Duapuluh dua buku yang lalu

 "Ternyata aku sudah rewel bodo sama kamu sejak 22 buku yang lalu." Ketikku sambil tersenyum. Send! 

Kukirimkan teks itu ke Adi, kekasihku sejak sembilan tahun yang lalu. 

Sore tadi aku sedang sumpek di kamar yang sudah kutinggali sejak 30 tahun yang lalu. Rumah masa kecilku. Ya paling tidak aku mengusahakan untuk pulang satu bulan sekali untuk mengunjungi Mama dan Papa. Rasanya pulang menjadi berbeda ketika kita sudah semakin dewasa. Mungkin hanya untukku, tentu saja tidak bisa disamaratakan untuk semua orang. Untukku pulang tidak lagi karena aku rindu rumah, mencari tambahan uang saku atau perbaikan gizi. Di satu titik, kebutuhan giziku sudah bisa kuasup dengan berlebihan di tempat rantau ini. 

Tapi pulang juga tidak menjadi kewajiban yang harus aku tunaikan. Memastikan kedua orang tua itu senang, sehat, dan hidup dengan baik. Membuat lebih mudah hari-hari mereka selama beberapa hari, atau malah membuat repot mereka dengan permintaan masakan yang sama sejak bertahun-tahun yang lalu. Kupikir itu saja. 

"Jadi beberes bukunya?"

Balasan datang. Seperti biasa, Adi selalu punya cara membalas tanpa menyentuh isi dari percakapannya. Kebiasaan yang sudah ada sejak lama, tapi entah kenapa sekarang tidak lagi membuatku terganggu. Aku bisa merasakan keakraban yang lucu dari obrolan kami. Ya begitulah dia. 

"Heeh, beberapa aku pindah dari kotak dan aku masukkan ke rak."

Dua puluh dua buku yang lalu. Sekarang jumlah buku jurnalku sudah mencapai angka 40. Angka yang spektakuler bahkan untukku sendiri. Perjalanan selama duapuluh lima tahun menulis jurnal harian. 

Buku pertama adalah hadiah ulang tahun dari teman masa kecilku. Buku kecil berukuran A6 kurang lebih. Dengan cover kaku berwarna cokelat empuk dan isi berwarna-warni. Buku yang dulu sempat wangi. Teman yang sama masih berjalan bersamaku sampai hari ini. Rombongan kami membesar jika bermain, bertambah dengan suami dan dua anaknya yang sudah menjadi keluargaku juga,

Tiga puluh sembilan buku itu sudah tidak lagi muat masuk dalam kotak. Aku harus membongkarnya dan memindahkannya beberapa ke rak buku yang berjajar di kamarku. Rak yang memang disediakan untuk menampung koleksi bukuku sejak zaman dahulu. Hobi membaca yang saat ini semakin susah payah aku tekuni, bersaing dengan internet dan kebutuhan hidup yang membuat waktu terasa memadat dan semakin mengimpit. 

Jurnal, diary, buku harian, untukku sudah tidak lagi menjadi masalah privasi. Beberapa kisah hidupku malah sudah menjadi buku, terbitan di jurnal ilmiah, atau kusebarkan saja dengan gratis di blog seperti ini. Tidak ada rahasia membuat hidupku menjadi semakin mudah untuk dijalani. Tidak ada orang yang bisa memerasku dengan mengungkapkan rahasia tergelapku. Kehidupanku terang benderang. Ya tentu saja ada yang tahu sebagian, ada yang tahu semua, tapi pada dasarnya alasanku hanya karena kamu tidak perlu tahu, atau aku malas menjelaskan saja karena kadang aku tidak suka dengan responnya. 

Dari sebab itu, buku-buku itu kubiarkan saja di tempat terbuka di rumah. Jika ada orang rumah yang iseng mau membacanya ya silakan saja. Tapi mungkin aku juga tidak ingin membahas kebodohan, galau, ketidakkonsistenan, atau kehidupanku yang tidak tentu ini juga. Silakan baca, tapi biasa aja. Mungkin itu harapanku, tapi tidak aku bicarakan juga sih, biarkan saja mereka menghargai privasiku. 

Tentu saja aku juga sudah pernah mengalami terkhianati ketika buku-buku itu dibuka dan dibaca tanpa izinku. Lama sebelum buku satuku dimulai. Ketika aku jatuh cinta dengan teman sekelas, dan kisah itu tiba-tiba dibeberkan di depan mukaku dengan nada mengejek. Anak SD mana yang tidak shock ketika kisah cinta yang dia pikir sudah dirahasiakan dalam-dalam, tiba-tiba saja diketahui seluruh keluarga. Betapa memalukannya kejadian malu-malu duduk sebelahan dengan lelaki ceking yang aku taksir itu menjadi konsumsi keluarga. Sedih dan terkhianati tentu saja. Entah aku sobek, aku buang, atau aku bakar tulisan yang mempermalukanku itu. Padahal buku itu sudah aku simpan baik-baik di bawah bantal. Aku lupa anak kecil Asia itu adalah properti, jadi kami tidak punya privasi. 

Aku mogok menulis. Dua tahun jika tidak salah hitung. Sampai aku jatuh cinta lagi dengan lelaki yang lain, lelaki dewasa, anak SMA. Ketakutanku akan rahasia yang akan terbuka kalah dengan desakan di dalam kepalaku untuk bercerita. Maka dimulailah perjalananku menulis lembar demi lembar sampai akhirnya sampai di angka 40 buku. Kupikir, kalau aku menulis dengan ketekunan seperti ini, dengan tulisan seperti Dewi Lestari, maka aku sudah jadi bisa pensiun dini dan hidup dari royalti. Sayangnya, tulisan-tulisan itu lebih menjadi litani yang hanya aku sendiri pahami. Menyebutkan nama berbagai lelaki yang aku sukai sejak masa remajaku. 

Tentu saja awalnya aku tidak menulis sekonsisten itu. Ada hari-hari kehidupan berjalan menyenangkan, maka aku lupa menulis. Buku pertamaku baru penuh setelah dua tahun. Ada bulan-bulan yang kosong aku tidak menulis, bahkan ketika aku jalan dengan  pacar pertamaku kala itu, jika bisa disebut begitu. Ada masa kosong lama aku tidak menulis. Mungkin aku sebenarnya hanya membutuhkan teman berbicara dan teman berbagi yang selalu ada saja, ketika orang itu ada, jurnal ini tidak lagi aku perlukan. 

Namun pada banyak masa, menulis ini berkali-kali menyelamatkan kewarasanku, jika tidak nyawaku. Entah sejak kapan, buku-buku ini menjadi buku doaku. Aku berbicara pada sosok yang sama selama bertahun-tahun ini, Gusti, Bapa, Yesus, Lord, Tuhan. Sosok yang sama dengan berbagai sebutan. Aku bercerita kegiatanku hari itu, atau kebutuhan baju untuk pesta sweet seventeen di masa SMA ku. Aku bercerita tentang kenakalan dan dosa-dosa yang aku lakukan, cerita yang bahkan tidak aku ungkapkan ke banyak orang. Kegelisahanku, impianku, bahkan semakin aku bertambah usia, aku juga bercerita tentang kerangka penulisanku. Apa saja yang ada di pikiranku hari itu. 

Menulis membuat kepalaku lebih tertata, membuat semua yang ruwet di kepala ini menjadi lebih terurai dan tidak lagi membebani memori. Apa yang sudah aku tuangkan biasanya akan terlepas keluar, dan lebih mudah untuk aku lupakan. Mungkin ini seperti pensive di Harry Potter, hanya lebih manual dan tidak visual. 

Aku juga bisa menyelami kembali apa yang terjadi bertahun-tahun lalu dengan membukanya kembali dan membaca tulisan-tulisan itu jika tidak bingung dan jijik sih dengan masa-masa muda yang alay. Tulisan-tulisan yang kubaca kembali ini ternyata membantuku ketika menulis penelitian di S2, aku menemukan kalau aku sudah ingin berbicara tentang kecinaanku di SMP. Bahkan aku sudah mendapatkan pemahaman bahwa di masa SMP itu dugaanku kalau aku tidak punya teman karena aku Cina hanya terjadi di awal masa sekolah. Ternyata aku punya teman. Ada juga keputusan dan pilihan hidup yang tidak kusangka sudah kuambil di umur belasan itu. Aku sendiri lupa. 

Membaca tulisan-tulisan itu lagi, seringkali membuatku bersyukur. Karena Tuhan, sosok yang aku ajak bicara terus menerus ini, ternyata membaca tulisanku, dan entah bagaimana, apa yang aku tuliskan di buku akhirnya bisa aku miliki. Sesederhana baju baru, sampai impian seumur hidupku menjadi penulis. Panjang ataupun pendek, seringkali aku bisa sampai. Semua sudah aku lakukan sebelum aku membaca apa itu afirmasi dan hukum tarik menarik. 

Menulis kepada Tuhan dengan semua perubahan kehidupanku, dan semua turbulensi dalam relasi kami, membuatku tidak lagi bisa menegasi keberadaan Tuhan. Aku bisa marah-marah dan mengumpat-umpat pada-Nya, tapi dia tidak pernah menjadi tidak ada. Dari sosok lelaki gondrong berjubah putih, atau lelaki dengan jas rapi, atau sekarang bentuknya menjadi lebih kabur, menjadi lebih melebur dengan semesta di sekitarku. Dia beradaptasi dengan segala konsep yang aku percaya dan aku adopsi. Menulis menjadi meditasi dan ritual yang menjaga diriku tetap waras, membantuku melihat kembali diriku dan keputusan-keputusan yang pernah aku ambil.

Buku ke-18 ini memang sedang aku cari selama beberapa waktu ini. Buku dari masa di mana semuanya berawal bersama Adi. Kepulangan sebelumnya aku menyasar buku yang salah, tanggal yang salah. Kepulangan kali ini, aku tidak berniat mencari, tapi buku itu terbuka sendiri di depan mukaku, di bagian yang aku inginkan. Aku hanya ingin membereskan buku-buku itu yang sudah berserakan, menatanya sesuai dengan ukuran, memindahkannya agar tidak lagi ditumpuki debu. Dan aku menemukan apa yang aku cari. 

Buku yang mengejutkan karena ternyata aku pernah bermeditasi dan mencatat setiap meditasi selama 75 hari tanpa putus. Ketekunan yang aku sendiri tidak kusangka aku miliki. Aku lupa sama sekali apa yang terjadi di tahun itu, selain bertemu dengan lelaki yang juga tidak kusangka akan berjalan sepanjang ini di kehidupanku. Aku menemukan puisi yang saat kubaca sekarang, aku sendiri heran kenapa aku bisa menulis seperti itu. 

Rasanya begitu dekat tapi di saat yang sama juga terasa begitu jauh. Ketakutanku, harapan-harapanku, di masa itu, ternyata saat ini sudah kutemukan jawabannya satu demi satu. Beberapa yang dulu kupandang sebagai masalah besar, sekarang tidak lagi terasa demikian. Aku setuju dengan Pandji Pragiwaksono, kita hanya perlu bertahan, solusinya akan datang dengan sendirinya seiring waktu. Di saat yang lain, rentang sembilan tahun ini juga terasa begitu dekat, aku masih merasakan kegembiraan yang sama membagi banyak obrolan dengan orang satu ini. 

"Pada akhirnya, aku memilih orang yang paling rumit personalitinya, yang paling rumit kondisinya, yang paling tidak jelas rasanya." Tulisku kala itu. 

Perbedaan yang merentang begitu besar, yang membuatku merasa ya mau dibawa ke mana kalau hubungan ini ada. Prinsip jalani dulu saja mungkin akan hilang temboknya. Relasi yang kupikir akan hilang dalam waktu tiga bulan karena jarak ribuan kilometer yang membentang. Ternyata aku bangun hari ini, dan ini masih ada di sini. Masalah yang masih sama, rasa yang masih sama, kebingungan yang masih sama saja. 

Namun membaca buku ini juga membuatku banyak menyadari semua perubahan dan pendewasaan yang terjadi. Padaku dan juga pada Adi. Mungkin aku tidak melewati ritme yang sama dalam relasi seperti temanku lainnya, namun aku belajar sama banyaknya. Bersabar, mengalah, beradaptasi, berkelahi, membicarakan masalah, memahami batasan satu sama lain, melewati berbagai krisis, dan menjadi dewasa bersama-sama. Pada akhirnya aku yang masih merasa dimanjakan dengan hubungan ini. Masih boleh merasakan mencintainya dengan ugal-ugalan. Aku bebas menggenggam rasaku. 

"Besok aku main ke rumah. Maaf kalau sampai harus menghabiskan 22 buku untukku bisa berani melangkah." balasnya. 




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Autoetnografi apaan sih?

Tes Rorschach: Antara Manual dan Kenyataan

Menuju Shopia Latjuba 2024