Cina dan Aktivisme

Tidak banyak hal yang terjadi pada tahun 1998 yang saya alami. Dalam ingatan saya yang kala itu masih 11 tahun, kekacauan yang terjadi itu berada di luar rumah, berada jauh di dalam televisi. Saya hanya ingat saya melihat pengumuman mengundurkan diri dari Presiden Soeharto di televisi dengan masih memakai seragam putih merah. Pulang sekolah setelah ujian.
Saya hanya mengingat bahwa ada beberapa tempat yang dirusak, ada rumah-rumah yang dilempari batu dan selama berbulan-bulan jendela yang tadinya tertutup kaca, menjadi tertutup lembar-lembaran tripleks. Saya hanya mengingat, kota kecil yang tempat saya tinggal ini harus kehilangan CFC, waralaba ayam goreng pertama dan satu-satunya yang buka di Temanggug, dan langsung tutup ketika ada perusakan di tahun itu, dan tidak pernah ada lagi sampai sekarang. Persentuhan paling dekat adalah ketika tetangga belakang rumah saya berlari sambil berteriak-teriak ke arah toko saya kalau ada “hura-hura” yang menuju ke arah rumah kami. Kepanikan membuatnya salah mengucapkan huru-hara.
Kami semua langsung bergegas menutup toko. Merantai drum minyak tanah di depan rumah, mengangkat minyak tanah yang masih ada di tempat penampungannya masuk ke dalam dan segera menutup toko kami sebelum huru-hara itu datang mendekat. Hanya sejauh itu yang saya ingat. Saya bahkan lupa apakah toko kami dilempari batu atau tidak, atau apa yang kami lakukan setelah toko tutup malam itu.
Saya malahan mengingat orangtua saya mengumpulkan semua emas yang kami miliki. Kalung, anting-anting saya yang hanya tinggal sebelah, perhiasan milik mama saya, cincin, dan entah apa lagi, mereka menjualnya ketika harga emas melambung begitu tinggi. Hanya menyisakan sepasang anting emas hadiah ulang tahun dari Papah buat Mamah, dan cicin kawin mereka tentunya. Penjualan yang menghasilkan uang yang cukup besar kala itu.
Jika dilihat kembali, saya tidak banyak bersentuhan dengan apa yang terjadi di Jakarta kala itu. Sejauh yang saya ingat, tidak ada berita buruk yang menimpa saudara-saudara saya yang Cina dan tinggal di Jakarta kala itu. Malah ketika beberapa bulan yang lalu saya bertanya kepada Wak saya yang tinggal di Jakarta masa itu, beliau berkata bahwa tidak ada hal buruk yang terjadi. Bahkan ia yang tinggal di kawasan Kelapa Gading itu berkata kalau keadaan berjalan normal, beliau memasak dan ke pasar seperti biasa. Entah apakah memang seperti itu keadaan yang beliau alami ataukah ada salah mengingat atau tidak mau mengingat. Mungkin memang seperti itu, tetapi karena banyak berita yang sudah saya terima selama ini bahwa kerusuhan kala itu begitu mencekam maka saya jadi skeptis dengan pernyataan beliau. Saya bahakan sedikit menyalahkan usia beliau dan meragukan ingatannya. Mungkin demikian…
Tapi kejadian yang menurut saya secara objektif itu tidak saya alami, ternyata memengaruhi saya sampai sekarang ini. Dan kejadian-kejadian di IRB akhir-akhir ini membuat saya merefleksikan ini.
IRB atau kajian budaya adalah kuliah yang sepaham saya dibangun dengan semangat perlawanan. Salah satu tulisan awal yang saya baca adalah tulisan dari St. Sunardi dalam Retorik yang berjudul Pada Mulanya adalah Perlawanan. Jadi harus melawan, harus menentukan posisi, siapa yang dibela, siapa yang disuarakan, siapa yang dilawan, pihak mana yang mendapat keuntungan dari penindasan yang sudah dilakukan. Itu yang saya pelajari. Dan mau tidak mau, pada akhirnya saya terlibat dan nyemplung juga di dalamnya.
Saya sudah dikatakan sebagai ‘kiri’ sejak beberapa tahun yang lalu oleh seorang teman. Tetapi dalam benak saya, saya sebenarnya tidak berani benar-benar melawan. Saya tidak cukup percaya diri untuk bisa melawan, saya merasa tidak cukup berani, tidak cukup mampu. Sampai sekarang rasanya saya tidak banyak berubah. Ketika ada pemutaran film yang dibatalkan, ketika ada gerakan untuk membuat petisi untuk suatu advokasi dan saya terlibat di dalamnya, ini yang saya katakan, “Aku Cina, kalau aku melawan nanti aku diperkosa gimana.” Atau “Aku ki Cina, nanti kalo aku cari masalah tokoku nanti dibakar.” Itu yang muncul.
Ketakutan itu ada dalam diri saya. Saya tergerak oleh orang-orang yang ditindas korporasi, saya tergerak dengan anak-anak jalanan yang terpaksa harus tinggal di rumah petak kecil dan hamil di bawah umur. Tetapi saya tetap takut jika saya harus menghadapi ancaman parang, diculik, disiksa, atau bahkan dilenyapkan. Cuma gereja yang berani saya lawan, karena melawan Romo-romonya tidak akan membuat saya dilenyapkan. Paling tidak sepanjang pengetahuan saya Keuskupan Agung Semarang tidak mempunyai represif aparatus. Jadi mungkin aman ya…
Jika berhadapan dengan teman-teman yang berani bersuara keras dan langsung terjun ke lapangan, buat saya itu mereka tidak berpikir panjang. Saya memberi diri saya ini alasan bahwa saya ini realistis, tetapi mungkin saya hanya pengecut. Hmmm….. berat juga ya untuk mengakui diri ini pengecut dari pada megatakan orang lain itu gegabah.
Saya hanya merasa saya berada di posisi yang begitu rentan dan ada banyak orang yang berada di belakang saya jika terjadi apa-apa dengan diri saya. Saya tidak mungkin diancam dengan parang misalnya dan kembali pulang dengan mental yang tetap utuh. Ketakutan akan aparat atau penguasa itu rasanya juga sudah berakar dalam di diri saya. Orang tua saya memilih untuk sebisa mungkin menghindar jika harus berurusan dengan aparat. Ketika toko kami kemalingan pun, percakapan yang ada di rumah tidak pernah positif tentang para polisi yang mengurus kasus kami. Ketika ada barang bukti yang ditemukan, rasanya malah membahas uang tebusan yang harus dikeluarkan untuk menebus barang-barang tersebut. Jika bisa menghindari masalah, kenapa juga harus dikonfrontasi.
Jadi, rasanya sampai sekarang, ketika urusannya bukan sampai nyawa atau kehidupan, rasanya saya begitu enggan untuk ikut berjuang. Jika hanya berurusan dengan pelarangan diskusi atau menonton film dan harus berurusan dengan RSA, rasanya buat apa begitu keras untuk berjuang dan melawan. Jika kemungkinannya adalah diperkosa, toko dibakar, diculik, atau dilenyapkan, rasanya memang harus banyak pertimbangan untuk melakukan perlawanan. Memilih apa yang benar-benar mau diperjuangkan dan meluangkan waktu untuk melakukan persiapan. Paling tidak jika sampai harus terlihat dalam perlawanan, saya ingin memastikan saya cukup senjata untuk bisa melukai bahkan mematikan lawan. Jadi membuat petisi tanpa persiapan, buat saya itu masih kebodohan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Autoetnografi apaan sih?

Tes Rorschach: Antara Manual dan Kenyataan

The Geography of Faith