Manusia Berkarakter

"Karakter yang kuat membuat seseorang menjadi pribadi yang utuh dan tangguh. Mereka tidak tergantung pada lingkungan, tetapi menjadi pemimpin dan pembaru bagi lingkungannya. Karakter merupakan inti dari manusia yang unggul dan bermartabat. Dengan karakter yang kuat, anak-anak akan mampu mengatasi berbagai tantangan hidup ini." 

Sebagai seorang yang pernah bergumul di bidang pendidikan anak-anak, visi dan harapan seperti di atas adalah hal yang sangat akrab untuk saya. Di Pingit kami, para volunteer, juga memiliki harapan dan keinginan agar anak-anak menjadi seorang yang memiliki karakter yang baik. Namun karena Pingit merupakan salah satu kasus khusus, jangankan menjadi pemimpin dan membuat perubahan untuk lingkungan, pada satu titik kami hanya ingin anak-anak itu bisa bersikap baik dan sopan terhadap orang lain. 
Masalah pendidikan karakter ini sendiri
sudah saya perdebatkan lama dengan teman-teman seperjuangan sekitar 2-3 tahun yang lalu. Karakter seperti apa yang ingin dicapaikan untuk anak-anak. Apakah dengan menjadikan anak-anak Pingit itu menjadi anak baik, mereka akan bisa bertahan dalam pergaulan di lingkungan yang begitu keras? Lalu bagaimana cara kita untuk menghabituasikan itu pada anak-anak?
Pada masa itu kami, para volunteer ini terdiri dari para mahasiswa pendidikan dan psikologi. Kami begitu idealis dengan harapan dan keinginan kami untuk anak-anak itu. Rapat kerja awal semester selalu menjadi ajang dan sarana kami untuk mengeluarkan semua idealisme. Mulai dari melihat tahap perkembangan anak, sampai menerapkan semua metode pendidikan terbaru yang kami dapatkan di bangku kuliah. Dan dengan semangat membara dari rapat kerja tersebut kami pun terjun ke lapangan setiap Senin dan Kamis, dan terkadang hari Sabtu.
Banyak hal yang sudah kami coba terapkan, dari pendidikan nilai, montessori, sampai metode yang kami buat sendiri dan tidak kami ketahui namanya. Hasilnya? Lebih banyak tidak berhasilnya sebenarnya. Pernah kami merasakan berhasil ketika satu semester penuh kami menggunakan metode montessori pada anak-anak Tk. Tetapi, karena program ini hanya dilakukan satu semester, maka hilang juga habitus yang sudah diterapkan pada anak-anak tersebut. Membuat putus asa memang. Dan sekarang saya sendiri nggak tau gimana nasib anak-anak itu.
Tapi sekarang saya jadi memikirkan karakter saya sendiri. Zaman saya sekolah dulu, masih belum ngetrend yang namanya pendidikan karakter di sekolah-sekolah, jadi saya sendiri masih mearasa karakter saya tidak beres. Saya sendiri tidak yakin saya ini merupakan seorang yang utuh dan tangguh. Setau saya dari kuliah-kuliah yang saya dapat, saya ini adalah seorang subjek yang terbelah. Orang yang selalu berusaha mencari pemenuhan dari bolong-bolong yang ada dalam diri saya. Saya berusaha dengan banyak cara untuk menghabituasi ulang diri saya untuk menjadi lebih tangguh. Tapi toh tetep saja lack saya di mana-mana.
Jangankan menjadi pemimpin untuk lingkungan, menjadikan saya bisa memimpin diri saya sendiri, bertanggung jawab dengan tugas-tugas saya sendiri, melakukan yang terbaik untuk tugas-tugas yang harus saya lakukan, masih menjadi mimpi yang belum dapat saya capai. Dan sampai sekarang ini saya masih merasa belum berhasil untuk mengatasi berbagai tantangan hidup. Ada berhasilnya, tapi juga tidak sedikit gagalnya. 

Anak-anak, maafkan kami-kami ini yang pernah menjadi begitu muluk-muluk untuk mengubah dan membentuk kalian menjadi pribadi dengan karakter yang tangguh, karena kami sendiri belum setangguh itu. Kami cuma merasa tau apa yang terbaik untuk kalian tanpa bisa kami terapkan sendiri dalam hidup kami. Kami juga masih galau, kami juga masih gagal, kami juga masih begitu banyak tergantung dengan lingkungan dan orang-orang di sekitar kami. Jadi mari kita belajar bersama-sama saja anak-anak, sama seperti biasa aku banyak belajar dari kalian.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Autoetnografi apaan sih?

Tes Rorschach: Antara Manual dan Kenyataan

The Geography of Faith