Dikejar D.O.

Berada dalam suatu situasi yang sama terus menerus ternyata dapat menimbulkan suatu sikap mental yang permanen. Hal itu baru saya sadari beberapa hari terakhir ini. Selama dua tahun menjalani proses penulisan skripsi membuat saya memiliki sikap mental sebagai pelarian.
Dua tahun adalah waktu yang sangat panjang untuk mengerjakan suatu tulisan yang hanya sebanyak delapan puluh halaman dengan font Times New Roman ukuran 12 dan spasi dua. Tapi ya… begitulah faktanya.
Saat teman-teman seangkatan saya sudah mulai menulis skripsi dan lulus sejak tahun 2009, entahlah saya berada di mana. Seingat saya, akhir tahun tersebut masih ada kuliah yang saya ikuti. Setelah itu awal tahun 2010, saya magang di taman kanak-kanak selama dua bulan. Bukan magangnya yang membuat saya tidak mengerjakan skripsi tetapi patah hati yang terjadi di waktu yang sama itulah yang membuat saya tidak berfungsi sebagai manusia selama sekitar empat bulan.
Saat mulai sembuh patah hatinya, saya ketemu dengan kegiatan dan komunitas baru yang benar-benar mengalihkan dunia dan kehidupan saya. Saya ketemu dengan Pingit. Saya langsung jatuh cinta saat pertama kali menginjakkan kaki di tempat itu dan bekerja sebagai volunteer untuk mengajar anak-anak di sana.
Pingit memberi saya suatu atmosfer yang sangat bersemangat di tengah ketidakpercayaan diri yang mendominasi diri saya saat itu. Pingit memberi saya teman-teman yang menjadi pusat dunia saya sampai sekarang. Pingit memberi saya rumah dan teman-teman yang baru ketika rumah dan sebagian kehidupan saya hilang bersama perginya kekasih lama saya.
Tidak lama setelah saya pertama kali menginjakkan kaki di tepi kali Winongo itu ada kejadian lain, Merapi meletus. Seluruh roda kehidupan di Yogyakarta dan sekitarnya dihentikan secara paksa oleh abu vulkanis yang menutupi seluruh kota. Bersama dengan lumpuhnya kehidupan, maka ikut lumpuhlah skripsi saya. Saya lupa bahwa masih ada tanggungan untuk menulis.
Banyak alasan dan pekerjaan yang saya lakukan selama dua tahun ini yang saya jadikan alasan kenapa proyek penulisan yang wajarnya bisa selesai dalam waktu enam bulan, bahkan kurang, menjadi berkali lipat lamanya. Dari menjadi pengajar di sekolah elit sampai mengajar anak-anak di pinggir kali, dari berjualan keliling sampai menjadi asisten dosen, dari pekerja EO sampai penulis lepas dan akhirnya tertambat sebagai editor di Indie Book Corner.
Semua hal saya lakukan dan saya halalkan untuk menghindari salah satu ketakutan terbesar dalam hidup saya, bimbingan dan wawancara. Entah bagaimana cara kerja otak saya waktu itu, tapi saya sungguh sangat ketakutan jika harus bimbingan. Saya ingat ketika pertama kali harus bertemu dosen untuk mengajukan judul saya, saya harus diantar dan ditunggui oleh seorang teman, jika tidak maka saya tidak akan pernah mengajukan judul tersebut.
Keengganan saya juga tidak ketulungan, mengajukan ide dan direvisi, menulis dan disalahkan. Tidak tau mau menulis apa. Enggan dan ketakutan sangat, hingga pada satu titik saya memutuskan untuk membeli skripsi saja. Dan saat negosiasi dengan orang yang akan membantu mengerjakan skripsi itu, ternyata saya juga masih harus mengerjakan. Nggak lanjutlah saya dengan ide ndandakke skripsi itu. Ditambah lagi, teman-teman baru saya di Pingit itu banyak yang S2 dengan harga diri, idealisme dan gengsi yang di atas normal.
“Punya gengsi sedikitlah kamu bisa kuliah,” kata teman saya yang waktu itu menjadi koordinator ketika kami menimba air buat cuci piring.
“Lah ngapain gengsi, setiap orang juga bisa kuliah.” Saya masih ngeyel waktu itu, sekarang juga masih.
Tapi alhamdulilah, saya agak ketularan, tidak menyerah dengan ketakutan saya dan mulai ikhlas bahwa apa yang harus ditulis memang harus ditulis.
Salah satu titik balik saya adalah kalimat, “Kalau belum selesai Bab 3, kamu ga boleh ketemu aku.” Kalimat yang diucapkan oleh salah seorang teman baik saya waktu itu benar-benar bikin melek. Buat saya, ada orang yang menyediakan dirinya sebagai reward untuk sesuatu yang sebenarnya adalah kebutuhan saya sendiri, kewajiban saya sendiri, adalah sesuatu banget lah.
Selain itu, pada semester ganjil tahun 2011 saya juga mulai menjadi asisten praktikum dari dosen pembimbing skripsi saya, hal itu juga memaksa saya untuk lebih rajin mengerjakan tulisan saya itu setiap harus ketemu beliaunya untuk membahas masalah kuliah.
Ketersendatan saya dalam proses skripsi ini membuat Bapak Dosen yang sebenarnya baik-baik saja ini menjadi suatu sosok yang menakutkan dalam benak saya. Ada fase di mana saya merasa beliau akan muncul di setiap sudut di kampus. Pernah suatu kali kami berpapasan di perpustakaan dan beliau menanyakan soal skripsi. Saya langsung jongkok begitu beliau berlalu. Lemes rasanya.
Ada malam-malam di mana Bapak Dosen ini menjadi tokoh yang paling sering muncul dan paling dominan dalam mimpi-mimpi saya. Entah apa ceritanya, tapi saya merasa dikejar-kejar, dan perasaan itu masih terasa sampai beberapa saat setelah bangun tidur. Menakutkan.
Kegentingan proses ini juga ditambah dengan semakin mepetnya waktu saya. Kalau tidak bisa selesai maka Drop Out lah saya. Menyadari itu, di awal tahun 2012 ini lah saya baru benar-benar mengerjakan skripsi saya dengan benar. Dari yang bimbingan tiap semester satu kali, saya mulai bisa bimbingan dua minggu sekali, seminggu dua kali dan pernah sehari dua kali. Dan anehnya, saya menikmatinya.
Di saat-saat terakhir itu saya menikmati setiap proses yang saya lakukan, saya menikmati mencari teori yang tepat, saya menikmati mengganti bab 4 saya, entah berapa kali, sampai ketemu dengan analisis yang pas. Saya menikmati apa yang saya baca, saya menikmati setiap proses menulisnya. Walaupun ketika lembur terus saya sempat takut bakal mati hanya gara-gara nulis skripsi. Konyol memang.
Akhirnya, selesai sudahlah semuanya. Penulisan, ujian, revisi dan birokrasinya tuntas sudah. Rasanya menyenangkan ketika awal bulan datang dan saya tidak lagi harus menghitung berapa lama lagi waktu yang tersisa sebelum batas akhir kehidupan saya sebagai mahasiswa. Terkadang, tanpa saya sadari masih ada perasaan enggan untuk menempuh jalan menuju kampus. Perasaan yang membuat saya membuat tulisan ini. Perasaan ketakutan sebagai pelarian selama dua tahun yang masih membekas dalam otak saya. Saya harap otak saya bisa cepat menyadari bahwa saya tidak perlu lagi berlari, seperti yang sudah berkali-kali saya lakukan di masa lalu ketika saya melihat sosok bercelana khaki, berbaju kotak-kotak dan membawa tas ransel itu.
Sekali lagi, terima kasih semua atas kesabarannya.

Komentar

  1. congratz Ci Anne, semua ad hikmahnya ya. seneng deh baca posting ini, :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Autoetnografi apaan sih?

Tes Rorschach: Antara Manual dan Kenyataan

The Geography of Faith