Kereta Malam


Musim kemarau telah datang membawa anginnya yang dingin menusuk tulang. Membuat badan ini terasa sakit terus menerus dan rasanya ingin tidak beranjak dari hangatnya selimut di tempat tidurku. Tapi keadaan ini membuatku ingin berlari dari sini, pelarian yang membawaku terdampar di kereta malam ini.
Hanya perjalanan tanpa tujuan yang akhirnya membuatku menaiki kereta ke Jakarta malam ini. Hanya dengan 26 ribu rupiah aku akan sampai ke Ibu kota dalam 12 jam.
Padat, pengap, dan penuh dengan manusia yang berdesak-desakan ingin mencari sedikit celah untuk sekadar bersandar. Dengan sedikit memaksa aku berhasil menyelinap di antara tubuh-tubuh raksasa yang mengimpit di pintu kereta yang tidak seberapa luas. Dengan hanya memeluk tas hitam kecilku yang berisi seluruh harta dan tabungan yang kukumpulkan sedikit demi sedikit. Berharap ini dapat membawaku menuju kehidupan yang lebih menyenangkan.
Beruntung, ada sedikit celah tempat duduk yang tersisa. Kuempaskan badan dan kuabaikan segala pandangan penuh tanya yang menatapku, sengaja berpura-pura sibuk dan terus berkutat dengan hape yang memang sengaja kumatikan. Menghindari pertanyaan dan percakapan apapun. Tapi semuanya memang hanya sibuk dengan dunianya sendiri. Begitu kereta ini telah bergerak dengan iramanya, menghanyutkan orang-orang dalam mimpi dan masalahnya masing-masing.
Kuedarkan pandangan melihat sekelilingku. Ada seorang ibu yang tampak tidur dengan nyenyaknya sepanjang kursi. Entah sudah berapa jam ia naik kereta ini, mungkin dari Surabaya, mungkin hanya dari Solo, entahlah. Mungkin rasa lelah sudah menghanyutkanya dalam dunia mimpi yang lebih tidak melelahkan.
Ada sepotong tubuh laki-laki yang tampak di celah kursi. Kepala dan kakinya tersembunyi di antara kursi-kursi dan kaki penumpang-penumpang. Ada yang bertekad tidur di tengah selasar dan merelakan diri dilewati oleh tukang pecel, diinjak oleh tukang kopi, dan diraba-raba oleh tukang copet.
Ternyata segalanya bisa dijual di kereta ini, dari bantal untuk tidur, kursi, kopi, es buah, buku doa dalam perjalanan, udang goreng dalam kemasan, sale pisang, telur asin, pecel, nasi goreng, mi instan, sampai charge dan baterai hape.. Warung Bu Aris sebelah rumah kalah lengkap dengan kereta ternyata. Padahal warung itu sudah yang paling lengkap sekampung.
Kurapatkan jaket putih tipisku, menghalangi angin yang masuk dari jendela dengan kaca yang hanya tinggal separuh. Mungkin kereta ini telah mengalami kekerasan para supporter sepak bola yang bertandang untuk menyaksikan tim unggulannya bertanding di ibu kota. Entah kalah entah menang, seringnya batu-batu itu tetap berterbangan, entah sudah membuat berapa kaca jendela menjadi tinggal separuh seperti kaca jendela di sampingku ini, berapakah genteng yang pecah dan mungkin ada pula kepala yang bocor karena kegembiraan para supporter yang dengan gembiranya melemparkan batu-batu di sepanjang perjalanan mereka. Mungkin itu syarat dari dukun mereka agar tim andalannya tetap berjaya.
Malam sudah semakin larut, jam tangan biruku sudah menunjukkan pukul 12 lewat. Aku tidak dapat mengingat kapan terakhir kali aku terjaga sampai selarut ini. Rasa tertarikku memandang kegelapan dikalahkan oleh rasa mengantuk yang teramat sangat. Kurebahkan kepalaku di sandaran kursi dan perlahan kepala ini mulai terhanyut bersama irama konstan roda kereta api.
Pelarian yang membuatku merasa akhirnya aku mendapatkan kebebasannku, tetapi juga membuatku merasa bersalah pada keluargaku. Bayangan wajah ibuku yang terus datang dan pergi dalam tidur tidak nyenyakku. Wajah yang biasanya penuh senyum, yang selalu memandangku dengan ramah, terakhir tampak murka karena kesalahan yang aku buat. Ketidaksengajaan yang ternyata berakibt fatal. Dan aku berlari dari padanya, tidak ingin membuatnya lebih marah lagi, tidak ingin membuatnya mengingat terus kemarahan itu dengan melihatku. Rasanya ingin pulang, tapi keputusan sudah kuambil dan aku tidak akan mundur.
“…….Yang lupa ngecharge, yang ngedrop. 10 ribu langsung pakai. Memperlancar komunikasi dan perjalanan Anda.”
Pedagang baterai hape dengan suaranya yang mengelegar membuatku terjaga sepenuhnya. Matahari sudah terbit dan udara mulai beranjak hangat dan terasa lengket. Keinginan untuk ke toilet terpaksa masih harus ditahan beberapa jam lagi. Toilet sudah dimonopoli oleh penumpang yang sudah tidak kebagian kursi yang memang disediakan maupun kursi yang diperjualbelikan. Rasa lapar juga sudah mulai menguasai perutku. Tapi diempas angin sepanjang malam membuat perut ini sudah terasa penuh walau perih.
Para pekerja kereta api mulai tampak naik menuju Stasiun Kota. Duduk bergerombol sambil tertawa-tawa dengan ceria, kontras dengan para penumpang yang sudah terhimpit semalaman dan sudah tidak memiliki energi untuk membuka mata. Mereka masih segar karena baru bangun dari tidur nyanyak dan menikmati kopi yang ditawarkan wanita pedangang dengan termos air panas dan berkaus ketat berwarna merah, yang ikut tertawa ceria bersama mereka.
Tidak yakin dengan tujuanku, aku hanya ikut turun di tempat di mana semua orang turun. Dengan semua uang yang kumiliki ini aku yakin akan mampu memulai hidupku di sini. Ya, Jakarta di mana semua ada dan bisa dilakukan.
“Jatinegara…”
***
“Jadi anak Ibu pergi dari rumah?” Wanita cantik itu sedang mewawancarai seorang ibu yang menangis sambil medekap foto anak perempuannya.
“Iya Mbak 3 hari yang lalu, ada yang kasih tahu dia pergi ke Jakarta……padahal dia masih….”
“BU.. IBU!!!”
“maaf pemirsa, rupanya ibu Murti ini tidak mampu menahan kesedihan hatinya, jadi Bapak” Wanita cantik itu beralih pada seorang bapak yang tampak kerepotan menahan istrinya sambil menunjukkan foto anak mereka “Bisa diceritakan ciri-cirinya?”
“Anak saya terakhir memakai jaket putih, membawa tas hitam kecil dan memakai jam tangan doraemon. Rambutnya sebahu, dan ia berusia 9 tahun”
Bapak itu menjelaskan sambil menunjukkan foto anak perempuan dengan rambut diikat dan masih mengenakan seragam merah putih.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Autoetnografi apaan sih?

Tes Rorschach: Antara Manual dan Kenyataan

The Geography of Faith