Gejayan Memanggil




Empat belas tahun menjadi mahasiswa di Yogyakarta dan baru kemarin saya merasakan salah satu kebanggaan sebagai mahasiswa, ikutan demo. #GejayanMemanggil yang tiba-tiba ramai di sosial media selama beberapa hari yang mengundang mahasiswa dan semua elemen masyarakat untuk turun ke jalan menyuarakan aspirasinya karena berbagai hal tidak jelas yang berturut-turut terjadi di Indonesia hanya dalam beberapa minggu saja. Permasalahan Papua, kebakaran hutan, berbagai undang-undang bermasalah yang beresiko mengkriminalisasi siapa saja, dan banyak hal lain yang saya sendiri tidak yakin saya paham.
Berita berseliweran ke sana ke mari sejak Minggu malam. Saya sudah share poster Gejayan Memanggil dan berniat untuk datang dan melihat apa yang terjadi. Pagi harinya dua orang teman sudah mempertanyakan poster tersebut dan menanyakan apakah saya paham dengan apa yang terjadi, diikuti dengan imbauan dari hierarki bahwa gerakan tersebut bisa berakibat kekacauan. Belum lagi menyusul selebaran dari rektorat bahwa mahasiswa diimbau untuk tidak bergabung, ditambah lagi nyinyiran banyak orang akan tidak bergunanya panas-panasan untuk demo dan menyalurkan pendapat. Saya iyakan saja semuanya, niat saya tetap, karena demo juga terjadinya di depan rumah, saya tetap berniat untuk datang dan melihat. Bagaimanapun ini adalah sejarah.
Pagi hari semua kegiatan COD sudah saya selesaikan. Niat saya jam sebelas saya sudah bisa duduk-duduk di kampus sambil memantau apa yang terjadi dan bersiap pindah lokasi begitu ada keramaian. Suasana kampus agak tidak menyenangkan dengan imbauan dari rektorat. Bapak rektor berjalan-jalan seakan memantau situasi, rombongan orang yang memantau di gerbang depan yang sudah ditutup untuk melindungi keamanan civitas akademika dibubarkan. Sekitar jam itu pula puluhan motor dengan penumpang beralmamater hijau dari UPN melintas melewati kampus, menuju UGM. Saya bersemangat.
Jam dua belas saya keluar bersama dua orang teman, bagi saya niatnya tetap. Menonton, sama seperti menonton karnaval 17-an. Menikmati perayaan demokrasi pada bentuknya yang paling murni. Saya merasa aman-aman saja untuk datang dan melihat karena sekali lagi, kejadiannya persis di halaman rumah saya, kenapa juga tidak datang dan terlibat.
Massa bergerak. Tadinya yang berorasi di depan Sanata Dharma bergerak ke pertigaan Colombo yang memang sudah direncanakan menjadi titik kumpul. Sudah banyak orang yang berkumpul di tempat itu walaupun belum sampai memadati jalan. Kendaraan masih diizinkan lewat melintasi para mahasiswa yang sudah mulai berorasi menyerukan tuntutannya. Saya mengamati sambil panas-panasan sambil sesekali nyiyir sama teman-teman, saya memang suka begitu.

Mahasiswa dari berbagai penjuru terus berdatangan, teman-teman semakin banyak, dosen juga ikut keluar kampus dan bergabung bersama kami di jalan. Tidak untuk menyerukan apa-apa hanya memantau keadaan dan mengapresiasi gerakan mahasiswa yang sudah lama tidak melakukan gerakan sebesar ini untuk menuntut sesuatu kepada pemerintahnya. Memperjuangan dirinya dan masyarakat untuk kehidupan berbagsa yang lebih adil dan berbahagia.
Jarang-jarang lo saya membicarakan hal-hal macam nasionalisme dan berkebangsaan, dan akhir-akhir ini saya baru menyadari bahwa ini tidak terhindarkan. Sebagai seorang yang berada di posisi keturunan Cina, berpolitik itu menakutkan, siapa tahu bisa menyebabkan genosida atau pembakaran kota. Ingat Ahok yang didemo sampai berjilid-jilid. Sebagai Katolik, entah kenapa hierarki itu selalu bersuara bahwa terlibat terbuka itu menakutkan. Semacam menyembunyikan masalah kalau ada konflik, mengampuni seperti Yesus juga mengampuni, padahal niatnya membela yang lemah, miskin, dan tersingkir. Kadang pembelaan itu juga harus disuarakan dan gereja sebagai institusi menurut saya, tidak bisa hanya mengharapkan keterlibatan dengan berkhotbah, tapi menakuti orang mudanya ketika mau bersuara, bahkan dengan ancaman nilai nol di sekolahnya. Malah marah-marah kan saya… Intinya saya tidak terbiasa dengan konsep terlibat politik secara terbuka seperti ini. Bahwa ternyata terlibat dalam berkebangsaan ini tidak bisa dilakukan hanya ketika kelompoknya dalam kondisi terancam, harus adil sejak dalam pikiran.
Rombongan dari UGM akhirnya datang dan akhirnya menjadi kumpulan masa yang masif, tiga ruas jalan dari selatan, barat, dan utara penuh mahasiswa. Banyak juga wartawan yang datang dan meliput gerakan mahasiswa ini, tapi entah kenapa mereka hadir di situ tapi kok bisa-bisanya berita yang ditampilkan tidak akurat, jaringan berita internasional padahal, memalukan.
Saya berkenalan dan berdesakan dengan banyak orang. Berpanas-panasan bersama dengan banyak mahasiswa dan berbagai kelompok masyarakat lainnya. Ada teman-teman saya dari dunia perbukuan yang sepakat tidak ngantor dan ikut demo, ada teman lain juga yang bergabung dengan rombongan seniman yang juga ikut bergabung. Kami bertemu dengan banyak teman yang biasanya jarang kami temui, tapi hari itu kami bertemu di situ. Tumplek.

Bagi saya, ini menjadi sebuah perayaan. Tertibnya pelaksanaan demo sampai akhir tanpa ricuh juga menjadi suatu hal yang pantas diapresiasi. Tidak ada tuntutan yang tidak pada tempatnya. Tidak ada orasi yang menyerukan turunkan Jokowi seperti yang diberitakan media masa internasional itu. Tidak disangkal bahwa ada yang membawa tulisan turunkan Jokowi atau atribut tauhid, tapi tidak menjadi suara dominan. Kemarin saya berada di kerumunan masa dan saya merasa baik-baik saja selain kebakar matahari karena engga pake jaket. Kecurigaan saya terhadap orang-orang yang katanya khilafah, fanatik, radikal, tunggang-tunggangan, siang itu hilang saat saya pada akhirnya bertemu dengan banyak orang dan membawa aspirasi yang sama. Benar juga kata salah seorang orator kemarin bahwa kita harus berterima kasih kepada pemerintah yang tidak becus sehingga bisa kami semua bisa berkumpul kemarin.
Sekarang saatnya move on, saatnya tidak lagi berdiri di sisi 01 atau di sisi 02. Bahwa pemikiran kalau tidak 01 adalah 02 juga pemikiran bodoh karena kebanyakan main internet. Saatnya berdiri bersama untuk berkata kepada para pembuat undang-undang itu untuk bekerja dengan benar. Saatnya untuk berkata, “Lawan!”

Komentar

  1. KHUSUS MALAM NATALAN Dapatkan CHIP GRATIS
    Ayo buruan daftar kan akun anda hanya di
    www. murnipoker .net

    www. aslimenang .com

    Segera hub :
    WA : +62823-8449-7778
    MICHAT : murnipoker
    LINE : murnipoker
    intragram : murnipoker
    twitter : @Murni_Poker
    facebook : murnip0ker

    Tunggu Apalagi?Maenkan Segera & MENANG KAN BERSAMA MURNI POKER!!
    Ajak Teman Anda Bergabung DI MURNI POKER!!
    SALAM MURNI POKER:)

    FREE CHIP (Syarat dan ketentuan berlaku)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Autoetnografi apaan sih?

Tes Rorschach: Antara Manual dan Kenyataan

The Geography of Faith