Eh, Mas... (Tentang Kehilangan)


Eh, Mas… sudah berapa lama ya kamu pergi? Sudah enam bulankah tanggal 23 nanti? Nggak kerasa ya, cepat.
Aku jadi mengingat masa-masa sebelum kepergianmu. Satu minggu sejak motormu tertabrak Avanza itu. Tidak ada luka yang terlihat, hanya saja kamu tidak bangun lagi semenjak saat itu.
Kamu tahu, Mas? Aku sangat kaget ketika Bapak, ayahmu, menelponku sore itu. Ya, kamu tahu sendiri, Mas. Tiap kali aku main ke rumahmu, bapak hanya melemparkan senyum tipis dibalik kumis tebalnya yang sudah beruban itu. Paling banyak kami hanya bertukar kabar. Tidak seperti dengan ibu, yang langsung menyambutku dengan sumringah dan menganggap aku sebagai anak perempuannya. Ya karena kedua anaknya adalah lelaki, kamu dan Ferry. Dan sekalinya bapak menelponku, ia mengajakku ke rumah sakit.
Mas, rasanya badan ini lungkrah seketika. Tulang-tulangku seakan tidak lagi mempunyai daya untuk membuatku tetap berdiri. Kamu, yang kukenal selalu tertawa, kamu yang aku tahu tidak pernah berhenti bergerak. Di balik kaca itu, dalam ruangan yang steril itu, kamu tidur, lelap. Hanya saja selang-selang dan kabel-kabel itu berbelit di sekujur tubuhmu. Entah untuk apa saja, tapi tanpa semua itu kamu pasti pergi.
Kemudian aku teringat percakapan kita, di kamar kosku, di sore yang panas itu. Kamu baru pulang dari kantor, masih dengan kemeja panjang berwarna biru. Dan entah apa yang kita bicarakan pada awalnya, tapi aku ingat perkataanmu.
“Jika nanti aku mati, aku mau matinya cepet. Aku nggak mau kudu sakit dulu, nggak bisa ngapa-ngapain. Ngerepotin orang.”
Yah, ternyata Tuhan bilang kamu harus berbaring sakit dulu, nggak lama memang. Tapi kamu nggak merepotkan kok, Mas. Semuanya adalah untuk mempertahankanmu selama mungkin di dunia ini. Kami yang egois, kami yang merepotkanmu. Kami nggak peduli seberapa besar sakit yang harus kamu tahan, yang pasti aku, keluargamu, nggak ingin kamu tidak ada lagi dalam hidup kami.
Tapi, harapanmu yang lain terkabulkan. Kamu tidak ingin kan ditinggal mati pasanganmu? Harapanmu kamu yang pergi lebih dulu, dan kamu memang pergi, dan yang kamu tinggal adalah aku.
Pada saat kudengar kalimat itu dari mulutmu, akupun sudah bersedia untuk merelakanmu pergi lebih dulu. Aku akan sesehat mungkin agar aku bisa hidup selama mungkin. Tapi tidak secepat ini aku membayangkan kematianmu. Yang aku bayangkan adalah kamu yang sudah menjadi seorang kakek, kita yang sudah berkeluarga. Tidak saat ini, ketika kita masih bukan siapa-siapa. Tidak ada anak yang akan menemani sisa hariku tanpamu, seperti impianku. Saat ini hanya ada aku dan dua tahun kenangan yang kita punya.
Kepergianmu pun berlangsung dengan begitu senyapnya. Saat masa kritis yang diperkirakan sudah lewat, saat kata dokter kondisimu sudah mulai stabil. Hanya dalam satu tarikan nafas dan kamu sudah hilang. Aku melihat tubuhmu, aku berada di sisimu, tapi aku tahu, sudah tidak ada kamu di situ. Kamu yang sudah sewajar tarikan nafasku. Keberadaanmu seperti air yang kucari ketika aku haus. Sudah seterbiasa itu aku dengan keberadaanmu. Dan satu tarikan nafas terakhirmu, menumpahkan semua air dalam mangkuk hidupku. Tumpah, dan tidak akan bisa dikembalikan lagi.
Hanya dua tahun, dan itu cukup membuatku merancang lima puluh tahun kebersamaan kita di depan sana. Hanya dua tahun, dan aku sudah tidak memiliki rencana lain, selain menjalani hidup denganmu. Dan sekarang? Hanya kepergianmu, dan aku harus mengubah lima puluh tahun yang terbentang dihadapanku. Hanya kepergian seorang kamu, Mas.
Tapi, hidup terus berjalan kan, Mas? Percuma semua pembicaraan kita yang berbusa-busa itu, jika hanya karena ini aku kalah dan menyerah. Percuma semua omonganmu, kalau sekarang aku memilih ikut berhenti berjalan bersamamu.
Aku remuk. Itu pasti. Aku sedih, sangat.
Tapi aku hidup.
Beruntunglah aku, bersamamu, membuka duniaku. Membuka jalan untukku menemukan orang-orang terbaik yang bisa kutemukan. Aku tidak pernah dibiarkan sendiri. Dalam masa-masa tergelapku. Dalam masa pencarianku untuk mencari hidup selain bersamamu. Aku tidak pernah dibiarkan sendirian.
Dan duniaku terus berjalan, aku bertemu teman-teman baru. Aku menemukan pekerjaan baru yang aku senangi sekarang, kalau kamu masih di sini, kamu tidak akan lagi mendengarku marah-marah dan mengeluh setiap aku pulang bekerja seperti dahulu. Yah, kalau penggantimu, tidak secepat itu, dan mungkin masih tidak akan kucari dalam waktu dekat ini. Tapi kupastikan, kamu akan tetap bangga padaku. Karena banggamu itu penting buat aku.
Jadi, aku bisa pastikan sekarang, agar kamu pun tidak lagi mengkhawatirkan aku. Aku sudah baik-baik saja. Masih sedih sesekali, tapi itu tidak mengganggu hari-hariku. Yah, aku memang tidak lagi menikmati berbicara sepanjang malam seperti saat masih ada kamu. Aku tidak lagi ingin mengobrol dan berkumpul sampai larut malam seperti dulu. Dulu, ketika hujan pun rela aku tembus, ketika menyebrang kota pun tidak menjadi masalah besar, selama bisa bertemu denganmu.
Mas, sewajar itu keberadaanmu dalam hidupku dulu, dan sewajar ini yang bisa aku rasakan sekarang saat tidak ada kamu. Tapi, perubahan itu wajar kan terjadi?


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Autoetnografi apaan sih?

Tes Rorschach: Antara Manual dan Kenyataan

The Geography of Faith