Secangkir Kopi

 Sudah lebih dari lima belas menit aku hanya berdiam dan memandangi deretan kopi di mini market 24 jam di dekat kosku. Aku masih menimbang, mana yang akan kubeli, kopi yang akan kusuguhkan untukmu ketika nanti kamu akan datang berkunjung. Aku belum cukup tahu seleramu, aku hanya tahu bahwa kamu menikmati empat gelas kopi setiap harinya, dan kamu tidak akan berfungsi tanpa secangkir kopi hitam di pagi hari.
Kopi hitam ini, pasti kamu suka. Tapi, tidak ada kemasan kecil yang bisa kubeli. 100 gram paling sedikit, akan terlalu banyak nantinya yang tersisa untuk kusimpan. Aku sendiri bukan penikmat kopi, kopi selalu memberikan efek yang tidak menyenangkan untuk tubuhku, lambungku jadi perih dan jantungku jadi berdebar tidak karuan setiap aku minum segelas kecil kopi. Aku kapok.
Hmmm… Bagaimana dengan kopi dengan jahe dan gula jawa itu. Mungkin cocok ya dengan seleramu yang Njawani itu. Aku masih mengingat dengan jelas antusiasmemu ketika kamu bercerita sambil menunjukkan foto-foto di kamera digitalmu. Cerita mengenai wayang kulit yang kamu tonton semalam suntuk, cerita tentang betapa lucunya dalang Ki Seno something −aku lupa− dalam Goro-goro. Cerita yang agak tidak aku mengerti sebenarnya, karena aku belum pernah melihat wayang kulit sekalipun. Aku tidak mengerti bahasanya, walaupun aku lahir dan seumur hidup tinggal di Yogyakarta. Yah… nanti akan kucari di You tube dan mungkin Google translate bisa membantu, agar suatu saat aku bisa menikmatinya bersamamu.
Pandanganku teralih dari kopi jahe itu dan tertarik dengan kemasan kopi beraroma strawberry yang berwrna pink itu. Menarik. Di tengah deretan warna hitam dan coklat, warna pink itu tampak sangat menonjol. Tapi tampaknya kamu tidak akan suka dengan kopi yang satu ini. Rasanya tidak sesuai dengan karaktermu yang tenang dan senang berada di latar belakang. Penampilanmu yang biasa saja dengan warna kemeja yang cenderung gelap, aku tahu kalau kamu adalah seorang yang menikmati ketenangan dan kesendirian.
Jadi, kopi mana yang bisa kubuatkan untukmu? Ataukah kopi yang beraroma mint dan memberikan sensasi dingin bagi para peminumnya? Ya mungkin itu lebih cocok untukmu. Sebagai mahasiswa S2 dan juga bekerja, pastinya otakmu stress dan kelelahan, mungkin dinginnya kopi ini bisa meredakan panasnya otakmu. Ahh… tapi tidak, rasanya kurang berkarakter.
Atau ini saja, kopi 3 in 1 yang sangat terkenal dan diminum di mana-mana. Tapi kalau ini yang kusuguhkan untukmu, maka apa bedanya aku dengan Aa’ burjo di sebelah kosku itu. Terlalu umum, di warung mana saja bisa kita minum kopi ini. Aku ingin meninggalkan kesan yang mendalam untukmu, jadi kulewati kopi yang satu ini.
Kata temanku, kopi apapun akan enak kalau dibuat dengan penuh cinta. Atau begitu saja ya? Pilih kopi apa saja, dan kalau soal cintanya si, aku sudah tidak ragu kalau aku mencintaimu. Tapi, apa ya kopi luak ini terbuat dari biji kopi yang dimakan oleh luak yang juga sedang jatuh cinta? Ataukah dipetik oleh buruh kopi yang juga jatuh cinta? Mungkin mereka malah sama sekali tidak memikirkan cinta, para buruh itu lebih memikirkan bagaimana menyekolahkan anaknya dari upah memetik kopi yang tidak seberapa itu. Dan mana ada mesin pabrik kopi yang punya cinta? Jadi kopi enak karena cinta itu aku singkirkan dulu dari pikiranku. Kita pilih yang enak karena merk dan kualitas saja.
Aha! Aku tahu kopi mana yang akan kubeli untukmu.
Akhirnya aku memilih kopi tubruk 2 in 1 dengan pengawet dan dengan tanggal kadaluarsa paling lama yang bisa kutemukan. Karena aku tidak tahu kapan kamu akan datang berkunjung, selama kopi ini belum kadaluarsa aku masih akan menunggu kedatanganmu.
Sebenarnya… aku juga tidak tahu apakah kamu masih menyimpan kartu nama yang kuberikan waktu itu, bahkan aku juga sebenarnya tidak yakin apakah kamu mengingat aku, wanita yang duduk di sampingmu dalam perjalanan ke Semarang, Minggu sore itu.
Yah… biarlah, tawaran mampir dan minum kopi itu masih tetap berlaku untukmu. Dan untuk keseribu kalinya, aku mengulang kembali setiap detail dalam tiga jam pertemuan kita, karena aku masih menolak untuk lupa.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Autoetnografi apaan sih?

Tes Rorschach: Antara Manual dan Kenyataan

The Geography of Faith