Untukmu

Adalah suatu kebodohan yang kutemukan ketika kutuliskan ini. Maka dalam sudut tersembunyi ini kutuliskan. Ingin kau temukan tapi tidak juga rasanya.
Bukannya tanpa disangka bahwa rasa ini pada akhirnya ada. Aku sudah melihatmu sejak malam pertama di ruangan itu. Tapi itulah kamu, selalu antara ada dan tiada. Berada dekat yang terasa tidak bisa dijangkau.
Tidak ada salah melangkah di sini, hanya otakku yang membacamu sebagai orang yang terlalu sempurna. Mungkin otakku inilah yang buta huruf dalam membaca, mungkin logikaku ini tidak berjalan dengan benar pada jalurnya. Karena rasanya hanya aku yang melihatmu sempurna. Yang menikmati setiap kebodohan dan sarkasmemu. Mungkin hanya aku yang menterjemahkan bahwa hal kecil seperti membuka dan menutup jendela mobil waktu itu adalah ungkapan perhatian yang kamu berikan pada orang di sampingmu yang kedinginan kemudian kepanasan.
Mendapatimu sebagai orang yang selalu ada, tahu bahwa di ujung sana kamu akan menyempatkan diri membalas semua sms yang kukirimkan. Sebodoh apapun itu. Tahu bahwa kamu merelakan waktu tidurmu yang sudah sedikit itu untuk menjamin teman-temanmu tidak gantung diri di pagi hari. Tahu bahwa menempuh setengah Jogja hanya untuk segelas milo akan kamu lakukan karena ada yang membutuhkanmu. Dan banyak hal yang terjadi yang hanya bisa membuat aku menyimpulkan bahwa kamu itu orang baik, sehat dan normal, dan karena kamu bukan orang yang tidak enakan, maka kusimpulkan bahwa kamu menikmati semuanya itu.
Dan setelah semuanya, nalarku dan semua orang-orang lain yang ada di otakku, tergeserlah sudah. Sosokmu yang makin tidak pernah bergeser dan mengusai semua bagian otakku, namamu yang entah kenapa rasanya menggema di telingaku, beserta semua suara tawamu, dan semua ucapanmu dari yang bodoh sampai yang membodohiku. Jadi bagaimana bisa manual otak itu akan berfungsi mendisiplinkan otakku?
Makin mengenalmu dan makin terkesanlah aku dengan semua yang kamu miliki di dalam kepalamu itu. Dan salahkah jika aku berasa menyurut dan merasa terbenam dalam ketakutan, karena otakku hanya tahu betapa hebatnya kamu, dan betapa tidak hebatnya aku.
Maka harus bagaimanakah aku sekarang, karena rasanya tidak ada yang bisa aku tawarkan. Jika hubungan itu fungsional, maka fungsi apa yang bisa aku lakukan? Dan sudah tidak mungkin untuk berpura-pura menjadi sesuatu yang bukan diriku. Kamu sudah melihat aku dari ketakutan, meledak marah, bersimbah air mata, tidak mandi 3 hari, bangun tidur dan belum mandi. Dari yang kumal, kucel sampai yang busuk banget. Oh God... Kalau saja rasa ini tidak ada, maka apa peduliku akan semua yang sudah terjadi ini.
Aku sudah bahagia dengan apa yang ada, aku sudah bisa menikmati semua tawa yang bisa kita tertawakan bersama. Tapi rasa ini membuat aku ingin menjamin tawa ini berlangsung selamanya. Rasa yang membuatku ingin kamu ada untuk menegakkan logikaku, mengembalikan akal warasku. Dan rasa yang membuatku mengharapkan bahwa kamu juga ada mengisi tiap penggal waktuku.
Rasa yang aku takut kamu ketahui walau karena seperti biasa aku tidak meragukan kecerdasamu, maka kamu pasti tahu. Rasa yang kita simpulkan bernama cinta.
Masih kupertanyakan kenapa kamu? Bukan kenapa-kenapa, hanya saja, setelah semua yang terjadi, semua kebodohan yang kita lakukan, maka terasa bodohlah apa yang kurasakan. Tidak berarti kamu bukan orang yang tepat, tapi bodoh aja gitu rasanya.
Jadi Coklat, sudahkah kamu melangkah terlalu jauh? Jika belum, melangkahlah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Autoetnografi apaan sih?

Tes Rorschach: Antara Manual dan Kenyataan

The Geography of Faith