuk setiap saat mengambil keputusan hijau demi menguatkan identitas saya sebagai pecinta lingkungan itu ternyata butuh kesadaran berulang-ulang, dan bisa jadi tidak penting juga. Apa yang terjadi adalah saya sering kali lupa membawa botol atau tas belanja. Saya sudah belajar soal menstrual cup yang lebih hijau dan tidak berani memakainya, serem. Saya kalau sedang banyak berpergian dan cuaca tidak ramah saya juga jadi malas memakai pembalut kain karena kesulitan untuk mencuci. Saat membeli sedotan stainless, saya tidak punya kantong imut yang biasanya satu paket untuk membawanya. Jadi bingung kan bawanya bagaimana, kalau dibawa pakai plastik kan sama saja tidak hijaunya. Atau ketika menginap di hotel ada dilema antara menikmati fasilitas hotel semaksimal mungkin dengan ganti handuk setiap hari dan berendam di bathup, atau tetap hijau. Dan saya suka AC.
Jadi hijau itu repot, tidak praktis, dan mahal. Paling tidak lebih mahal dari pada memakai plastik atau produk produk sekali buang. Dan mau tidak mau diakui, kesadaran untuk menjalani kehidupan hijau atau memeluk identitas hidup hijau yang ngehits sekarang ini, adalah arena permainan orang-orang kelas menengah. Memakai sikat gigi bambu atau produk tidak sekali pakai lainnya, mengkonsumsi produk-produk organik, baik makanan maupun perawatan tubuh, dan entah apa yang membuat kita jadi zero waste beberapa menjadi politik dan komodifikasi tersendiri untuk membuat barang menjadi lebih mahal. Bisa jadi karena modal pembuatan memang lebih mahal, tapi di sisi lain label organik seakan melegitimasi mark up harga demi nilai tanda yang ada di dalamnya. Di sini kita tidak berbicara tentang para simbah dan simbok-simbok di desa yang memang sudah alami pada dirinya sendiri ya. Yang mencuci piring dengan menggunakan sabut kelapa. 
Maka begiitulah, di tengah segala rumit-rumitnya, sedapat mungkin saya masih mencoba hijau. Selain untuk mereduksi ketakutan saya akan semakin rusaknya alam, pemanasan global, dan habisnya sumber daya, hal itu bisa jadi saya lakukan untuk melegitimasi dan mengafirmasi identitas saya sebagai kelas menenegah ngehek yang akan terlihat semakin keren ketika menjalani hidup hijau-hijau. Bisa jadi demikian...

Komentar

  1. DAFTAR DISINI ---> WWW.SUMOBOLA.COM <---

    --> BERITA PREDIKSI BOLA
    --> ALTERNATIF DEPOSIT
    --> BONUS DEPOSIT
    --> WEBSITE TERPERCAYA


    Untuk Info Dan Bonus Menariknya Bisa Hubungi Kami Di Bawah Ini :
    Whatsapp : +855968658892


    DAFTAR DISINI : BANDAR JUDI ONLINE

    Ayo buruann , mana tau kamu menjadi jutawan setelah bergabung dengan kami ..
    --> Group FB PREDIKSI BOLA JITU SUMOBOLA https://www.facebook.com/groups/sumbola/
    --> Instagram https://www.instagram.com/sumobolacs/

    #SUMOBOLA #SUMOBOLALOUNGE #BONUSDEPOSIT #DEPOSITPULSA #EVENTPARLAY

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Autoetnografi apaan sih?

Tes Rorschach: Antara Manual dan Kenyataan

The Geography of Faith