Menemukan Diri, Menjadi Penulis
Empat bulan terakhir ini rasanya hidup berjalan ke arah yang
tidak pernah aku duga sebelumya. Aku inginkan memang, tapi rasanya tidak
terbayangkan ini sungguh-sungguh akan terjadi. Diawali dengan mencoba mengikuti
lomba penulisan cerpen, mulailah aku menulis sebuah cerpen panjang yang tidak
pernah aku tulis sebelumnya. Cerpen 3500 kata yang aku juga tidak duga bisa aku
tulis sepanjang itu.
Masuk di bulan Maret, seperti biasa, di awal bulan, aku membuat ritualku sendiri untuk berdoa selama sembilan hari dan sebisa mungkin, dua kali sehari. Di tanggal satu sampai sembilan itu, aku akan menulis pagi dan malam hari untuk mendoakan sesuatu secara khusus, kegelisahan di bulan itu.
Dari bulan Oktober aku sudah mulai gelisah karena tidak tahu mau ngapain, mencari sekolah juga rasanya belum cerah. Mau mendaftar Fulbright, takut sama politik Amerika. Masak di Indonesia jadi warga pinggiran, pindah negara juga masih tersia-sia. Walau belum tentu keterima juga, karena hasil tes TOEFL masih belum sampai di batas minimum pendaftaran. Sebagai orang yang bekerja di rumah, rasanya aku juga tidak memiliki rekan kerja yang bekerja dengan satu tujuan atau misi yang sama gitu. Tersesat. Kalau dengar teman yang dengan berapi-api bekerja atau memperjuangkan sesuatu, rasanya pingin gitu. Ingin ada api yang menyala dan bekerja dengan tujuan mulia entah apa.
Di bulan Maret itu, tiba-tiba Daniel menghubungi untuk mengajak meditasi Deepak Chopra 21 hari. Daniel yang tidak kubayangkan akan terlibat dengan urusan meditasi dan LOA-LOA abundance. Kuiyakan saja, penasaran, sebagai bentuk dukungan juga, tidak mengikat, dan tidak rugi apa-apa. Ternyata salah satu tugas dari meditasi tersebut adalah membentuk kelompok meditasiku sendiri. Dan kuajaklah beberapa teman yang kupikir sejalan dan akan mengambil manfaat dari meditasi tersebut.
Beberapa kesaksian awal mereka terasa menarik, ada yang tiba-tiba dapat warisan, dapat bonusan pekerjaan, atau akhirnya tanda tangan kontrak pekerjaan yang baru. Untukku perjalanannya berbeda, tidak ada uang cash yang datang di masa-masa itu, tapi tiba-tiba otakku berjalan dengan lincah. Entah memang berhubungan, atau hanya dua kejadian pararel saja yang kebetulan terjadi bersamaan. Tiba-tiba beberapa premis cerita yang sudah aku catat lama, mulai menemukan bentuknya. Dalam satu bulan itu ada enam cerpen yang aku tulis dengan berbagai eksperimen bentuk dan cerita yang tidak pernah aku duga ada.
Tanggal 10 April, cerpen terakhir jadi. Dua orang teman yang aku hubungi untuk membantu editing, sudah mengiyakan dengan mudah. Kebetulan ada sisa tabungan yang bisa aku gunakan untuk modal cetak. Setelah lebaran, aku juga menghubungi teman yang aku tahu bisa desain. Kebetulan lain, dia baru posting cover buku yang juga dia gambar untuk orang lain. Sepakat dengan harga dan desain, pesanan dimasukkan. Jadilah cover buku Gajah dalam Ingatan dua hari kemudian. Bahkan layouter aku tidak perlu mencari, tawaran mengerjakan datang sendiri dari seorang kawan yang merespon postingan coverku di story WA.
Aku yang pada awalnya berjalan saja sejadinya, tidak ada rencana menerbitkan buku secepat ini, jadi ikut bergerak cepat karena prosesnya juga berjalan secepat itu. Editing selesai, sebelum masuk ke layout, aku sudah buka prapesan. Dan alhamdulilah juga, banyak teman yang mendukung dengan memesan buku. Buku jadi sebelum waktu prapesan ditutup. Terasa semudah dan selancar itu.
Perjalanan Gajah dalam ingatan masih berlanjut dengan acara launching buku dan diskusi-diskusi buku berikutnya. Tawaran awal dari Colortone yang mengajak untuk launching buku di 17 Mei. Dari yang awalnya hanya akan diskusi buku di suatu sore, Semua Api jadi mempunyai ide untuk membuat rangkaian acara diskusi dan bazar buku selama dua minggu sampai di tanggal 17. Semendadak itu. Acara dengan Bawa Buku Jogja juga berjalan dengan menyenangkan dan mempertemukan aku dengan banyak orang-orang buku. Sesuatu yang memang aku harapkan dari buku Gajah ini untuk bisa membawaku kembali ke jaringan buku yang lebih luas. Sampai perjalanan ke Bandung yang juga lancar dan mudah.
Aku dan Sylvie yang membantu mengadakan acara tersebut, pada awalnya berangkat dengan semangat nothing to lose saja lah ya. Bagaimana Sylvie juga menjelaskan mengenai skena perbukuan Bandung, mengingat aku juga siapa untuk bisa mendatangkan masa berbondong-bondong. Jadi yang santai saja, anggap sekalian berjalan-jalan dan menjalin pertemanan baru. Untukku, sore itu di luar dugaan, yang datang jauh lebih banyak dari yang kami rencanakan. Bahkan beberapa orang yang hadir sampai duduk lesehan untuk diskusi tersebut. Pengalaman baru, dan itu menyenangkan.
Hari ini, Bawa Buku menghubungi untuk mengirimkan hasil penjualan buku selama satu bulan kemarin. Lucu juga rasanya.
Mimpi hidup dari menulis adalah mimpi yang datang dan pergi
sepanjang hidup. Aku merasakan kesulitannya untuk menyusun cerita dan menulis panjang,
aku sempat mundur dan memilih jalan memutar. Mengerjakan banyak hal lain.
Menjadi editor, jualan sabun, jualan nasi, jadi peneliti. Ingin juga jadi trophy
wife yang bisa tidur siang saja dan dinafkahi. Tapi hidup membawaku sampai di
sini. Masih takut menganggap ini akan permanen, masih gamang apakah memang ada
hidup yang bisa dijalani hanya dengan membaca, menulis, dan berkhayal. Berapa
banyak orang yang bisa hidup dengan benar-benar menjadi penulis profesional di Indonesia?
Namun perjalanan selama empat bulan ini benar-benar, humbling di satu
sisi, tapi juga meneguhkan di sisi yang lain.
Sebagai orang yang sedang meninggalkan struktur agama, rasanya gagap untukku membicarakan pengalaman spiritual dan penyertaan Tuhan sekarang ini. Rasanya aku tidak lagi punya kerangka yang pas untuk berbicara bahwa Tuhan menemani. Bagaimana ide yang tiba-tiba datang dan mengalir deras begitu saja. Orang-orang yang datang dan membantu dengan ringan tangan tanpa perlu aku minta. Semua kepingan puzzle yang seakan hanya menunggu waktunya untuk jatuh pada tempat di mana dia seharusnya berada. Pengalaman yang benar-benar membuat rendah hati. Apalah aku ini, karena bahkan ide ini rasanya juga bukan daripadaku. Aku hanya menulis dan menanggung malam-malam susah tidur karena terlalu bersemangat.
Pengalaman yang singkat, bahkan aku sendiri tidak tahu apakah proses ini bisa berlangsung lama. Apakah aku bisa selamanya hidup dengan berkarya. Atau berkarya mungkin bisa terus, tapi apakah aku bisa terus hidup, makan sushi, dan skincarean terus dengan menulis ini? Pertanyaan-pertanyaan menakutkan yang tentu saja terus menggelayut, apalagi in this economy. Namun empat bulan yang singkat ini rasanya membuatku tidak lagi tersesat. Akhirnya aku tahu siapa aku, aku tidak lagi hanya ingin menjadi, aku sudah menjadi. Apakah permanen, apakah identitas ini akan berhenti dan membeku di sini? Pastinya tidak. Paling tidak, sekarang aku tidak lagi ragu untuk berjalan. Paling tidak banyak hal eksternal yang dulu terasa begitu mengelisahkan, sekarang tidak lagi terasa begitu menakutkan.
Aku bersyukur, perjalanan ini, sampai di sini.
Masuk di bulan Maret, seperti biasa, di awal bulan, aku membuat ritualku sendiri untuk berdoa selama sembilan hari dan sebisa mungkin, dua kali sehari. Di tanggal satu sampai sembilan itu, aku akan menulis pagi dan malam hari untuk mendoakan sesuatu secara khusus, kegelisahan di bulan itu.
Dari bulan Oktober aku sudah mulai gelisah karena tidak tahu mau ngapain, mencari sekolah juga rasanya belum cerah. Mau mendaftar Fulbright, takut sama politik Amerika. Masak di Indonesia jadi warga pinggiran, pindah negara juga masih tersia-sia. Walau belum tentu keterima juga, karena hasil tes TOEFL masih belum sampai di batas minimum pendaftaran. Sebagai orang yang bekerja di rumah, rasanya aku juga tidak memiliki rekan kerja yang bekerja dengan satu tujuan atau misi yang sama gitu. Tersesat. Kalau dengar teman yang dengan berapi-api bekerja atau memperjuangkan sesuatu, rasanya pingin gitu. Ingin ada api yang menyala dan bekerja dengan tujuan mulia entah apa.
Di bulan Maret itu, tiba-tiba Daniel menghubungi untuk mengajak meditasi Deepak Chopra 21 hari. Daniel yang tidak kubayangkan akan terlibat dengan urusan meditasi dan LOA-LOA abundance. Kuiyakan saja, penasaran, sebagai bentuk dukungan juga, tidak mengikat, dan tidak rugi apa-apa. Ternyata salah satu tugas dari meditasi tersebut adalah membentuk kelompok meditasiku sendiri. Dan kuajaklah beberapa teman yang kupikir sejalan dan akan mengambil manfaat dari meditasi tersebut.
Beberapa kesaksian awal mereka terasa menarik, ada yang tiba-tiba dapat warisan, dapat bonusan pekerjaan, atau akhirnya tanda tangan kontrak pekerjaan yang baru. Untukku perjalanannya berbeda, tidak ada uang cash yang datang di masa-masa itu, tapi tiba-tiba otakku berjalan dengan lincah. Entah memang berhubungan, atau hanya dua kejadian pararel saja yang kebetulan terjadi bersamaan. Tiba-tiba beberapa premis cerita yang sudah aku catat lama, mulai menemukan bentuknya. Dalam satu bulan itu ada enam cerpen yang aku tulis dengan berbagai eksperimen bentuk dan cerita yang tidak pernah aku duga ada.
Tanggal 10 April, cerpen terakhir jadi. Dua orang teman yang aku hubungi untuk membantu editing, sudah mengiyakan dengan mudah. Kebetulan ada sisa tabungan yang bisa aku gunakan untuk modal cetak. Setelah lebaran, aku juga menghubungi teman yang aku tahu bisa desain. Kebetulan lain, dia baru posting cover buku yang juga dia gambar untuk orang lain. Sepakat dengan harga dan desain, pesanan dimasukkan. Jadilah cover buku Gajah dalam Ingatan dua hari kemudian. Bahkan layouter aku tidak perlu mencari, tawaran mengerjakan datang sendiri dari seorang kawan yang merespon postingan coverku di story WA.
Aku yang pada awalnya berjalan saja sejadinya, tidak ada rencana menerbitkan buku secepat ini, jadi ikut bergerak cepat karena prosesnya juga berjalan secepat itu. Editing selesai, sebelum masuk ke layout, aku sudah buka prapesan. Dan alhamdulilah juga, banyak teman yang mendukung dengan memesan buku. Buku jadi sebelum waktu prapesan ditutup. Terasa semudah dan selancar itu.
Perjalanan Gajah dalam ingatan masih berlanjut dengan acara launching buku dan diskusi-diskusi buku berikutnya. Tawaran awal dari Colortone yang mengajak untuk launching buku di 17 Mei. Dari yang awalnya hanya akan diskusi buku di suatu sore, Semua Api jadi mempunyai ide untuk membuat rangkaian acara diskusi dan bazar buku selama dua minggu sampai di tanggal 17. Semendadak itu. Acara dengan Bawa Buku Jogja juga berjalan dengan menyenangkan dan mempertemukan aku dengan banyak orang-orang buku. Sesuatu yang memang aku harapkan dari buku Gajah ini untuk bisa membawaku kembali ke jaringan buku yang lebih luas. Sampai perjalanan ke Bandung yang juga lancar dan mudah.
Aku dan Sylvie yang membantu mengadakan acara tersebut, pada awalnya berangkat dengan semangat nothing to lose saja lah ya. Bagaimana Sylvie juga menjelaskan mengenai skena perbukuan Bandung, mengingat aku juga siapa untuk bisa mendatangkan masa berbondong-bondong. Jadi yang santai saja, anggap sekalian berjalan-jalan dan menjalin pertemanan baru. Untukku, sore itu di luar dugaan, yang datang jauh lebih banyak dari yang kami rencanakan. Bahkan beberapa orang yang hadir sampai duduk lesehan untuk diskusi tersebut. Pengalaman baru, dan itu menyenangkan.
Hari ini, Bawa Buku menghubungi untuk mengirimkan hasil penjualan buku selama satu bulan kemarin. Lucu juga rasanya.
Sebagai orang yang sedang meninggalkan struktur agama, rasanya gagap untukku membicarakan pengalaman spiritual dan penyertaan Tuhan sekarang ini. Rasanya aku tidak lagi punya kerangka yang pas untuk berbicara bahwa Tuhan menemani. Bagaimana ide yang tiba-tiba datang dan mengalir deras begitu saja. Orang-orang yang datang dan membantu dengan ringan tangan tanpa perlu aku minta. Semua kepingan puzzle yang seakan hanya menunggu waktunya untuk jatuh pada tempat di mana dia seharusnya berada. Pengalaman yang benar-benar membuat rendah hati. Apalah aku ini, karena bahkan ide ini rasanya juga bukan daripadaku. Aku hanya menulis dan menanggung malam-malam susah tidur karena terlalu bersemangat.
Pengalaman yang singkat, bahkan aku sendiri tidak tahu apakah proses ini bisa berlangsung lama. Apakah aku bisa selamanya hidup dengan berkarya. Atau berkarya mungkin bisa terus, tapi apakah aku bisa terus hidup, makan sushi, dan skincarean terus dengan menulis ini? Pertanyaan-pertanyaan menakutkan yang tentu saja terus menggelayut, apalagi in this economy. Namun empat bulan yang singkat ini rasanya membuatku tidak lagi tersesat. Akhirnya aku tahu siapa aku, aku tidak lagi hanya ingin menjadi, aku sudah menjadi. Apakah permanen, apakah identitas ini akan berhenti dan membeku di sini? Pastinya tidak. Paling tidak, sekarang aku tidak lagi ragu untuk berjalan. Paling tidak banyak hal eksternal yang dulu terasa begitu mengelisahkan, sekarang tidak lagi terasa begitu menakutkan.
Aku bersyukur, perjalanan ini, sampai di sini.
Tetap semangat menulis
BalasHapus