Menggenggam Bilah

Ini adalah minggu yang heboh buat saya. Ada sahabat yang akan pindah, ada seorang adik yang sakit, ada berita yang mencemaskan, dan yang paling menggegerkan ada seorang teman yang tanpa disangka malakukan tidakan drastis dalam kegalauan. Dan terbawa galaulah saya dengan semua yang terjadi.
Saya sebagai orang yang hobi galau dan gundah jadi tidak dapat menyalurkan hobi saya menggalau ke temen-temen saya, karena semuanya lebih susah dibanding saya sendiri. Konselor saya juga lagi ujian, jadi lagi galau juga. Mau galau sama sahabat saya yang mau mengungsi, rasanya dia yang pastinya lebih galau dengan kepindahannya. Dibanding saya yang hanya akan kehilangan dia, dia akan kehilangan semua yang dia kenal di sini dan memulai hidup baru di tempat yang baru. Jadi ya di sinilah saya akan menggalau malam ini.
Dalam segala keadaan gundah yang sedang dan sudah terjadi, saya melihat bahwa banyak orang termasuk saya sendiri sangat menikmati berada dan bertahan dalam posisi di mana mereka bisa terus galau. Istilah saya adalah 'menggenggam pisau.' Mungkin tidak disengaja atau tidak disadari, tapi dengan banyak hal yang bisa dilakukan, banyak yang memilih tidak melakukan apa-apa dan merasakan saja kesakitan yang terjadi.
Saya buktinya. Saat patah hati di jaman purba dulu, banyak hal yang dapat saya lakukan untuk melanjutkan hidup. Tapi ada saat saya hanya memilih di kamar, menangisi diri saya sendiri, merecoki teman-teman saya kalau saya sakit dan susah. Dan saya menikmatinya!!
Ga logis banget! Memang.
Tapi itulah yang terjadi, bahkan jika masa masokis tiba, saya akan melakukan hal-hal yang akan membuat rasa sakit saya lebih parah. Ga usah dijabarkan lah, pokoknya bodoh banget wis. Dan kalau dikasi tahu maka jawaban saya akan klise sekali "Kamu ga tahu si sama apa yang kurasakan, sakit taukk..."
Dan ternyata penyakit ini tidak hanya menjangkiti saya, tapi juga orang-orang lain. Bertahan dalam hubungan yang menyakitkan, berhenti 'hidup' dan hanya berkubang dalam kesedihan, dan pada beberapa kasus melakukan tidakan menyakiti diri secara fisik. Jadi tidak hanya menggenggam pisau tapi juga silet, gunting, pemes dan benda-benda tajam lainnya.
Dan dengan sombongnya, saat ini saya bisa bilang bahwa galau itu pada sebagian besar kasus adalah pilihan. Atau kita bisa memilih untuk tetap galau atau tetap tidak galau. Semuanya hanya masalah sudut pandang.
Tidak disangkal ada saat di mana rasa sakit sangat mendominasi sampai otak ini rasanya butek, burek, ruwet dan ga jelas. Tapi apakah isi kebutekan itu? Biasanya bukan hal nyata yang terjadi di depan mata kita. Jika kasusnya patah hati, maka isinya adalah penyesalan, kemarahan, dan keinginan untuk mengganti apa yang sudah terjadi dengan hal lain, merancang pembalasan dendam atau rancangan sekenario mantan akan kembali. (Iya ga ya? atau otak saya aja yang terlalu aktif?). Atau kalau nggak kembali ke masa lalu biasanya kita berpikir tentang masa depan yang juga tidak pasti dan diluar kendali kita. Jangan-jangan... Gimana kalau... Takut, ntar... Ya intinya semua yang bikin galau pada umumnya adalah hal yang ga bisa diapa-apain, makanya jadi bikin galau kan. Tapi itu juga bukan hal yang nyata dan real. Jadi buat apa dicemaskan dan dibiarkan tetap menguasai otak dan menjadikan diri tidak produkutif?
Saya juga ga menyangkal kalau membiarkan diri tetap gelisah itu menyenangkan.Kalau memang selo ya silakan-silakan saja si.
Menyingkirkan galau sendiri sebenarnya cukup gampang, hidup aja kek biasanya. Karena biasanya begitu kita galau, kita akan berhenti beraktifitas dan terfokus pada galau yang terjadi, makanya jadi susaaahhh banget rasanya.
Kadang saya sendiri heran dengan betapa mudahnya saya sekarang teralihkan dari galau yang sedang terjadi di otak saya ketika bekerja atau lagi ngapain aja lah. Dan bodohnya, saya agak ga rela kalau galau saya hilang begitu saja. "Kok bisa si saya baik-baik saja?" "Kok saya ketawa-ketawa aja sekarang? Kan harusnya saya galau?" "Jangan-jangan kesenangan saya sekarang ga nyata dan bentar lagi ketika sadar saya bakal termehek-mehek lagi"
Saya bahkan sampai takut senang karena takut ada hal yang membuat sakit di depan sana. Pola pikir yang apa-apaan banget kan.
Jadi ya intinya adalah saya pernah bodoh, masih bodoh dan sedang berusaha ga bodoh-bodoh banget lah. Paling ga saya tidak ingin tetap menggenggam pisau yang bisa membuat saya tetap berdarah-darah. Dan saya ingin menjalani saat ini tanpa ketakutan bahwa ketika pisau ini saya lepaskan saya akan kehilangan pegangan.


NB: Mungkin ketika PMS saya datang tulisan ini akan saya tambah hastag #Preeekkk

Komentar

  1. Ketika menggenggam pisau dan kamu merasakan kesakitan, bersyukurlah. Kamu masih sadar. Trus, kalau sudah sadar, kesakitan itu jadi berasa nggak enak. Nah, lepasin aja pisau itu. Ya ga jeng? Kalau belum merasa kesakitan (bukan fisik, lho), berarti belum sadar. Masih ingin merasakan zona nyaman dan menghindari kenyataan. Well, boleh menggalau. Tapi, jangan lama-lama. Sehari cukup buat menata perasaan di tempat semestinya. Okeeiii, semangat teman-teman. Kita berjuang bersama!!! #gerakan perempuan

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Autoetnografi apaan sih?

Tes Rorschach: Antara Manual dan Kenyataan

The Geography of Faith