Anak Pingit Goes to The Zoo

Akhirnya!!! Setelah digadang-gadang sekian lama oleh para volunteer, ada juga yang berani membawa anak-anak ke Kebun binatang Gembiraloka.
Jalan-jalan ini diprakarsai oleh devisi anak, sub bidang pengembangan soft skill, atau yang kita kenal dengan sekolah alam. Atau yang lebih terkenal lagi dengan sebutan JSN, dengan gembira menyatakan bahwa jalan-jalan ke kebun binatang yang dilaksanakan pada Minggu, 10 Juni 2012 kemaren berlangsung dengan sukses.
Jalan-jalan ini adalah salah satu dari program sekolah alam yang sudah berlangsung selama beberapa bulan ini, jadi pesertanya adalah anak-anak yang rajin ikut sekolah alam setiap sabtu sore. Awalnya ada 35 peserta dan banyak anak para ibu yang juga ingin ikut jalan-jalan. Tetapi, karena prioritasnya adalah para siswa sekolah alam maka dengan berat hati pihak penyelenggara tidak dapat mengakomodasi keinginan tersebut. Pada hari H yang berangkat menjadi 24 anak- Afif nyusul di tengah jalan jadi pulangnya ber-25.
Sebagai seorang yang pada awalnya hanyalah pemerhati, ikut ribut tapi nggak mau repot. Saya sempat pesismis dengan rencana ini. Yah, bagaimana tidak pesimis, rencana yang diadakan pada awal Juni ini terjadi saat sepi volunteer dan banyak ujian. Tahu sendiri lah bagaimana kondisinya para Frater itu kalau sedang ujian. Jadi sangat khawatirlah saya, mengingat bagaimana kelakuan anak-anak jika sedang belajar, mereka sangat penuh energi.
Beberapa hari menjelang hari H, akhirnya saya memutuskan untuk ikut kepo. Salah satu alasannya adalah karena saya prihatin sama teman saya Icot yang sudah berhari-hari masuk angin, pucet, pilek dan masih saja kepo ke sana kemari. Saya kemudian mengkoordinasi voluteer yang tidak seberapa itu.
Berbagai macam usaha dilakukan untuk mengumpulkan sebanyak mungkin volunteer dengan harapan meminimalisir hal-hal yang tidak diinginkan. Banyak sms yang dilayangkan, tuit, pesan dan ancaman, sampai memohon-mohon keterlibatan para mbak-mbak dan mas-mas sekalian untuk mau ikutan jalan-jalan dan piknik-piknik.
Tidak disangkal bahwa bantuan juga datang dari berbagai pihak, ada Frater Fajar dan Frater Koko yang memungkinkan anak-anak bisa masuk gratis ke bonbin dan pengadaan snack. Para donatur -yang saya juga ga tahu siapa saja- terima kasih sangat untuk bantuannya yang sangat murah hati.
Tapi ternyata cobaan masih saja datang mengahadang, 2 hari menjelang hari H. Salah seorang teman kita yang sangat bersemangat menyukseskan rencana ini harus masuk rumah sakit. Mau tidak mau, hal itu memaksanya tidak bisa ikut jalan-jalan, padahal sudah ikut repot. Cepet sehat ya Tyaaa… Besok kukasih Pin Jalan-jalannya de… ^^
Tibalah hari yang sudah dinanti-nantikan, dengan bersemangat oleh anak-anak, dan dengan cemas oleh saya. Bagaimanapun tanggung jawab akan anak-anak itu ada di pundak kami, bagaimana kalau hilang, atau ada yang kecemplung kandang buaya. Bagi Anak Pingit, segala hal mungkin terjadi!
Pagi itu, saya yang mengkoordinasi volunteer telat sampai TKP. (Maapiiinnn… *sungkem). Anak-anak sudah datang dan sudah heboh. Ada yang cari minum, ada yang beli topi, ada yang lari-lari, ada yang minta tiket. Rame lah pokoknya. Tapi, mereka terlihat cakep-cakep dah, nggak kaya kalau lagi di Pingit.
Setelah pembagian kelompok, pembagian snack, dan pembagian semua hal yang harus dibagi, masuklah mereka semua yang sudah tidak sabar ke dalam Kebun Binatang. Jalan-jalan dimulai!
Rombongan yang sudah dibagi menjadi lima kelompok kecil ini pun mulai berjalan dengan mengikuti rute yang sudah disediakan. Gajah, orangutan, simpanse, area reptil dan seterusnya. Pada awalnya, jalan-jalan ini direncanakan berlangsung dari jam 09.00-12.30, tapi entah kenapa, belum ada jam 11.00, rombongan kami sudah sampai di tempat untuk makan siang. Maka disibukkanlah anak-anak dengan membuat yel-yel dan bercerita tentang binatang binatang yang sudah mereka lihat. Tapi ternyata ada yang lebih menarik bagi mereka selain membuat yel-yel, yaitu yu-yu.
Melihat ada banyak yu-yu di dalam sungai kecil dekat tempat kami beristirahat, anak-anak itu lalu berusaha menangkapnya. Mereka tengkurep di pinggir selokan dan mengambili yu-yu tersebut, kemudian menyimpannya di gelas bekas air mineral. Mereka tidak peduli nyemplung, tidak peduli rame orang lewat. Tidak puas, Nisa mencari tempat yang lebih besar. Ia kemudian menyimpan puluhan yu-yu yang berhasil ditangkapnya di sebuah tas plastik besar. Entah siapa yang berhasil membujuknya untuk mengembalikan yu-yu-yu-yu tersebut, yang pasti ia sudah tidak membawanya waktu naik kapal.
Pukul 12.00, makan siang pun datang. Anak-anak yang sudah tidak sabar itu langsung menyerbunya. Dan saya baru menyadari, bahwa dari yang paling besar, sampai yang masih TK sudah bisa makan sendiri. Belepotan memang, tapi tidak ada yang manja dengan minta disuapi. Walaupun Adit akhirnya menghabiskan ayam dalam genggammannya sambil main air dan diliatin dengan heran sama bapak-bapak yang lewat, yang pasti acara makan berlangsung dengan sukses.
Setelah itu, kami pun melanjutkan kegiatan dengan naik kapal. Para volunteer pun mewanti-wanti anak-anak agar hati-hati. Namanya anak pingit, begitu kapal merapat dan rantai pembatas dibuka, masuklah mereka dengan berlarian dan bersemangat. Hati-hati?? Apa ya artinya??
Keceriaan terus berlangsung. Begitu kapal melaju, lagu ‘Anak Pingit Beraksi’ langsung dinyanyikan, tidak ketinggalan ‘Woyo.. woyo.. Jhoss!!’ diteriakkan dengan lantang. Anak Pingit minder? Anak Pingit tidak punya kepercayaan diri? Mereka malah yang bikin minder orang lain. Para volunteer juga jadi ga percaya diri gara-gara mereka ^^
Setelah semua lagu dari kompilasi album Anak Pingit dinyanyikan, kapal pun merapat di dermaga danau buatan itu. Perjalanan dilanjutkan kembali. Kami menuju ke area sirkus. Kami akan menonton pertujukan ke empat yang dimulai pada pukul satu siang.
Yang menarik bagi saya adalah Rara dan Demi mengajak berkenalan seorang anak perempuan yang duduk di sebelah mereka. Anak itulah yang malah terlihat malu-malu diajak berkenalan sama Rara. Jadi, satu lagi bukti bahwa Anak Pingit itu bikin minder orang lain.
Akhirnya, tiba saatnya buat pulang, dan seperti yang sudah diduga, “Sudah mau pulang, Mbak? Ijik awan lo.”  Entah kata siapa, tapi kalimat ini saya kutip dari cerita Jessi.
Ya ampun, cah. Sing ngancani ki wis sayah je…
Mungkin dari sini bisa dievaluasi, kalau besok ada jalan-jalan lagi volunteernya bikin dua shift. Pagi sampai makan siang, dan setelah makan siang sampai selesai. Biar ga kalah sama anak-anaknya.
Banyak hal yang bisa saya pelajari dari anak-anak kali ini, pelajaran yang luput saya lihat saat belajar di Pingit.
Mereka anak-anak yang mandiri dan bisa bertanggung jawab. Anak yang lebih besar tidak pernah luput mengawasi adiknya, tidak keberatan membawakan tas milik adiknya. Mereka juga mau menggendong anak yang lebih kecil yang bukan adiknya. Febri yang sandalnya putus di jalan juga tidak ribut, ia langsung saja gitu ganti sama sandal lain yang sudah dibawanya. Pengalaman banyak jalan ikut ibunya, tampaknya membuatnya belajar dan bawa sandal cadangan.
Mereka Pede, mungkin mindernya cuma kalau lagi belajar aja dan ga bisa ngerjain soal. Buktinya mereka asik-asik aja nyanyi-nyanyi, ngajak kenalan dan nari jathilan di mana saja. Mereka juga kreatif, bisa menciptakan kolam tangkap dan kolam sentuh sendiri, nangkapin yuyu.
Sangat menyenangkan melihat mereka senang dan bersemangat seperti itu. Memang ada kecelakaan kecil, Adit yang ngglundung dari gazebo. Sempat ada beberapa yang luput dari pengawasan dan dikhawatirkan ilang. Tapi syukurlah semuanya sehat, utuh dan lengkap.
Saran saya, Ayoooo bikin lagi!!!

Terima kasih banyak untuk semua yang terlibat dalam acara ini dan maaf saya sudah galak… Pengalaman yang menyenangkan.

Komentar

  1. Anda tidak segalak saya kok. Haha..
    Paling tumpang tindih antara divisi anak dengan JSN. Trus, memang daftar ada 35 tapi gara" ada yang ikut mantenan dan tiba" tidak diijinakn ortu (anak usia tk) akhirnya menyusut menjadi 24 anak yang berangkat bersama.Ada beberapa kejadian singkat yg aku tulis di twitku.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Autoetnografi apaan sih?

Tes Rorschach: Antara Manual dan Kenyataan

The Geography of Faith