Ini bukan waktu menunggu
Sudah berjalan
cukup lama sejak virus ini mengambil alih dunia yang kita ketahui selama ini
menjadi sebuah dunia yang menuntut adaptasi habis-habisan. Virus yang bergerak
dengan kontak antar manusia ini membuat banyak hal harus dilakukan dan
disesuaikan untuk membatasi atau mengurangi penyebarannya. Pariwisata jelas
nomor satu terkena imbasnya, perjalanan dihentikan, tidak ada lagi perjalanan
tidak perlu yang layak untuk dilakukan dalam situasi seperti ini. Semua
kegiatan yang menghasilkan kerumunan praktis dihentikan, para pekerja seni
menjadi salah satu yang terkena imbas besarnya. Covid dan ancaman akan kematian
membuat apa yang layak dan tidak layak menjadi sangat jauh berubah. Berangkat
ke sekolah, berangkat ke tempat kerja, nongkrong bersama teman, beribadah
bersama, resepsi pernikahan, ternyata semua itu bisa tidak dilakukan, begitu
saja.
Gerakan
menjaga jarak satu sama lain, bekerja dari rumah, meliburkan sekolah dan
lembaga pendidikan lain, ternyata bisa dilakukan. Memang tidak untuk semua
orang. Ini Indonesia. Saya melihat ada banyak sisi pendapat di sekitar saya,
ada banyak orang yang menuntut agar Negara di lockdown namun banyak juga orang-orang yang saya temui yang cemas
dengan pilihan itu. Saya bertanya apakah mereka akan terus membuka warung makan
atau salonnya, dan iya, mereka akan terus membuka usaha mereka walaupun mereka
juga sama takutnya. Ancaman terkena virus dan tidak bisa memberi makan keluarga
berada dalam posisi yang sama mengerikannya.
Saya pun sama
takutnya. Pernah suatu sore saya bangun dari tidur siang—mau ngapain lagi kan
ya kalau tidak boleh kebanyakan dolan tuh—dengan dicekam ketakutan. Saya masih
ngekos sampai sekarang, saya tidak membekali diri saya dengan kebiasaan memasak
dan mengandalkan banyak warung makan di Jogja sini. Saya sendirian, anak kos
sudah banyak yang pulang, walaupun sudah ada himbauan untuk tidak mudik. Saya
juga memutuskan untuk tidak pulang dengan banyak pertimbangan, baik ekonomi
maupun kesehatan keluarga saya di rumah. Hari itu saya bangun dengan berbagai
macam pikiran berlebihan. Bagaimana kalau saya tetap beredar dan saya
dipresekusi karena pergerakan yang saya lakukan walaupun hal itu saya anggap
esesial untuk keberlangsungan hidup saya. Bagaimana walaupun saya merasa sehat
tapi saya membawa virus dan menularkannya kepada teman-teman saya dan anak-anak
mereka? Bagaimana ketika saya sendirian di sini dan kondisi semakin memburuk
sampai banyak korban berjatuhan di luar sana dan saya sendirian? Sore yang
terasa begitu gloomy dan menakutkan.
Takut terhadap
virusnya itu satu hal. Namun masih banyak hal lain yang mengikuti. Takut
dipresekusi karena salah bergerak, marah karena berbagai keputusan pemerintah yang
kita anggap bodoh. Mulai mikir bagaimana
kelanjutan perekonomian ke depan, mulai cemas bagaimana bisa tetap makan setiap
harinya. Belum lagi yang ekstra energi dan masih memikirkan berbagai teori
konspirasi dari mana virus ini berasal. Dari manapun, Cina atau Amerika,
keduanya sama terpukulnya dengan masalah virus ini. Toh kalau iya pun sekarang
yang bisa dihadapi juga bukan masalah itu.
Kondisi
sekarang ini membuat kita mau tidak mau harus beradaptasi dengan cepat, suka
atau tidak suka karena pertaruhannya adalah nyawa. Paparan semua informasi dari
gawai yang kita miliki, bisa jadi memberi informasi yang bermanfaat, tapi di
sisi lain juga meningkatkan tingkat ketakutan yang kita rasakan. Seperti jadi
ikut merasa sesak napas karena kebanyakan terpapar dengan semua urusan Covid
ini. Dan siapa yang mau berubah begitu saja? Dengan semua perubahan keadaan
yang kita hadapi ini, rasanya saya malah membutuhkan kestabilan lebih dari
kapanpun dan rasanya ingin berpegang erat-erat dengan kebiasaan yang dimiliki,
hanya untuk merasakan rasa aman dan kestabilan yang bisa jadi sangat sementara.
Seperti yang saya cuitkan di Twitter, bisa jadi korban dari kondisi ini tidak
hanya karena disebabkan oleh virusnya, tapi karena keadaan yang begitu genting
dan menegangkan.
Banyak yang
bilang dunia ini akan mengalami situasi normal baru setelah kondisi ini, kondisi
yang tidak bisa dibalik kembali menjadi seperti sebelum korona. Dan saya
setuju. Saya mulai berbikir dan tidak lagi berbicara masa sesudah korona,
karena bisa jadi itu entah akan kapan datangnya. Itu salah satu pilihan yang
ada dalam kendali dan yang bisa saya lakukan bagi diri saya sendiri. Alih-alih
memosisikan diri menunggu sesuatu yang entah kapan berakhir, pilihan yang bagi
saya lebih nyaman untuk dilakukan adalah dengan beradaptasi sebisa-bisanya.
Sesederhana memakai masker ke luar rumah dan lebih banyak mencuci tangan
misalnya. Perubahan sudah terjadi, energi kita terbatas, jadi marah dengan
keadaan dan merindukan normalitas adalah hal yang bagi saya terlalu menghabiskan
tenaga dan makin mengurangi kemanfaatan hidup saya yang sudah unfaedah ini.
Hidup tetap berjalan, kita masih harus tetap makan, dan hutang bank tetap harus
dibayar.
Saya hanya berharap
kondisi normal baru itu adalah kondisi yang lebih baik dan berpihak pada
kehidupan. Kehidupan semua makhluk, bukan hanya manusia. Salah satu hal positif
yang saya bisa syukuri dari keadaan ini adalah istirahatnya bumi dari semua
kesibukan manusia yang ternyata sibuk sekali selama ini. Bergerak ke sana
kemari setiap saat. Air yang menjadi jernih, udara yang menjadi bersih, membuka
ruang bagi binatang untuk bergerak lebih jauh ke tempat-tempat yang biasanya
dikuasai manusia. Semesta punya ternyata punya logikanya sendiri, dan itu bagi
saya sangat menumbuhkan harapan akan kehidupan.
Komentar
Posting Komentar