Tuhan, Terima Kasih Sudah Menciptakan Jesuit
Sebenarnya saya isin banget mau nulis tulisan ini. Ya… teman-teman juga
pasti tahu kalau saya itu isinan. Tapi karena baru tadi pagi saya belajar
metode penelitian yang berbicara mengenai menjadi peneliti yang baik maka saya
nekat untuk menulis ini. Sebuah penelitian yang baik itu harus mempunyai
refleksifitas dari peneliti, menjadi lebih otentik terhadap pengalaman hidup,
dan menentukan posisionalitas, jadi dalam tulisan ini saya mencoba untuk
melakukan itu. Ya nggak yakin juga sebenarnya apakah ada hubungannya antara
metode penelitian dengan tulisan saya kali ini.
Hari ini saya disadarkan betapa banyak peran para Jesuit dan
karya-karya Jesuit dalam hidup saya dalam empat tahun belakangan ini. Dan
pengalaman saya hari ini yaitu dibantu bikin presentasi dan diajakin nonton
film sama para Jesuit, membuat saya merunut kembali sejarah hidup saya ke
belakang.
Awal perkenalan saya secara langsung dengan manusia yang berlabel
Jesuit ini
adalah saat saya masuk ke Pingit. Saat itu adalah saat paling absurd
dalam hidup saya. 16 Agustus 2010, saat yang saya ingat betul karena ternyata
itu menjadi salah satu titik balik dalam hidup saya. Saya saat itu sedang patah
hati, hubungan saya dengan keluarga saya buruk karena saya menjalin relasi yang
saya sembunyikan dari keluarga saya, skripsi terkatung-katung, dan teman-teman
seangkatan saya sudah mulai pergi dari Jogja. Dan saya saat itu terlalu patah
hati untuk menyadari kondisi saya yang absurd itu. Lalu saya ketemu Pingit.
Pingit adalah karya dari Romo Keiser yang Jesuit. Di situ saya bertemu
dengan para Frater buat pertama kalinya. Dan saya langsung jatuh cinta dengan
suasananya, dengan energinya, dengan keceriaannya. Lalu saya mulai ikut
berproses di situ.
Belum banyak yang saya kenal. Saya juga hanya sekadar datang dan
mengajar, sampai akhirnya saya mulai ikut kuliner. Mulai kenal dengan para
volunteer yang sudah lebih lama ada di situ. Di situ lah saya mulai mengenal
ada banyak sekali orang baik hati di dunia ini. Orang-orang paling sabar dan
paling baik hati yang pernah saya kenal ya ada di antara teman-teman volunteer
dan para Frater di sana. Mereka yang setia datang setelah seharian bekerja.
Tetap datang walaupun hujan deras, dan malah anak-anaknya yang nggak datang.
Jadinya kami malah pesta mie instan, yang kami makan sama-sama langsung dari
pancinya dan minum kopi satu teko sampai saya nggak bisa tidur sepanjang malam.
Semenyenangkan itu.
Dan setelah itu Merapi meletus.
Meletusnya merapi kala itu membuat Kolsani membuka pintunya dan
membentuk dapur umum. Kami berbondong-bondong membantu di sana. Membungkus nasi
dan mengirimkannya ke daerah-daerah pengungsian. Saya sendiri karena rumah saya
ada di radius 20km dari Merapi dan airnya mati, maka saya jadi pengungsi tetap
di Kolsani kala itu.
Malam pertama setelah merapi meletus, saya yang baru pulang dari survey
ke Prambanan bersama serombongan Frater—mereka yang survey, saya cuma ikut
hore-hore—disambut dengan segelas teh panas yang dibuatkan oleh seorang Mas
Frater dan disuruh menginap. Saya yang kala itu masih memandang para biarawan
ini sebagai makhluk setengah dewa, merasa wow sekali. Dibuatkan teh panas,
dipasangkan seprei, dipinjami handuk, dan dikasih sikat gigi sama seorang
Frater, itu wow banget.
Banyak pengalaman-pengalaman baru seperti itu yang saya rasakan bersama
mereka. Dunia saya dibukakan untuk pertama kalinya. Saya diperkenalkan dengan
banyak hal yang dulu tidak pernah saya rasakan. Sampai dalam tulisan harian
saya, saya pernah menulis:
“Dalam duapuluh
empat tahun aku bernapas Tuhan, rasanya baru tahun ini aku hidup. Melihat,
merasakan dan memilih…”
Iya, baru tahun itulah saya mulai merasakan saya
benar-benar melek, padang, jernih, jelas. Entah ke mana 23 tahun sebelumnya.
Saya mulai diajak untuk peduli dan memikirkan orang lain. Saya mulai diingatkan
terus-menerus secara bergantian oleh semua Frater yang saya kenal untuk
menyelesaikan skripsi. Sampai Romo-romo di Kolsani saja tau skripsi saya sudah
selesai atau belum kala itu. Saya mulai diajak untuk kemping, jalan-jalan ke
kebun binatang, memungut sampah di gunung dan di pantai. Saya melihat orang
yang tidak abai ketika ada kecelakaan di jalan adalah ketika saya jalan bersama
Frater Jesuit ke Wates. Saya menyiram Frater yang ulang tahun jam 3 pagi juga
setelah saya bergaul dengan mereka-mereka ini. Saya makan siang bersama Romo
Provinsial dan diajak berdoa di kapel sama Romo Rektor, hiii…
Banyak pengalaman dan pelajaran lain yang juga saya
dapat bersama mereka. Saya mulai berani berbicara di depan umum tanpa gemetaran
dan ketakutan adalah ketika raker Pingit di SAV. Setelah itu langsung
dilanjutkan dengan mengisi sarasehan di Kolsani dan dilihat orang sebanyak itu.
Dan itu adalah saat di mana ketakutan saya untuk berbicara di depan umum,
ketakutan saya untuk pendadaran bisa saya atasi. Saya takut, tapi itu tidak
lagi melumpuhkan.
Saya belajar untuk mencintai proses belajar itu
sendiri. Saya diajak untuk mencintai dan menghargai karya yang saya hasilkan.
Kalau saya tidak bergaul dengan mereka dan melihat bagaimana kerasanya mereka
belajar setiap harinya. Jangankan S2 seperti sekarang, mungkin S1 saja saya
tidak lulus dan entah saya sudah terdampar di mana…
Saya bisa dan berani menulis di blog seperti ini
setelah saya ikut pelatihan penulisan yang di situ ada Romo Sindhu dan dari
blog seorang teman yang Jesuit juga. Saya juga diajak oleh seorang Frater untuk
menulis di majalah Utusan yang juga kepunyaan Jesuit. Jadi ada satu titik dalam
hidup saya di mana kegiatan saya kaya Frater-Frater di Kolsani. Pagi di
majalah, malamnya di Pingit, kuliah di sekolahan punya Jesuit dengan dosennya sebagian bersar Romo Jesuit dan ex-Jesuit. Cuma satu kegiatan yang bagi saya nggak berhasil
dan tidak saya nikmati adalah Magis. Saya tersiksa di situ. Entah karena saya
takut sama peregrenasinya, entah saya merasa dipaksa-paksa, entah karena saya
sombong dan merasa sudah bisa. Tapi itu adalah proses yang paling nggak saya nikmati
dari semua kegiatan berbau Jesuit yang saya ikuti
Saya tahu Pulau Sempu, saya merasakan mendaki
gunung--eh bukit ding, berurusan dengan kegiatan sosial dengan segala dinamikanya, merasakan
makan pagi, siang, dan malam di refter, belajar menulis, menyelesaikan skripsi,
sampai memutuskan untuk kuliah sekarang, semuanya tidak terlepas dari
pendampingan Mas-Mas Jesuit di sekitar saya. Saya sudah diselamatkan
berkali-kali baik secara mental, spiritual, psikologis, akademis, maupun makan gratis
bersama mereka.
Lebih banyak lagi saat-saat di mana saya
benar-benar merasa diselamatkan. Mungkin roh kudus benar-benar menyala atas
mereka. Jadi entah bagaimana rasanya selalu ada di saat yang tepat. Jika mereka
bertujuan menyelamatkan jiwa-jiwa, maka saya merasa bahwa saya sudah
diselamatkan, atau pernah selamat jika nanti suatu saat saya tersesat lagi.
Jika mereka bertindak demi kemuliaan Tuhan yang lebih besar, maka bagi saya itu
sudah sangat terjadi. Saya benar-benar bersyukur Tuhan sudah menciptakan Jesuit
sehingga saya bisa bahagia berdiri di sini, saat ini.
Saya sudah disapa dan diajak untuk berubah, mulai
dari teman-teman Jesuit di sekitar saya, sampai yang belum pernah saya temui
seperti Anthony de Mello. Tidak dengan memaksa dan menasihati saya harus
seperti ini atau seperti itu. Mereka hanya selalu ada bersama saya, dari
membantu menerjemahkan bahan presentasi, mengajak saya makan setiap pulang dari
Pingit atau kapan pun saya minta makan, membuatkan saya indomie goreng untuk
sarapan pagi, memasak daging buaya bersama, tidak mau menemui saya kalau
skripsi saya belum selesai, mendengarkan saya bercerita atau bergosip,
mendengarkan setiap komplain dan keluhan saya, bahkan terkadang saya hanya
dibiarkan untuk berkeliaran begitu saja, dan entah kenapa, itu menyelamatkan
hidup saya.
Jika Tuhan tidak menciptakan Mr. Ignatius 500 tahun yang lalu, entah akan kuliah di mana saya sekarang.
Hmmm….komentar apa eaaaaa…..
BalasHapusKok Romo yang baca siii.... *Isin...
Hapus