Ragusa dan Sepotong Cerita

Tulisan ini adalah tugas yang dibikin di kelas menulis karena ikut Prakerja dan sayang kalau cuma jadi tugas aja. 

Ragusa pasti bukanlah nama yang asing bagi para penikmat kuliner di Indonesia. Salah satu icon di pusat kota Jakarta dengan es krim spaghetinya yang khas. Tentu saja ini menjadi tempat yang tidak saya lewatkan ketika berkunjung ke Ibu Kota. Di siang hari yang panas, tentu saja akan sangat menyenangkan untuk menikmati sepiring es krim spagheti atau sepotong es krim rum raisin yang terbuat dari susu segar.

Memasuki ruangannya, kita akan disambut dengan ruangan yang tidak terlalu luas dengan pencahayaan yang temaram. Meja kursi lawas, dan beberapa foto hitam putih banyak menghiasi tembok-tembok di dalam resto. Kami bertiga beruntung bisa duduk di dalam dekat dengan meja kasir.

Setelah memilih beberapa jenis es krim, kami berkesempatan mengobrol dengan Ibu pemilik resto. Seorang perempuan keturunan Tionghoa, yang mungkin berusia sekitar 60 tahun, saya tidak bertanya berapa tepatnya. Dan dari mulutnya mengalirlah cerita mengenai apa yang terjadi padanya di tahun 1998. Bagaimana dia melihat kekerasan yang ada di depan matanya, toko yang rusak dan harus tutup selama berminggu-minggu. “Untunglah saya masih selamat.” Katanya.

Dia menuturkan ceritanya dengan nada yang biasa saja seperti menceritakan kesehariannya berbelanja kebutuhan toko. Tidak terdengar rasa marah, mungkin hanya tersirat sedikit kesedihan di sana.

Dari Ragusa kami berpindah ke Klenteng di Glodok. Sedang ada perayaan entah apa di sana ketika itu. Jadi klenteng ramai dengan pengunjung yang bersembahyang. Saya dan teman-teman kemudian berjalan-jalan dan melihat-lihat ruangan-ruangan yang ada di situ. Sebagai orang yang tumbuh di kota kecil, Klenteng Petak Sembilan ini terasa masif sekali ukurannya. Halaman yang luas, banyak ruangan untuk sembahyang, bahkan halaman belakang yang luas juga dengan tempat pembakaran dupa yang baru pertama kali saya lihat. Saat melihat-lihat, kami bertemu dengan seorang bapak keturunan Tionghoa yang juga bercerita tentang apa yang terjadi padanya di tahun 1998.

Bapak ini bercerita bahwa ketika kerusuhan tiba, dia dan keluarganya mengendarai mobil untuk mengungsi sampai ke Bali. Dia harus tinggal di sana selama beberapa bulan, tanpa penghasilan. Kembali lagi ke Jakarta dengan kondisi tidak memiliki apa-apa. Sekali lagi, yang mengejutkan bagi saya adalah kedatarannya dalam bercerita. Hanya seperti kesialan rutin yang terjadi sehari-hari. Dan bagi saya itu pedih.

Menerima duka sedemikian besar dengan ketidakberdayaan. Dipaksa menerima oleh keadaan tanpa ada keadilan atau penjelasan yang diberikan oleh yang berwenang. Duapuluh lima tahun sudah kejadian itu terjadi, dan banyak orang di Jakarta masih menceritakannya sebagai ingatan yang masih segar seakan baru kemarin.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Autoetnografi apaan sih?

Tes Rorschach: Antara Manual dan Kenyataan

The Geography of Faith