Narasi dan Identitas

Sudah beberapa bulan ini saya kepikiran dengan bagaimana narasi terkait dengan identitas yang kita miliki. Hal ini terasa sekali ketika saya mengerjakan tulisan dan banyak membaca mengenai pembantaian orang keturunan Cina yang terjadi di tahun 1947 di Indonesia. Cerita-cerita itu rasanya memengaruhi saya secara pribadi. Apa yang terjadi pada orang-orang itu, bisa juga terjadi pada saya sebagai pemilik identitas yang sama, orang keturunan Cina. Apalagi sejarah di Indonesia selama ini melegitimasi bahwa hal itu berulang kali terjadi.

Kegelisahan yang mirip terjadi lagi ketika membaca buku dari Ester Lianawati, Dari Rahim ini Aku Bicara. Dalam buku tersebut dijelaskan bagaimana wacana-wacana yang membentuk perempuan bisa terjadi sedemikian rupa sampai saat ini dan bagaimana seluruh perempuan menjadi korban dari wacana dominasi tersebut. Rasanya menyebalkan dan frustasi sekali kita membaca dan mengetahui adanya ketimpangan yang jelas terlihat, tapi terasa tidak ada tindakan yang bisa dilakukan untuk mengubah itu. Tapi di sisi lain muncul juga pemahaman kenapa para rekan lelaki intelektual di sekitar saya, sukar sekali melihat perempuan sebagai sesama subjek. Ternyata ide bahwa perempuan adalah individu yang setara, dengan kapabilitas dan kapasitas intelektual yang sama dengan lelaki adalah cerita yang sangat baru dibandingkan dengan dominasi wacana maskulinitas yang sudah terbentuk sejak ribuan tahun lalu dan dilegitimasi oleh berbagai macam kekuasaan seperti agama, para filsuf, atau ilmu-ilmu kedokteran.

Dari pengalaman itu saya merasakan betapa narasi dan identitas saling berkaitan. Saya juga baru menyadari kenapa orang-orang kulit hitam di Amerika, misalnya, sangat bersemangat dengan representasi di film-film mereka. Ternyata representasi, cerita bahwa orang dengn suatu identitas tertentu bisa mencapai sesuatu yang berarti itu penting untuk diceritakan, dan bisa jadi itu juga memberi harapan.

Dalam keluarga, hanya saya sendiri yang mengambil jalan akademis. Nenek saya buta huruf, ibu saya lulusan SMP. Tidak ada cerita lain dalam keluarga yang memberi tahu saya, jalan mana yang bisa saya tempuh untuk bisa bertahan dan hidup di dunia yang saya cintai ini. Namun beruntungnya ada banyak perempuan yang menjadi gambaran bahwa ternyata bisa  mencapai level yang bagi saya menakjubkan. Karlina Supelli salah satunya. Ada masa-masa di mana saya memburu video-videonya di YouTube. Rasanya menyenangkan dan kagum untuk mendengarnya berbicara sesuatu yang rumit tidak hanya dengan bahasa yang terasa mudah, tapi juga indah. Dan ternyata bisa seorang perempuan berjalan sampai di titik itu.

Lupa siapa yang bilang, kesadaran atau kenyataan kita itu memang tersusun dari bahasa atau dari narasi yang ada di kepala kita. Bagi saya, narasi yang mendefinisikan siapa kita atau identitas yang kita ambil dan narasi juga yang membuat kita memilih bagaiman kita sebagai individu memilih untuk menjalani identitas itu. Hal ini terasa sekali jika dikaitkan dengan keperempuanan.

Cerita atau standar tentang bagaimana perempuan harus berpenampilan dan bersikap, terasa sekali ada di sekitar kita. Seperti apa cantik itu seharusnya, atau sikap-sikap macam apa yang harus dilakukan agar kita mendapat cap sebagai perempuan yang sesungguhnya. Bahkan belum lama ini saya melihat konten artis prempuan yang merasa tidak percaya diri dengan rambut pendeknya karena terus menerus diejek oleh kakaknya. Bukan karena dia tidak cantik atau tidak pantas dengan rambut pendeknya, tapi kakaknya mengatakan dia jadi memiliki adik lelaki, standar tentang bagaimana seharusnya perempuan harus berpenampilan, jika seorang perempuan keluar dari standar tersebut, maka akan ada hukuman yang harus dihadapi. Diejek, atau tidak dipilih oleh lelaki. Suatu narasi juga yang banyak orang percayai bahwa perempuan yang seharusnya dipilih oleh lelaki untuk dimiliki.

Tidak berarti lelaki tidak mendapatkan beban narasi yang sama. Di saat ini, saya juga berpikir kalau lelaki pun perlu memperjuangkan kesetaraannya, tentang bagaimana menjadi maskulin yang seringkali sama tidak realistisnya dengan tuntutan yang juga diberikan kepada perempuan. Dan tentu saja, identitas itu selalu bersaling silang, bisa jadi lelaki dengan priviledge kekayaan tidak memerlukan kesetaraan yang sama dengan lelaki yang tidak memilikinya.

Ada narasi yang mudah diubah, seperti bagaimana kita memandang suatu masalah. Sering kali menjadi menjadi tua, juga memberi kita narasi baru dalam memandang sesuatu. Entah karena lebih paham masalahnya, bisa melihat dengan lebih luas, atau sekadar kita sekarang semakin lelah saja untuk berdebat.

Ada narasi yang sudah tertanam kuat di dalam kepala yang membuat suatu narasi besar dalam hidup yang hampir tidak mungkin untuk diubah. Seperti percaya atau tidak percaya akan Tuhan, bukan membicarakan apakah Tuhan beneran ada, tapi bagaimana kita sebagai manusia menjalani hidup. Sebagai yang percaya akan Tuhan, biasanya orang percaya suatu kejadian adalah rencana Tuhan dan ada maksud Tuhan di baliknya, Sebagai yang tidak percaya Tuhan, mungkin melihatnya hanya sebagai tindakan dan konsekuensi yang memang terjadi dalam kehidupan.

Dengan perkembangan teknologi saat ini, yang pasti kita jadi memiliki banyak alternatif narasi yang ternyata ada dan dipercayai orang di belahan dunia yang lain. Dan mereka bisa hidup dengan narasi itu. Sebagai perempuan, kita sekarang bisa mendengarkan narasi bahwa perempuan bisa setara, bisa mandiri, atau bisa juga sedemikian tertindasnya. Kita bisa dianggap cantik karena gemuk, karena kurus, berkulit putih atau bekulit eksotis. Kita bisa memilih berbagai jenis pakaian yang ingin kita pakai dan pilihan itu ada. Atau kita ingin menjadi perempuan yang seperti apa, mau menggunakan dark feminine energi atau light feminine energi. Kita bisa menggunakan banyak narasi untuk bertahan dari struktur yang menindas kehidupan sebagai perempuan, sebagai orang-orang yang berada dalam posisi ketertindasan. Mungkin kalau yang dibicarakan Victor Frankl, bagaimana kita bisa menemukan makna dari apa yang ada dalam hidup kita.

Pada akhirnya yang saya sadari, semua cerita yang ada tentang identitas kita tidak melulu harus kita terima dan ikuti begitu saja. Kita boleh memilih versi narasi kita masing-masing. Dan kemampuan untuk memilih narasi itu yang menurut saya bisa menambah resiliensi dalam menjalani hidup. Seperti saya pada akhirnya menemukan narasi yang menbuat saya bisa memahami kenapa sebagai orang keturunan Cina saya mengalami diskriminasi, ternyata ada sejarah panjang di baliknya, dan semua orang bergerak dalam narasi tersebut. Atau patah hati lebih bisa tertanggungkan ketika kita tahu ada kalau mantan pasangan kita berengsek misalnya. Atau seperti bagaimana orang Jawa memandang kehidupan, selalu ada untungnya dibalik kemalangan yang terjadi.

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tes Rorschach: Antara Manual dan Kenyataan

Autoetnografi apaan sih?

Membaca Sejarah Cina di Indonesia