Pangeran Berkuda Putih
Beberapa hari terakhir ini pernikahan menjadi suatu
bahan yang happening banget dalam
hidup saya. Diawali dengan datangnya beberapa undangan pernikahan dari beberapa
teman, pemberitahuan akan adanya pernikahan yang akan segera dilangsungkan
dalam beberapa bulan ke depan. Tulisan dari Koko Yhonas “Sekadar Pernikahan?”
juga membuat saya jadi mengingat tulisan saya beberapa tahun yang lalu yang
juga membahas mengenai pernikahan. Selain itu, baru-baru ini saya juga
mengikuti seminar yang bertemakan keluarga.
Sebagai orang yang lagi bener-bener lajang,
penikahan adalah sesuatu yang rasanya masih nun jauh di sana. Dengan kondisi
yang masih belum mapan, masih sangat senang bersenang-senang dan memiliki emosi
yang masih sangat tidak stabil, rasanya sangat tidak memadai bagi saya untuk
menanggung sebuah keluarga.
Ya kalau sekadar kepingin menikah si kepingin. Dalam
imajinasi saya, saya juga menginginkan seorang lelaki tempat saya bisa ‘nemplok’ dan membangun suatu hubungan simbiosis parasitisme. Saya parasitnya.
Bayangkan, betapa menyenangkannya memiliki pasangan yang bisa mengambil semua
masalah saya dan menyelesaikannya. Saya masih hidup dalam impian akan pangeran
berkuda putih dan membawa pedang yang membuat saya bisa merasakan hidup bahagia
selama-lamanya. Tapi yang lagi tren akhir-akhir ini bukan lagi pangeran berkuda
putih melainkan lelaki berjubah putih dan membawa gadget, yang sama kuda hanya tinggal pak kusir yang sedang bekerja.
Mungkin pemikiran ‘hidup bahagia sampai akhir masa’
ini yang juga dibahas sama Koh Yhonas dalam tulisannya, di mana banyak orang
yang menganggap bahwa pernikahan adalah akhir dari segala perjuangan manusia,
sehingga banyak yang kalap dan menghabiskan banyak sumber daya untuk
menyelenggarakan suatu pesta pernikahan yang cetar membahana.
Bagi saya sendiri sebagai wanita, saya nggak tau
bagaimana orang lain, ada suatu kesan di mana dengan menikah maka semua
perjuangan saya dalam dunia kerja dan masyarakat akan berakhir begitu saja.
Hidup nyaman dinafkahi suami. Kalau benar seperti itu, tidak heran kalau banyak
wanita yang berlomba-lomba mencari pasangan. Kaya lebih disukai. Bahkan demi
mendapatkan lelaki ideal sesuai impian bisa sampai menempuh jalur yang ilegal
secara psikologis, anoreksia misalnya atau suntik botox dan operasi plastik
bagi yang mampu.
Mungkin perilaku seperti itu lah perilaku yang
normal. Apa yang salah dari berjuang untuk mencapai cita-cita? Apa yang salah
dari menyenangkan pasangan? Mungkin saya yang anomali, ketika dulu saya punya
pacar, saya yang gendut dan pacar saya yang fitnes, saya tetep aja gini. Nggak
ada komplain tuh…
Tapi pernikahan ternyata tidak hanya sesimple
menemukan orang yang membuat kita deg-degan atau yang menerbangkan kupu-kupu
dalam perut kita. Banyak kisah di mana suatu pernikahan malahan menjadi sebuah
bencana. Ada seorang teman saya yang menceritakan mengenai kehidupan
pernikahannya yang terpaksa harus diakhiri. Ada juga pernikahan lain yang
menjadi semakin kacau seiring dengan berjalannya waktu.
Begini kisahnya. Ada sebuah keluarga yang saya kenal
beberapa waktu yang lalu. Pada waktu itu mereka sedang berusaha pulih dari
kebangkrutan yang dialami. Karena satu dan lain hal, pasangan ini kesulitan
untuk mendapatkan pekerjaan yang layak karena tidak adanya surat-surat seperti
ijazah. Mereka juga memiliki dua orang anak, seorang masih tk dan seorang lagi
belum genap dua tahun.
Seiring berjalannya waktu, entah kenapa si lelaki
semakin tidak jelas perilakunya. Pernah pergi dengan membawa anak-anak kemudian
balik lagi. Tidak mau melakukan pekerjaan kasar dengan bayaran yang sedikit.
Padahal anak-anak tetap butuh makan, tetap butuh minum susu. Padahal mereka
tetap memerlukan tempat tinggal. Padahal ada anak yang juga perlu disekolahkan.
Kabar terakhir, si lelaki pergi meninggalkan istri dan kedua anaknya, yang
otomatis membuat si istri tidak bisa bekerja karena anak-anaknya tidak bisa
ditinggalkan sendirian. Sekacau itu sebuah pernikahan bisa berakhir.
Tidak hanya pernikahan tersebut yang berakhir dengan
meninggalkan nasib yang tidak jelas dari anak-anak yang ada di dalamnya.
Anak-anak yang jadi tidak jelas bagaimana masa depannya, tidak jelas bagaimana
sekolahnya. Jangankan sekolah, untuk makan saja entah ada atau tidak.
Seberbahaya itu suatu pernikahan tanpa tanggung jawab dari para pelakunya.
Komitmen dan janji dalam pernikahan pun saat ini
rasanya juga tidak terlalu dianggap penting bagi sebagian orang. Banyak hal
bisa dijadikan alasan untuk mengakhiri suatu hubungan, dalam suatu litelatur
yang pernah saya baca, semua hal bisa menjadi alasan untuk bercerai. Istri yang
mandiri lebih berani bercerai karena ia bisa menghidupi dirinya sendiri, istri
yang di rumah bercerai juga karena tidak bahagia di rumah terus. Pendidikan
tinggi bercerai karena sadar akan perlunya mengaktualisasi diri dan pernikahan
dianggap sebagai suatu penghambat pengaktualisasian diri, pendidikan rendah
bercerai karena susah cari solusi kalau ada masalah. Kaya bercerai karena yakin
bisa survive setelah perceraian, miskin bercerai karena kekuarangan
penghasilan. Dalam Agama Katolik sendiri di mana perceraian adalah tindakan
yang ilegal, tetap saja ada orang Katolik yang lebih memilih untuk berpisah
demi kebahagiaan dan kelangsungan hidupnya sebagai individu. Segalanya bisa
dijadikan alasan untuk mengakhiri suatu pernikahan, tapi itu bisa diartikan
juga bahwa segala hal juga bisa dijadikan alasan untuk mempertahankan keutuhan
sebuah keluarga.
Bagaimanapun menikah adalah suatu perjudian, kita
tidak bisa menjamin orang yang kita nikahi akan sehat dan fungsional selamanya.
Perubahan pasti terjadi dalam perkembangan setiap individu yang sehat. PR-nya
adalah bagaimana membuat perubahan itu selalu menjadi perubahan yang mengarah
pada hal-hal yang positif dan bagaimana perubahan itu ditanggapi dan
diakomodasi oleh individu itu sendiri dan oleh orang-orang di sekitarnya,
terutama pasangannya. Dan yang pasti adalah bagaimana sebagai pasangan harus
tetap berfungsi terutama ketika ada anak-anak yang harus dihidupi, jangan
sampai keluarga menjadi sumber kesengsaraan utama bagi anak-anak.
jadi ingat obrolan masa kuliah : pernikahan bukan akhir perjuangan tapi justru malah awal.. yang tadinya berjuang masih digandeng bapak ibu masing2, sekarang 2 orang kupu2 yang baru keluar dari kepompong keluarganya masing2 itu harus saling bergandengan tangan tertatih2 belajar terbang. belum mahir terbang sudah harus siap menggandeng anak..
BalasHapus