Tips Mencari Bantuan Psikolog

Dalam satu tahun terakhir setelah kekacauan yang terjadi dalam hidup, aku mulai dengan cukup rutin bertemu dengan psikolog. Alhamdulillahnya sebagai orang yang pernah kuliah di psikologi, aku jadi punya cukup banyak teman yang psikolog dan mengetahui faedahnya untuk berbicara dengan orang yang punya keahliannya. Pengalamanku sebelum waktu-waktu ini juga bertemu dengan psikolog itu membuat kepala bisa terasa lebih bening dan keluar dari pusaran pikiran yang sering kali susah kita selesaikan sendiri.

Ada cukup banyak psikolog dengan berbagai versi yang aku temui. Satu orang laki-laki yang Pastor dan Psikolog Klinis, satu orang Suster yang Psikolog, satu orang ibu sepuh yang konselor feminis, satu psikolog perempuan dengan metode Kinesiology, dan terakhir yang aku temui dan masih meraba-raba adalah satu orang ibu dengan metode grafology dan hypnoterapi. 

Aku jelas priviledge dengan banyaknya orang yang bisa aku akses selama ini, dan semuanya gratis. Aku jadi bisa membandingkan mana yang cocok denganku, atau kalau yang aku lakukan selama ini adalah, bagian mana aku cocok bicarakan dengan siapa. Saat ini aku sedang mulai dengan yang hypnoterapi secara daring karena orangnya di Jakarta dan masih sering mengobrol dengan Mbak Psikolog yang Kinesiology dan Ibu konselor feminis. Jadi dalam satu waktu aku bisa mengakses 3 orang atau lebih jika mempertimbangkan orang-orang lain yang kuajak berbicara tapi bukan psikolog untuk membantuku menata pikiranku sendiri yang suka ruwet ini.

Pertama, menurutku penting kenali apa kebutuhan diri sendiri. Untukku, pada saat emergency dulu, waktu kepala masih begitu berkabutnya sampai tidak tahu apa yang aku sendiri rasakan, aku mengobrol dengan Pastur Psikolog, dia sangat membantu untuk mengurai apa yang aku rasakan, sampai dengan membantu menata kembali tujuan hidupku yang porak poranda. Berbicara dengannya setiap hari selama hampir seminggu membuat otakku lebih lurus, membuatku menggambar dan membeli crayon, dan membuatku cukup punya alasan untuk terus berjalan. 

Namun ternyata, permasalahanku itu melibatkan adanya trauma yang membuat jika aku berjumpa dengan suatu pemicu entah apa, aku bisa mengalami serangan panik. Aku membutuhkan adanya bantuan atau teknik untukku bisa menenangkan diri dan tetap ada di tempat ketika serangan melanda. Nah, dengan Pastur Psikolog ini aku tidak mendapatkan metode untuk tetap menapak di tanah, dan beliau ini berada dalam kawasan berbahaya yang susah diakses, apalagi di masa-masa pandemi seperti ini. 

Aku itu jenis orang yang menjelaskan pikiran di kepalaku sendiri dengan membuat narasi dan mencari penjelasan tentang suatu hal. Kenapa ini terjadi? Kenapa aku merasakan seperti ini? Narasi apa yang aku bawa di dalam kepala? Apa yang sebenarnya aku inginkan? Harapan apa yang aku bawa? Untukku menjadi tahu masalahnya dengan tepat dan bisa menyatakan apa yang aku inginkan dengan tepat adalah salah satu solusi dari ruwetnya kepalaku. Jadi untuk substitusi selama aku tidak bisa mengobrol dengan orang yang bisa memberikan bantuan adalah menulis atau berpidato. Aku akan banyak berbicara dan bertanya ke sana kemari. Aku mencari cermin dan mencari masukan untukku bisa menata pikiranku dari sudut pandang yang selama ini tidak bisa aku lihat sendiri. 

Psikolog berikutnya yang aku temui adalah Suster Psikolog, statusnya adalah pendampingan iman selama masa PPKM di Juli 2021 kemarin. Kongergasi suster tersebut menyediakan diri untuk melakukan pendampingan iman bagi orang-orang selama pandemi. Masa itu aku juga mengalami masa berat karena duka yang harus dialami oleh my better half dan pandemi sendiri yang sudah mencapai lingkungan terdekat. Jadi aku mengakses tawaran tersebut dan melakukan konseling. Konselingnya lebih bersifat rohani, tentu saja, melibatkan berdoa dan didoakan. Aku juga sedikit banyak bertanya mengenai spiritualitas yang dilakukan oleh suster tersebut. Bagaimana spiritualitas bisa membantu kita membuat pilihan-pilihan yang lebih efektif. Kali ini aku merasa ada pandangan yang berseberangan dengan suster tersebut tentang beberapa hal, dan karena itu juga pelayanan, jadi konseling itu selesai begitu saja. 

Berikutnya aku bertemu dengan Ibu konselor feminis. Ibu sepuh hampir 80 tahun yang sudah menjalani bidang konseling-konseling ini lebih dari separuh hidupnya. Rasanya seperti pulang dan bertemu simbah di rumah. Pembicaraan yang terjadi dengan Ibu tersebut tidak seperti pembicaraan dengan psikolog yang biasanya terstruktur dalam waktu dan berjarak. Dalam buku konseling feminis yang ditulisnya, konseling yang dia lakukan memang bertujuan untuk membawa kesetaraan antara konselor dengan konselinya, tidak ada struktur kekuasaan dalam relasi itu. Situasi ini membuatku bisa bercerita dengan lebih mudah. Ibu ini punya emosi, tidak berjarak, dan juga suka bercerita tentang pengalaman yang pernah dialaminya. Rasanya hanya seperti main ke rumah teman dan berghibah selama berjam-jam. Konseling dengan Ibu ini juga tidak terbatas waktu, bisa dilakukan 3-5 jam, sampai capek lah. Pengalaman panjang yang beliau miliki juga membuatnya mengenali konteks dengan baik dan mendalam. Banyak insight yang aku temukan dengan berbicara dengan beliau. Kelemahannya, karena usia, kalau berbicara soal teknologis-teknologis seperti sosial media, beliau tidak mendalam karena sudah kesulitan untuk mengikuti. 

Pada saat yang hampir bersamaan, aku juga konseling dengan Mbak Psikolog Kinesiology. Kinesiology ini untukku menarik karena kita tidak perlu banyak berbicara. Logikanya metode ini membaca permasalahan dari tubuh. Untukku di masa kemarin sangat cocok karena segala sesuatu yang bisa terpikirkan sudah bisa aku deteksi dan sudah bisa aku olah, beberapa malah sudah bisa aku maafkan, namun energi di tubuh ini masih tipis. Rasanya masih cepat lelah tanpa bisa aku jelaskan sebabanya. Mungkin aku terlalu terobsesi dengan penjelasan ya. Kinesiologi ini melihat hambatan energi apa yang terjadi dalam tubuh dan mengintegrasikannya. Aku tidak terlalu paham bagaimana cara kerjanya sebenarnya, yang pasti ini semacam menyeimbangkan energi dan membuka sumbatan-sumbatan yang ada. Salah satu yang sangat menarik untukku adalah ketika ditemukan adanya permasalahan energi di usus besar dan itu terkait dengan suatu kejadian di usia tiga tahun. Telusur-telusur, aku ingat kalau orang tuaku pernah bercerita kalau aku pernah menelan uang 25 rupiah di sekitar saat-saat itu yang aku sendiri tidak bisa ingat kejadiannya, dan ternyata itu dong sebabnya. Rasanya aneh dan lucu, tapi yang pasti energiku membaik setelah terapi-terapi itu dilakukan.

Terakhir yang baru kemarin aku temui adalah Ibu Grafology. Ibu Grafology ini adalah hasil rekomendasi dari Kakak dan dibayarin, jadi ya ikut saja lah ya. Bertemu dengan konselor baru itu sebenarnya adalah proses yang melelahkan, karena mau tidak mau kita harus bercerita lagi dari awal apa yang pernah terjadi, kenapa kita bisa sampai ada di kondisi saat ini. Yang aku temukan di sini adalah ketika kita bercerita tentang apa yang terjadi di masa lalu, kita sering kali dipahami bahwa posisi kita masih ada di saat itu. Temuan-temuan dan perbaikan yang terjadi dari titik kejadian sampai saat ini itu adalah proses dan progres yang susah dijelaskan. Jadi, seperti kemarin, aku walaupun mengerti kondisinya, masih berada dalam posisi merasa tidak dipahami. Apalagi beliau mengistilahkan aku masih menggunakan banyak alibi dalam mendekati masalahku. Namun sebagai pasien yang profesional aku memakluminya sih, walau rasanya ingin membantah dan menjelaskan bahwa ada proses berjalan dari titik A tadi sampai di titik sekarang yang pastinya tidak bisa dia lihat. Menariknya dari konseling ini adalah aku diberi metode untuk keluar dari kepalaku yang begitu naratif dengan banyak menggambar dan melakukan tugas-tugas yang tidak perlu banyak menjelaskan. Mari kita lihat apa yang akan terjadi selanjutnya. 

Sebagai pasien yang sudah bergelut cukup lama dalam bidang ini, aku akan memberikan beberapa saran bagi yang ingin mencoba menjalani proses konseling dengan psikologi. Seperti yang kemarin aku dijelaskan ketika mulai konseling, psikolog ada bukan untuk menyelesaikan masalah kita. Itu salah satu yang perlu dipegang, mereka ada untuk membantu kita mengenali masalah, meluruskan pola pikir, membantu dengan memberikan teknik-tenik yang kita perlukan untuk mengatasi suatu kondisi, misalnya serangan panik. Kita sendiri perlu mencari tahu apa yang pas bagi kita untuk menyelesaikan apa yang ada di dalam kepala kita. Bagiku sendiri adalah menulis dan banyak naik motor untuk melamun. Hal-hal itu aku lakukan untuk menata kepala yang berantakan dan seringkali menemukan pencerahan akan apa yang terjadi atau apa yang aku butuhkan.

Berikutnya adalah jangan berharap masalah itu akan selesai secara instan. Sekali lagi psikolog ada untuk menemani, tapi tidak untuk memberikan solusi ajaib. Beberapa kejadian mungkin malah akan kondisi memperparah keadaan dengan membuka luka, trauma, atau mekanisme pertahanan diri yang membuat kita tidak mau merasakan adanya masalah. Pekerjaan kotornya harus kita sendiri yang lakukan, menangisnya, tidak punya energi, tidak bisa bangun, menemukan metode yang tepat untuk memutus pikiran buruk, berdamai dengan kemarahan, menyembuhkan luka, memaafkan diri sendiri dan orang-orang yang terlibat, itu tidak bisa diwakilkan. Butuh energi pasti, dan sekali lagi, aku rasa tidak semua orang punya priviledge untuk mengelola emosi penuh waktu karena hidup harus jalan terus. 

Kenali dirimu, pandangan apa yang kamu miliki dalam hidup, dan temukan orang yang tepat untuk menemani. Aku ini punya cara pikir yang cukup liar, jadi aku jelas tidak bisa dengan orang yang terlalu konservatif misalnya. Contohnya walau tidak besar masalahnya, tapi aku tidak merasa terlalu cocok dengan suster psikolog. Ada pandangan-pandangan yang berseberangan yang sarannya malah membuatku pengen ngejak gelut. Ya itu aku sih. 

Tidak semua yang merasa punya masalah ingin, bisa, mau, dan mampu untuk ke psikolog memang. Bisa karena pandangan diri sendiri yang entah takut permasalahannya terbongkar, seperti kita takut medical check up karena takut ketahuan kolesterol atau tidak adanya dukungan dari orang-orang terdekat. Pandangan dalam masyarakat di mana psikolog adalah pilihan terakhir, atau kamu gila kalau ke psikolog, atau adanya pandangan bahwa kesehatan mental bukanlah hal yang penting karena emosi adalah disadvantage bisa jadi hambatan juga orang untuk mencari bantuan. Pandangan bahwa seseorang bisa tetap bekerja dan hidup dengan membawa trauma juga tidak salah. Pandangan bahwa saat ini orang-orang lemah karena terlalu memperhatikan kesehatan mental, juga bisa kita temukan. Tapi, kalau merasa butuh, ingin mencoba, tidak ada salahnya untuk mencari informasi dan bantuan. Sekarang sudah banyak tersedia platform online yang menyediakan bantuan konseling, atau misalnya mencari pendampingan gratis dari kelompok religius yang dipercaya, atau bisa juga memanfaatkan BPJS untuk mengakses psikolog ke puskesmas. Ya, memang terkadang melelahkan ya, sudah penuh masalah saja masih susah sekali cari bantuan, tapi jika itu bisa menyelamatkan nyawa dan meningkatkan kualitas hidup, kurasa layak sekali untuk dicoba. 

Komentar

  1. I totally agree with your opinion. Penting banget buat nyari psikolog yang tepat yang sesuai kebutuhan kita. Mereka membantu dan mendampingi, tapi kita sendirilah yang menyelesaikan. I really appreciate your writing about your experience. Thank you Ci for sharing 😊👍

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Autoetnografi apaan sih?

Tes Rorschach: Antara Manual dan Kenyataan

The Geography of Faith