Setelah 29 Juli

Beberapa bulan ini hidup rasanya jungkir balik tanpa disangka. Bukan, bukan karena pandemi. Ya pandemi memang mengubah banyak hal, tetapi tidak hanya itu. Jungkir balik ini diawali dengan sebuah pesan impulsif yang kukirimkan pada seorang kawan pada 29 Juli lalu. Pesan yang kukirimkan untuk meminta pertolongan, memohon bantuan. Pertolongan yang baru kusadari sudah kucari sejak berbulan-bulan sebelumnya, bahkan mungkin beberapa tahun yang lalu. Rasanya tiba-tiba saja aku menjalani kehidupan yang berbeda sejak 29 Juli itu, kehidupan sebagai orang yang sedang sakit mental.

Hidup sebelum 29 Juli juga bukan hidup yang baik-baik saja sebenarnya. Dua atau tiga bulan sebelum itu rasanya aku sudah hidup menjadi semacam sayur-sayuran. Rutinitas yang hanya berkisar seputar kirim paket dan nonton YouTube dari pagi sampai dini hari lagi. Kepala yang biasanya sibuk berpikir dan membuat berbagai macam skenario tiba-tiba saja terasa jadi putih polos. Saat-saat itu aku sudah mulai curiga, untuk kepala yang biasanya sibuk dengan banyak percakapan, putih dan berasa bebal itu rasanya aneh sekali. Aku tidak yakin ini karena apa, kehidupan yang menghantam, pandemi, proposal yang tidak juga mencapai ujungnya, rasanya sudah menjadi keseharian sejak awal tahun. Malas, tidak yakin ingin melakukan apa untuk jangka panjang, hidup menjadi semacam rutinitas yang terlalu terprediksi dan tanpa usaha. Namun jika membutuhkan usaha lebih dari minimal, juga rasanya tidak mampu. Istilah yang aku pakai dan kuanggap cukup menggambarkan adalah kebas, apiku mati.

Lalu datanglah 29 Juli. Permintaan tolongku bersambut. Aku mendapatkan telepon dari seseorang yang bisa menolong, memberikan pemecahan masalah, dan mau mendengarkan aku. Aku sendiri menganggap permasalahan yang kuhadapi ini bukan permasalahan serius untuk bisa dibicarakan sampai level setinggi ini. Siapa sih yang tidak pernah patah hati. Patah hati itu keseharian, kenapa harus dipermasalahkan. Rasanya seperti itu, dan beberapa orang yang aku ajak bicara sebelumnya juga berbicara demikian.

Singkat cerita, pertolongan datang. Bukan rasa lega yang aku dapatkan pada awalnya. Rasa bersalah dan kebingungan menerpa bagaikan gelombang yang begitu besar dan bergulung-gulung. Menangis dan menangis terus sampai bingung kenapa aku bisa menangis di hari itu. Kadang rasanya aku bangun dengan baik-baik saja sampai tiba-tiba saja aku menangis saat mandi atau mencuci tanpa bisa aku identifikasikan rasanya. Marah tidak, sedih juga tidak terasa. Menangis sampai rasanya begitu lelah. Ya untunglah aku bekerja dengan energi minimal, berjualan dan membungkus paket masih bisa kulakukan walaupun aku masih menangis juga saat perjalanan menuju tempat ekspedisi.

Setelah menangis tanpa sebab, membicarakan apa yang terjadi membuatku menemui gelombang trauma yang kupikir sudah ya sudah lah ya. Semua ingatan akan kejadian mematikan yang pernah terjadi muncul lagi dan teramplifikasi dengan berbagai “jangan-jangan”. Namun akhirnya kabut putih di kepalaku terangkat. Mengalir bersama banyaknya air mata yang kukeluarkan selama berhari-hari. Rasanya kepalaku kembali cerah dan berbagai percakapan kembali riuh terdengar, ya tidak semuanya menyenangkan, tapi aku senang kembali bisa merasakan.

Masa-masa ini membuatku belajar untuk melambat. Memberi diriku sendiri ruang untuk beristirahat. Aku belajar untuk mengidentifikasi rasa dengan lebih baik. Jika hariku buruk dan memulai hari dengan menangis, ya aku biarkan saja begitu. Memulai hari dengan lebih perlahan, memberi waktu diri ini untuk menikmati menangis dan bergerak lebih siang. Aku belajar untuk mengungkapkan diriku apa adanya kepada orang-orang di sekitarku. “Sorry ya, habis ambyar. Sorry, tidak bisa menampung soalnya aku lagi kenthir. Agak telat, masih sedih.” Lebih mudah, dan terima kasih karena semua memberikan waktu tanpa banyak mempertanyakan. Bahkan beberapa kawan yang lama tidak bertemu tiba-tiba bisa langsung masuk di tengah pembicaraan tanpa lagi bertanya apa yang terjadi. Menyenangkan dan memudahkan hariku.

Ada hari-hari di mana rasanya tidak ada alasan untuk bangun dari tempat tidur dan mandi. Ya untunglah aku masih tidak betah lapar. Lapar membuatku bangun, mandi, menyalakan motor dan pergi entah ke mana. Menikmati makan yang enak dan akrab. Makan dan berbicara dengan beberapa kawan. Tertawa bersama mereka. Tidak ada rutinitas khusus yang aku bangun selama masa-masa ini, namun tetap bepergian dan berjualan membuatku masih bisa selalu bangun di pagi hari dan mandi. Tanpa semua kegiatan itu, mungkin aku akan ditemukan sudah berjamur di kamar.

Semua proses ini membuatku merasakan dipepet Gusti. Tuhan yang selalu terasa dekat. Di hari terburukku yang diisi dengan menangis tanpa juntrungan, aku bisa kebetulan bertemu teman dan curhat colongan sambil jalan-jalan. Ditelephone teman yang tidak pernah telephone, berkomunikasi dengan beberapa teman lama yang sudah lama tidak mengobrol. Tidak selalu tentang apa yang aku alami, namun berbicara sering kali melegakan hati. Pekerjaan yang datang begitu saja, bahkan setelah aku menjelaskan kondisi diri yang tidak stabil, juga menjadi berkat Tuhan yang aku syukuri. Aku tidak menyangkal bahwa sakit mental ini juga aku manfaatkan untuk melarikan diri dari beberapa kewajiban dan memberikan permakluman pada beberapa keputusan dan kemarahan yang terjadi padaku, tapi tipisnya energi yang aku punyai sekarang membuatku ya sudah lah ya. Bisa berfungsi saja sudah alhamdulilah. Berjalan saja dulu, karena apapun rasanya sekarang, ini adalah jawaban dari doa-doa saat aku menjadi sayur-sayuran beberapa waktu lalu.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Autoetnografi apaan sih?

Tes Rorschach: Antara Manual dan Kenyataan

The Geography of Faith