Ayo Nyoblos!

Pemilu tinggal hitungan hari lagi dan saya sudah tidak sabar lagi menanti tanggal 9 Juli ini datang. Bukan kenapa-kenapa, tapi saya sudah mulai muak dengan semua perdebatan dan perselisihan yang menyertai semua pemilu ini. Sepanjang ingatan, ini adalah pemilu yang paling heboh yang pernah saya rasakan. Semua orang membicarakan pemilu, dari media yang terlihat jelas memihak, sinetron yang menyelipkan kampanye pada dialognya, semua surat terbuka yang balas membalas di media sosial, sampai berbagai media kampanye yang tersebar di segala sudut. Kreatif memang, tapi tetap saja bikin muak.
Di sisi lain, saya juga ikut deg-degan dan harap-harap cemas dengan hasil pemilunya. Bagaimana pemilu nanti akan berlangsung? Siapa yang menang? Apakah akan ada kekacauan nanti setelah Pemilu selesai, melihat proses perjalanannya saja sudah begini panas. Dan semakin mendekat ke tanggal sembilan, ketakutan yang saya rasakan semakin terasa jelas.
Mungkin beberapa orang menganggap ini mengada-ada atau mungkin juga lebay. Mungkin beberapa orang bilang, zaman sudah berubah, tidak akan ada lagi kekerasan. Namun mau dirasionalisasikan seperti apapun, kenyataan bahwa saya adalah wanita Cina yang Katolik rasanya membuat diri saya ini begitu rentan.
Beberapa minggu yang lalu saat menyusuri ringroad utara, saya beriringan dengan mobil Hummer hitam dengan plat nomor berakhiran FPI. Mobil dengan tulisan arab di kaca belakangnya. Melihat mobil itu, entah kenapa saya langsung merasa begitu ketakutan, rasanya, saya tekankan sekali lagi, rasanya saya akan dipepet mobil tersebut dan pemiliknya akan keluar dan memukuli saya. Ya itu cuma ketakutan saya sendiri.
Ingatan saya kembali merunut ke belakang. Belum lama, baru tiga tahun yang lalu, kota kecil tempat saya lahir dan tumbuh besar selama ini mengalami kerusuhan dan perusakan. Perusakan yang ditujukan pada gereja dan sekolah-sekolah kristen dan katolik. Itu pengalaman paling langsung yang saya alami, pengalaman yang menyerang diri saya secara personal.
Saya ingat betul betapa hancurnya komunitas kami saat itu. Betapa sedihnya saya dan teman-teman saya ketika itu. Gereja kami adalah tempat bermain kami, tempat kami bersenang-senang dan bertemu dengan banyak orang yang kami kenal sejak kami lahir. Gereja yang mencatat perkembangan kami sejak kami dibaptis sampai mungkin kami mati nantinya. Tidak ada orang yang mengalami luka serius, hanya Yesus dan beberapa patung lain yang kehilangan kepalanya atau hancur di sana sini. Tapi itu terasa begitu menyedihkan, rasanya ada kenangan yang ikut hilang dan rusak bersama dengan kerusakan yang dilakukan orang-orang itu.
Lalu semua kekacauan pada pemilu ini membuat kenangan itu dan berbagai ingatan lain mulai bermunculan. Pemilu yang juga diiringi kekerasan di dalamnya. Tidak perlu banyak saya jelaskan, tinggal kita runut ke belakang dan kita akan melihat sendiri sejarah kekerasan di Indonesia. Menyerang siapapun, minoritas manapun. Baik itu karena agama yang tidak sesuai, suku yang tidak sesuai, aliran yang tidak sesuai, atau tidak memiliki kekayaan yang mencukupi. Dan ketika saya melihat diri saya sendiri, saya tahu bahwa saya cukup tidak sesuai dengan apa yang orang-orang ini harapkan.
Ketakutan saya ini yang kemudian menggerakkan saya. Bagaimana tidak, Freud saja setuju bahwa sebagai manusia kita akan selalu mengikuti dorongan untuk terus bertahan hidup. Maka saya kemudian mengikuti dorongan saya untuk mencari keadaan yang menjamin saya bisa hidup dengan selamat, aman, dan nyaman selama paling tidak lima tahun ke depan lah.
Jadi ya mau bagaimana lagi kalau hal itu membuat saya tidak berani memilih seseorang yang dikelilingi oleh orang-orang yang terlihat jelas akan bisa melukai saya, karena saya tidak cukup sesuai dengan apa yang mereka harapkan. Sepanjang hidup, saya dan cara hidup yang keluarga saya perkenalkan adalah hidup dengan hati-hati, jangan sampai melampaui batas, atau kami akan celaka. Maka ini juga adalah salah satu saat di mana saya harus memilih dengan hati-hati. Memilih seseorang yang dari sudut pandang saya tidak terkait dengan kekerasan di masa lalunya. Memilih seseorang yang saya yakin akan membuat hidup saya yang tidak sesuai dengan lingkungan ini aman dan nyaman. Saya setuju dengan pernyataan seseorang yang saya lupa siapa di salah satu surat terbuka, paling tidak kita memilih presiden yang kita berani mendemonya dan mengkritiknya jika ia berbuat kesalahan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Autoetnografi apaan sih?

Tes Rorschach: Antara Manual dan Kenyataan

The Geography of Faith