Normal yang Selalu Baru
![]() |
Ini bukan BH lo ya... |
Seperti yang
sedang banyak dibicarakan semua orang sekarang ini di mana Indonesia sedang
dalam tahap memulai normal baru atau tatanan baru dalam menghadapi pandemi
covid-19. Kalau pakai istilah tatanan baru rasanya seperti lihat film di mana
penjahatnya entah berupa monster, alien, atau ideologi yang ingin mengubah
kondisi lama dan menciptakan tatanan baru yang lebih sempurna bagi kehidupan
umat manusia. Semacam Thanos yang mencoba membuat bumi lebih baik dengan
menghilangkan setengah populasinya. Semacam itu pulalah yang sedang diusahakan
Indonesia dan juga semua negara lain di dunia ini dalam menjalani kehidupan
pasca-covid-19 ini.
Kebijakan kali
ini seperti banyak kebijakan lain yang dikeluarkan pemerintah, ada yang
mendukung dan banyak juga yang mengkritik kebijakan ini. Rasanya masih ada saja
orang yang tidak menyadari bahayanya covid-19 ini dan tidak bergerak dengan
kewaspadaan, rasanya keadaan di negara ini juga masih gamang. Apakah datanya
benar seperti yang ditampilkan ataukah itu data palsu, atau kurang data. Di
sosial media juga muncul meme perbandingan grafik Indonesia dengan negara lain
yang mana grafik lain digambarkan sesuai norma umum sedangkan gambar grafik
Indonesia seperti benang ruwet yang bikin ngakak.
Di sisi lain,
perekonomian harus tetap berjalan, kebutuhan sehari-hari juga harus tetap
dipenuhi. Saya sendiri dengan tetap membawa kecemasan memutuskan untuk tetap
bergerak, walau rasanya bukan benar-benar keputusan yang lepas bebas. Saya bisa
memutuskan untuk pulang dan di rumah saja sebenar-benarnya di Temanggung, rumah
di mana saya bisa betah satu bulan engga keluar sama sekali. Bisa keruntelan
baca buku dan makan tinggal jalan ke meja makan. Selalu ada orang untuk diajak
bicara, TV, toko yang selalu bisa menjadi kegiatan agar tidak bosen-bosen amat,
keluar paling jauh kalau di Temanggung palingan cuma jalan ke Jampirejo. Tapi
ya karena roda ekonomi tetap harus berputar, dan pertimbangannya daripada
menambah beban di rumah dan saya tidak bekerja sama sekali, paling engga di
Jogja saya tetap bisa jualan. Di Jogja saya tetap harus ke berbagai ekspedisi
untuk mengirimkan pesanan. Ke beberapa tempat kulakan dagangan, tetap makan di
luar, walau tetap menyesuaikan diri dengan membeli rice cooker. Cemas?
Pastinya.
Awal Covid
muncul dan kampus-kampus mulai libur dan isu lockdown mulai muncul, saya mulai khawatir. Tidak hanya perkara
penyakitnya, tapijuga perkara kehidupan sehari-hari yang mau tidak mau harus
berubah. Selama hampir 20 tahun jadi anak kos, saya tidak mengembangkan skill memasak sama sekali. Saya
mengandalkan warung-warung di sekitar saya untuk bertahan hidup. Bagaimana jika
harus lockdown dan semua tempat itu
tutup? Walaupun saya sendiri juga berpikiran, se-lockdown-lockdown-nya, Indonesia tidak akan mungkin benar-benar
sepi tanpa pergerakan.
Salah satu
yang saya suka dari Indonesia itu adalah messy.
Negara ini ruwet dengan berbagai macam peraturan yang dibuat untuk
dilanggar. Orang Indonesia selalu punya cara, dan kali ini juga tidak menjadi
perkecualiannya. Kali ini kita pun sama kacaunya. Ada pemerintah yang
kebingungan, ada orang-orang sadar yang marah-marah kalau ada orang yang
keluar-keluar, ada yang sadar dan tidak marah-marah melihat kelakuan orang lain
dan tetap setia di rumah saja, ada orang yang mau tidak mau keluar, ada
orang-orang sadar yang memang mau tidak mau tetap harus bekerja keluar entah
apapun alasannya, ada yang bisa bekerja di rumah tapi sumber hidupnya dari
coffeemix, dan ada yang menganggap Covid-19 ini ya flu, jadi ya sudah bergerak
saja seperti biasa.
Untuk yang
suka marah-marah dan mengganggap yang keluar itu ignorant, bodoh, membahayakan orang lain, eh belum tentu begitu
juga. Sepanjang perjalanan saya selama Covid-19 ini, saya ngobrol dengan ibu
warung sebelah, dengan tukang potong rambut yang membuat saya menjalani masa
pandemi ini dengan merasa keren, bapak bakul kerupuk, ibu tukang bakso, mereka
semua sadar dan prihatin dengan kondisi ini. Mereka takut sakitnya dengan
melakukan berbagai tindakan preventif yang bisa dilakukan, mereka sadar bahaya
penularaanya, tapi ya mungkin klise, bagi banyak orang, saya juga, kerja sehari
ya untuk makan sehari. Paling lama seminggu lah. Libur terlalu lama bisa
membahayakan moneter rumah tangga. Padahal pengeluaran selama pandemi bisa jadi
malah bertambah, anak yang harus sekolah online, berarti nambah biaya internet
dan listrik. Semua orang di rumah saja sepanjang hari, makan jadi semakin
banyak, kalau ga kerja, berat.
Saya sendiri
walaupun keluar-keluar ya takut juga. Apalagi di masa awal pandemi. Bayangan
bahwa saya sendirian di kosan, anak-anak kos pada pulang, tersisa satu yang
jauh banget lebih muda dan jarang ngoborol, melihat berita di Itali ketika
korban sehari ratusan orang meninggal dunia, bagaimana kalau pandemi ini
berlangsung seperti itu di Indonesia? Saya sendirian dan orang-orang
bergelimpangan tewas. Seram. Kemarin saya ada aktivitas yang membuat saya
berjumpa banyak orang yang saya tidak kenal, dan untuk pertama kalinya saya
bersalaman setelah dua bulan, dan itu rasanya menyeramkan. Dengan mengendap-endap
karena rikuh dengan orang yang salaman, saya langsung cuci tangan pakai sabun
di bawah air mengalir dengan menyanyikan lagu dua kali selamat ulang tahun.
Tidak ada
orang yang siap menghadapi kondisi seperti ini, mungkin cuma Bill Gates dan
keluarganya yang sudah sadar sejak 2015. Tidak ada negara yang benar-benar siap
menghadapi ini semua, Korea Selatan sudah melonggarkan aksesnya dan terjadi
penyebaran lagi, beberapa negara sudah mencoba membuka kembali sekolah-sekolahnya
kemudian menutupnya kembali karena terjadi penularan. Jangan ditanya Amerika
dengan semua ruwet yang terjadi, suntik disinfektan, demo anti lockdown, kerusuhan karena rasisme.
Ruwet, dan korbannya sudah di atas 100.000 + George Floyd. Saya bersyukur
Indonesia tidak rusuh, kalau rusuh pasti rasis juga, dan malaikat juga tahu
siapa yang akan jadi korbannya.
Karena tidak
ada yang tahu apa yang akan terjadi dengan ini, berapa lama ini akan terus
berlangsung, yang bisa dilakukan adalah terus bergerak. Mengubah kebiasaan yang
bisa diubah. Ya jelas susah si, karena menjadi lembam dan rebahan itu lebih
menyenangkan. Banyak hal baru yang saya lakukan ketika pandemi ini, saya jadi
masak nasi, koleksi masker dengan berbagai motif dan bentuk, memposisikan
masker setara baju, tidak mungkin pergi tanpanya. Merelakan tangan yang selama
ini cuma pakai sabun dan deterjen natural dari Sekartaji Pawonstudio (*iklan)
jadi terkena alkohol di hand sanitizer atau
sabun-sabun entah di warung-warung atau di posko anti Covid. Pernah tangan
disemprot sabun tapi ga dikasih air buat bilas. Nangis! Untunglah Sekartaji
mengeluarkan produk hand sanitizer yang
wangi mawar dan lembut di kulit. Selain itu juga ada hand butter untuk menjaga tangan tetap halus dari imbas terpapar
begitu banyak sabun dan alkohol (*masih iklan).
Jadi ya begitu,
normal itu selalu baru. Sama seperti saat ini di Amerika tidak lagi normal membunuh
orang kulit hitam, sekarang memakai masker adalah hal yang normal, karena
tanpanya bisa-bisa kita membunuh orang lain karena hal itu. Terus bergerak dan
berubah agar terus menjadi normal. Memilih dengan keterbatasan yang ada dan
tidak merasa terjebak dengan keadaan yang memang tidak bisa diapa-apakan. Ini
bukan tesis yang bisa diselesaikan dengan memiliki niat yang kuat, tidak bisa. Dan
sebaiknya, senormal-normalnya hidup dijalani, anak-anak jangan sekolah dulu lah
ya, biarkan di rumah bersama kedua orang tuanya sepanjang hari menjadi normal
baru untuk mereka sementara ini.
Komentar
Posting Komentar