Pulang

Pulang. Biasanya kata itu membuat saya bersemangat. Tiap libur datang, entah itu libur semesteran, natal, paskah atau Idul Fitri, saya pasti bersemangat untuk berkemas dan pulang ke rumah.
Sebagai seorang yang sudah tinggal di perantauan selama 10 tahun, rumah menjadi suatu tempat yang istimewa. Walau jarak dari rumah ke tempat tinggal saya sekarang hanya berjarak dua jam perjalanan naik motor, tapi sangat jarang saya tinggal di rumah lebih dari hitungan minggu sejak saya hijrah waktu lulus SMA. Jadi, melihat kecenderungan saya itu, saya pikir ketika semua urusan sekolah saya selesai saya akan senang untuk kembali ke rumah. Ternyata sebaliknya.
Ada beberapa kejadian beruntun yang membuat saya mengambil keputusan untuk pulang dalam jangka panjang. Pertama adalah papa saya yang harus bekerja di luar rumah sampai bulan Oktober. Hal itu membuat tanggung jawab mengurus toko berada di tangan Simbok saya. Kedua, lebaran kemarin, orang yang bekerja di toko mengalami kecelakaan dan harus dirawat di rumah sakit. Karena ia mengalami cedera kepala, maka butuh waktu yang cukup panjang untuk memulihkan diri. Semakin sendirianlah Simbok saya. Ketiga, rumah asisten rumah tangga yang mengurus rumah saya selama 10 tahun mengalami kebakaran. Saya tidak tahu bagaimana kelanjutannya,tetapi rasanya saya dicemplungkan ke dalam novel Entrok, di mana pekerja yang bekerja kepada Marni semua mengalami musibah dan dituduh sebagai tumbal kekayaan dari Marni. Ya, tidak ada yang menuduh kami meminta tumbal si, tapi yang pasti kejadian-kejadian itu membuat Simbok saya di rumah sendirian tanpa dukungan yang biasanya dimilikinya.
Keadaan Simbok saya yang pasti repot itu membuat saya merasa saya harus pulang, ditambah ada orang yang memang menginginkan saya pulang dan teman saya yang juga mendukung saya untuk pulang dulu sampai keadaan kembali stabil. Simbok saya tidak akan meminta saya untuk pulang. Itu saya tau pasti. Saya kenal beliau, dan beliau sangat tau bagaimana saya. Jadi, jika memang harus pulang, maka itu haruslah menjadi keputusan sadar yang saya ambil.
Saya ambil keputusan sadar saya untuk pulang, dan saya baru merasakan betapa sudah jauhnya saya dari rumah. Sepuluh tahun dalah waktu yang sangat panjang untuk saya membangun kehidupan dan rutinitas saya sendiri di sini. Teman-teman yang mengisi waktu-waktu saya, tanggung jawab yang harus saya penuhi dan pekerjaan yang saya nikmati. Jadi berat rasanya, sungguh berat.
Pikiran saya kembali pada beberapa saat bulan yang lalu ketika saya mendapatkan sebuah tawaran pekerjaan. Pekerjaan yang mungkin akan membuat saya pergi jauh dari rumah. Untuk sama-sama meninggalkan kehidupan yang saya miliki saat ini, saya lebih menyambut kesempatan untuk pergi ini dengan lebih antusias. Saya bersemangat untuk pergi, walaupun nggak jadi si pada akhirnya.
Sama-sama pergi, tapi entah kenapa pulang menjadi sesuatu yang tidak akan saya pilih jika saya punya pilihan yang lebih baik. Padahal pulang adalah suatu perjalanan menuju jaminan keamanan dan kenyamanan.
Saya jadi ingat dengan film Madagaskar 3 yang menceritakan Alex, Marty, Melman, dan teman-temannya yang berjuang untuk pulang ke kebun binatang. Ketika mereka sampai di rumah, mereka tidak lagi merasa nyaman dengan rumah yang mereka rindukan selama ini. Mereka sudah menjadi terlalu 'besar' untuk tinggal di tempat yang aman dan nyaman di mana mereka dulu pernah tinggal.
Saya tidak tahu apakah saya akan benar-benar pulang atau tidak. Yang saya tau saya sudah membangun rumah saya, home saya sendiri, lepas dari orang tua saya. Tanpa saya sadari bahwa saya sudah sungguh-sungguh lepas dari rumah masa kecil saya, tanpa saya sadari saya sudah membangun identitas diri saya sendiri.

Komentar

  1. Klo ini semacam curhat beneran, bkn cerpen yoo.. Hehhehe

    BalasHapus
  2. Yeps, kalo yang ini bukan fiksi, jadi boleh termehek-mehek #eh

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Autoetnografi apaan sih?

Tes Rorschach: Antara Manual dan Kenyataan

The Geography of Faith