(Masih) Menjadi Cina


Hari ini, salah satu permasalahan dalam diri yang saya kira sudah selesai dan tidak lagi menjadi masalah, ternyata tidak demikian. Dalam percakapan dengan seorang kanca plek sore tadi, saya baru menyadari betapa menjadi Cina itu masih menjadi ketakutan dan beban yang belum bisa saya lepaskan. Ternyata ada banyak lapisan mengenai persekusi atau diskriminasi, atau apapun lah namanya dari menjadi Cina, dan akhir-akhir ini juga menjadi Kristen. Tidak saja mengenai diejek sipit atau pokil, tidak hanya mengenai kesempatan yang tidak sama, tetapi ternyata ini mengenai kelangsungan hidup dan kebebasan saya, keluarga saya, dan habitat yang saya kenal.
Sesuatu yang sering kali saya bicarakan, terkadang dengan nada yang terasa begitu biasa saja. Bagaimana misalnya kalau kami berbicara salah kepada orang yang salah. Bagaimana kalau kami melewati garis yang ternyata digariskan oleh orang lain dan tidak boleh kami lewati. Menjadi Cina tidak bisa sembarangan menjawab, bertindak, atau melawan. Taruhannya bisa nyawa. Tidak hanya nyawa diri sendiri, bisa jadi nyawa seluruh kota jadi taruhannya. Katakanlah saya lebay, tapi berapa banyak kerusuhan anticina, antiagama tertentu, atau kerusuhan apapun yang akhirnya menyerang pertokoan, sekolah, dan gereja. Minimal, bisa jadi yang bersuara ini masuk penjara karena melakukan penistaan agama. Silakan dicari, sudah banyak contohnya.
Dan saya takut!
Ketakutan ini yang pada akhirnya membuat saya entah bagaimana jadi tidak suka dengan menjadi Cina yang sedikit jumlahnya. Saya berusaha bergabung dengan kerumunan dan menjadi sama dengan banyak orang. Sialnya, otak saya tersusun dengan cara yang tidak normal, yang membuat pilihan-pilihan hidup saya semakin lama, rasanya membuat saya menjadi alien. Untunglah ada cukup banyak teman sesama alien yang memiliki bahasa yang sama dengan apa yang saya pakai sehingga saya jadi tidak terlalu kesepian.
Dari ketakutan ini saya memulai penelitian kemarin. Ketakutan akan hilangnya nyawa, akan terbakarnya toko dan rumah saya. Penelitian yang pada awalnya ingin melihat dan mengkritisi ke dalam. Saya pada awalnya mau mengatakan, “ayolah, ada andil juga kok dari dalam sehingga diskriminasi ini terjadi.” Pernyataan yang setelah saya telusuri lebih lanjut ternyata memang tidak segampang itu hingga terjadi konstruksi sosial sampai seperti sekarang ini. Ada terlalu banyak hal di luar kendali yang membuat kita sebagai rakyat, masyarakat, atau sebagai manusia, harus menerima dan bernegosiasi dengan sistem yang berlaku. Suatu cara berpikir yang kadang tidak kita sadari ada, tapi membentuk pandangan dan keputusan kita.
Pandangan bahwa sudah lumrah sebagai minoritas diperlakukan dengan tidak adil. Pandangan bahwa sudah sewajarnya kalau orang Cina itu buka toko saja. Pemandangan yang semakin lumrah bahwa Natalan dan Paskahan dijaga oleh gegana. Bahwa sudah sewajarnya bahwa sebagai minoritas tidak menuntut jika diperlakukan dengan tidak adil. Kalau berani menuntut maka perlakuannya bisa jadi tidak hanya sekadar masalah keadilan. Wajar, dianggap sebagai norma biasa dan memang seakan demikianlah adanya. Tapi tidak ada yang wajar kan dengan itu semua?
Jika memang sudah sewajarnya, kenapa dalam lingkungan yang lebih rapat dan homogen, banyak sekali grenengan tentang pihak luar. Jika relasi kuasanya memang berlangsung dari mayoritas ke minoritas, kenapa ada saat-saat tertentu ketika ada ruang dan kesempatan, yang minoritas ini bisa saja berlaku semena-mena dengan pihak yang lain. Bagi saya, pada akhirnya kita semua beroperasi dalam politik identitas tempat kita mendefinisikan siapa diri kita. Saya dengan identitas yang ada dalam pikiran saya, akan mendefinisikan diri dengan identitas tersebut. Baik itu etnis, agama, kelas sosial, sampai pada identitas sebagai penggemar k-pop atau suporter casual sepak bola. Berbagai jenis identitas yang kadang bisa beroperasi secara bersamaan, kadang mau tidak mau kita harus memilih keberpihakan. Pada mau bilang identitas itu cair kaya apa juga, pada level kenyataannya, identitas yang katanya cair itu bisa masih begitu kuatnya sampai orang bisa mengorbankan nyawa untuk menjaga keagungan tanda dari identitas tersebut.
Jadi, karena saya tidak bisa mengubah sistem yang besar di luar sana, saya mencoba untuk berbicara dalam lingkup yang kecil, diri saya dan orang-orang terdekat saya. Penelitian yang membantu saya untuk menyadari bahwa apa yang dianggap lumrah itu adalah suatu hal yang bisa kita ubah. Dan kalau saya tidak salah memahami, niat itu juga yang membuat saya melakukan penelitian kali ini. Niat untuk melihat ke dalam dan menyadari apa yang sudah dilakukan sebelum merasa diperlakukan tidak adil dan berteriak ke luar. Kayanya sih…



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Autoetnografi apaan sih?

Tes Rorschach: Antara Manual dan Kenyataan

The Geography of Faith