Takut Salah?

Membaca banyak perdebatan hari ini mengenai korporasi besar yang melakukan pembakaran buku. Pembakaran yang dilakukan dengan tuduhan adanya ketakutan akan tekanan masyarakat dan mengalahkan idealisme demi tidak bangkrutnya bisnis yang dijalankan. Perdebatan-perdebatan yang membuat saya ingin berbicara.

Tuduhan dan pendapat akan ketakutan ini, membuat saya merefleksikan keadaan itu dengan keadaan diri saya. Saya keturunan Cina dan Katolik. Kata seorang teman, saya adalah minoritasnya minoritas. Hal yang benar-benar saya amini. Saya tidak tumbuh di era yang penuh kerusuhan, masa kecil saya bahagia dan baik-baik saja. Saya tidak mengalami yang namanya mencari SKBRI demi mengesahkan status saya sebagai warga negara. Saya tidak mengalami rumah saya diserang karena kami orang Cina, Keadaan terburuk yang saya alami adalah saya diejek karena Cina, dan itu biasa, dan tahun Februari 2011 lalu gereja saya dirusak masa. Itu adalah hal terburuk yang saya alami. Walaupun tidak langsung menyerang saya secara pribadi, tapi banyak hal yang saya pilih untuk saya hindari, banyak hal yang saya pilih untuk tidak saya lakukan, karena saya memang takut.

Bukan memberi pembenaran, ataukah saya memang pengecut. Tapi ada ketakutan yang tumbuh dalam diri saya, jika sedikit saja saya melangkah keluar dari garis, maka matilah saya. Mungkin tidak pernah diungkapkan secara nyata dalam keluarga saya, tapi ada ketakutan di dalam sana. Takut karena kami orang Cina. Takut membuka diri dalam lingkungan pergaulan, karena begitu salah langkah sedikit maka kami akan salah karena kami Cina. Takut menjadi kaya, karena akan diperas. Takut menjadi miskin karena akan semakin tidak dihargai. Takut sekolah di sekolah negeri karena akan dikucilkan. Takut menjadi Cina, karena akan mendapatkan banyak ketidaknyamanan.

Menjadi apa adanya saja menakutkan, apalagi bersuara. Bersuara dan membuat diri kita menjadi pusat perhatian. Membuat diri kita menjadi sorotan. Tidak usah disorot saja sudah susah, apalagi kalau disorot. Tambah takut lagilah kalau melawan. Jadi rasanya saya memahami ketakutan korporasi itu karena tekanan masa. Tidak pernahkah merasakan bahwa tekanan mayoritas itu menakutkan?

Bagi saya, idealisme adalah hal yang akan pertama kali akan saya singkirkan jika kehidupan saya atau kehidupan orang-orang yang ada dalam tanggungan saya menjadi taruhannya. Sama seperti ayah saya yang rela membayar lebih demi mendapatkan SKBRI. Beliau tidak akan melawan aturan itu, walaupun jelas-jelas kakeknya sudah lahir di Indonesia. Jelas dia warga negara Indonesia dengan atau tanpa Surat Bukti tersebut. Tapi tanpa itu anak-anaknya tidak akan bisa mendaftarkan sekolah, tanpa surat itu KTP pun tidak akan bisa didapat. Bagaimana mau membela idealisme kalau idealsime itu menghentikan kehidupannya dan seluruh keluarganya. Bagaimana mempertahankan idealisme, jika keberlangsungan kehidupan itu mempertaruhkan banyak sekali karyawan dan keluarganya.

Apakah pada tempatnya kami melawan? Ketika gereja yang terletak tepat di sebelah kantor polisi itu diserang dan tidak ada yang melindungi? Bahkan kebenaran pun sampai tidak berani diungkapkan demi tetap terjaganya kondisi yang kondusif. Pemukulan yang disembunyikan demi tidak adanya pembalasan dendam. Pembalasan dendam yang pasti akan menjadai pedang bermata dua bagi kami.

Jadi, jangan salahkan jika ada yang takut karena tekanan. Tekanan masyarakat, tekanan pemerintah, tekanan mayoritas, karena hal itu memang menakutkan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Autoetnografi apaan sih?

Tes Rorschach: Antara Manual dan Kenyataan

The Geography of Faith