Secangkir Kopi

Kopi hitam ini, pasti kamu suka. Tapi,
tidak ada kemasan kecil yang bisa kubeli. 100 gram paling sedikit, akan terlalu
banyak nantinya yang tersisa untuk kusimpan. Aku sendiri bukan penikmat kopi,
kopi selalu memberikan efek yang tidak menyenangkan untuk tubuhku, lambungku
jadi perih dan jantungku jadi berdebar tidak karuan setiap aku minum segelas
kecil kopi. Aku kapok.
Hmmm… Bagaimana dengan kopi dengan jahe
dan gula jawa itu. Mungkin cocok ya dengan seleramu yang Njawani itu. Aku masih mengingat dengan jelas antusiasmemu ketika
kamu bercerita sambil menunjukkan foto-foto di kamera digitalmu. Cerita
mengenai wayang kulit yang kamu tonton semalam suntuk, cerita tentang betapa
lucunya dalang Ki Seno something −aku
lupa− dalam Goro-goro. Cerita yang agak tidak aku mengerti sebenarnya, karena
aku belum pernah melihat wayang kulit sekalipun. Aku tidak mengerti bahasanya,
walaupun aku lahir dan seumur hidup tinggal di Yogyakarta. Yah… nanti akan
kucari di You tube dan mungkin Google translate bisa membantu, agar
suatu saat aku bisa menikmatinya bersamamu.
Pandanganku teralih dari kopi jahe itu dan
tertarik dengan kemasan kopi beraroma strawberry yang berwrna pink itu. Menarik. Di tengah deretan
warna hitam dan coklat, warna pink itu
tampak sangat menonjol. Tapi tampaknya kamu tidak akan suka dengan kopi yang
satu ini. Rasanya tidak sesuai dengan karaktermu yang tenang dan senang berada
di latar belakang. Penampilanmu yang biasa saja dengan warna kemeja yang
cenderung gelap, aku tahu kalau kamu adalah seorang yang menikmati ketenangan
dan kesendirian.
Jadi, kopi mana yang bisa kubuatkan
untukmu? Ataukah kopi yang beraroma mint dan memberikan sensasi dingin bagi
para peminumnya? Ya mungkin itu lebih cocok untukmu. Sebagai mahasiswa S2 dan
juga bekerja, pastinya otakmu stress dan kelelahan, mungkin dinginnya kopi ini
bisa meredakan panasnya otakmu. Ahh… tapi tidak, rasanya kurang berkarakter.
Atau ini saja, kopi 3 in 1 yang sangat
terkenal dan diminum di mana-mana. Tapi kalau ini yang kusuguhkan untukmu, maka
apa bedanya aku dengan Aa’ burjo di sebelah kosku itu. Terlalu umum, di warung
mana saja bisa kita minum kopi ini. Aku ingin meninggalkan kesan yang mendalam
untukmu, jadi kulewati kopi yang satu ini.
Kata temanku, kopi apapun akan enak kalau
dibuat dengan penuh cinta. Atau begitu saja ya? Pilih kopi apa saja, dan kalau
soal cintanya si, aku sudah tidak ragu kalau aku mencintaimu. Tapi, apa ya kopi
luak ini terbuat dari biji kopi yang dimakan oleh luak yang juga sedang jatuh
cinta? Ataukah dipetik oleh buruh kopi yang juga jatuh cinta? Mungkin mereka
malah sama sekali tidak memikirkan cinta, para buruh itu lebih memikirkan
bagaimana menyekolahkan anaknya dari upah memetik kopi yang tidak seberapa itu.
Dan mana ada mesin pabrik kopi yang punya cinta? Jadi kopi enak karena cinta
itu aku singkirkan dulu dari pikiranku. Kita pilih yang enak karena merk dan
kualitas saja.
Aha! Aku tahu kopi mana yang akan kubeli
untukmu.
Akhirnya aku memilih kopi tubruk 2 in 1
dengan pengawet dan dengan tanggal kadaluarsa paling lama yang bisa kutemukan.
Karena aku tidak tahu kapan kamu akan datang berkunjung, selama kopi ini belum
kadaluarsa aku masih akan menunggu kedatanganmu.
Sebenarnya… aku juga tidak tahu apakah
kamu masih menyimpan kartu nama yang kuberikan waktu itu, bahkan aku juga
sebenarnya tidak yakin apakah kamu mengingat aku, wanita yang duduk di
sampingmu dalam perjalanan ke Semarang, Minggu sore itu.
Yah… biarlah, tawaran mampir dan minum
kopi itu masih tetap berlaku untukmu. Dan untuk keseribu kalinya, aku mengulang
kembali setiap detail dalam tiga jam pertemuan kita, karena aku masih menolak
untuk lupa.
Komentar
Posting Komentar