Republik Anak Kenalan



http://www.facebook.com/adit.mbek/photos
Malam ini saya terlibat dalam sebuah pembicaraan yang sangat menarik dengan seorang teman pembadaian otak favorit saya, Mas Mbek. Pembicaraan dengannya memang selalu menarik dan pernah di satu titik pada masa lalu pembicaraan dengannya membuat saya kembali menginjak tanah, meluruskan logika saya yang kacrut.
Kembali ke pembicaraan kami malam ini, kami membahas tentang sekolah tempat ia bekerja. Sebuah SD terpencil di perbukitan Menoreh, Kecamatan Borobudur. SD Kanisius Kenalan.
Sudah beberapa lama ini ia mengajar di tempat itu, dua tahun kalau tidak salah. Sebuah sekolah tempat ia jatuh cinta sejak pertama kali melihatnya. Dan pembicaraannya mengenai sekolah ini selalu menarik, walaupun sampai saat ini saya belum berhasil untuk mengunjunginya, sama seperti saya belum berhasil mengajaknya mengunjungi Pingit.
Hari ini kami berbicara tentang Republik Anak Kenalan (RAK). RAK adalah sebuah forum milik anak-anak SD Kenalan. Dalam forum ini anak-anak diajak untuk melihat masalah yang ada di sekitar mereka, diajak untuk mencari solusi dan menegakkan aturan bersama demi kepentingan bersama.
Sebagai contoh, pada suatu waktu lingkungan di SD Kanisius ini ditemukan banyak sampah yang berserakan. Anak-anak kelas 4 sampai kelas 6 ini kemudian diajak untuk memperhatikan keadaan di lingkungan mereka dengan sebuah pertanyaan sederhana, “Apakah lingkungan kita ini bersih atau kotor?”
Dari pertanyaan singkat itu anak-anak diajak untuk peduli dan memerhatikan lingkungan mereka. Anak-anak diajak untuk memiliki satu visi dan misi yang nyata di mana mereka ‘ingin’ membuat lingkungan sekolah mereka menjadi suatu lingkungan yang bersih. Kemudian muncul inisatif dan kesepakatan untuk membersihkan sekolah itu.

http://www.facebook.com/adit.mbek/photos
Seiring berjalannya waktu, ternyata sampah-sampah plastik tetap saja banyak dan menggunung. Maka pada pertemuan berikutnya anak-anak diajak untuk mencari solusi dari masalah tersebut. Mereka juga diberi pengetahuan bahwa plastik adalah sampah yang tidak dapat terurai secara alami.
Dari sini muncul banyak ide yang menarik dari anak-anak, mereka sepakat untuk tidak jajan dan hanya boleh jajan pada hari yang ditentukan, yaitu hari Kamis. Selain itu anak-anak juga sepakat untuk membawa bekal ke sekolah, dan jika ada yang melanggar maka pelakunya akan disidangkan pada forum yang diadakan setiap hari Kamis tersebut.
Menjadi sangat menarik bagi saya karena di sini anak-anak diajarkan untuk melihat masalah yang nyata di sekitar mereka dan adanya ajakan untuk mencari solusi dari mereka sendiri. Mereka tidak dipandang sebagai anak kecil yang hanya menaati peraturan yang sudah diterapkan oleh orang dewasa dan ternyata dengan seperti itu anak-anak tersebut juga menjadi konsekuen dengan peraturan yang sudah mereka buat sendiri.
Salah satu contoh lain dari konsekuensi anak-anak dalam menaati peraturan adalah peraturan untuk tidak membuat nangis teman sekelasnya. Peraturan ini berisi, jika membuat temannya menangis sekali, si pelaku harus menyapu kelas selama tiga hari. Jika membuat menangis untuk kedua kalinya, maka Pak Guru harus memberi peringatan pada si pelaku. Dan jika sudah tiga kali, maka uang jajannya akan disita untuk satu hari.
Dan Mas Adit kemudian bercerita, suatu pagi ada seorang anak yang mendatanginya ke kantor, anak tersebut menyerahkan uang jajannya dan mengaku bahwa ia sudah tiga kali membuat menangis seorang teman sekelasnya. Anak tesebut dengan sadar dan rela mengakui kesalahannya dan mengambil tanggung jawab akan kesalahan tersebut walaupun hal itu membuat dirinya menjadi tidak nyaman.
Dari sini saya mempunyai impian bahwa Pingit atau sekolah lain bisa menerapkan hal yang sama. Mengajak anak-anak untuk melihat masalah yang ada di sekitar mereka, mencari solusi akan masalah tersebut dan menjalankan keputusan yang mereka sepakati bersama. Sangat idealis rasanya dan menuntut usaha yang repot dari orang-orang dewasa di sekitarnya.
Mungkin saat membaca ini terlihat sangat simple dan mudah, tapi saya yakin bahwa ini bukan suatu proses yang instan. Saya mengalami bahwa lebih mudah untuk sekadar melarang dan memarahi anak-anak ketika mereka berbuat salah atau suatu kenakalan. Lebih mudah untuk membuat anak-anak menyapu dan langsung memberikan jadwal piket dibandingkan dengan mengajak anak-anak duduk bersama dan membicarakan isu kebersihan lingkungannya.
Mengajak anak-anak untuk duduk bersama ini membutuhkan suatu usaha di mana kita menyampaikan keinginan dan harapan kita dalam bahasa yang mereka pahami. Membantu anak-anak untuk benar-benar peduli dan mengerti, bukan hanya sekadar tau. Mempercayai anak-anak dengan segala idenya dan membiarkan mereka untuk melaksanakannya. Butuh kesabaran, butuh cerewet, butuh waktu dan energi yang besar untuk melihat dan mendampingi anak-anak itu menjalankan ide mereka.
Kadang sebagai orang yang lebih dewasa saya tidak sabar untuk membiarkan anak-anak berjalan dalam prosesnya masing-masing. Daripada menunggui mereka makan sendiri yang butuh waktu lama, saya memilih untuk menyuapi mereka, daripada menunggui mereka mengikat tali sepatu, saya akan memilih untuk membelikan sepatu tanpa tali untuk anak-anak. Keinginan orang dewasa untuk berjalan dengan standar kita ternyata tanpa disadari melemahkan dan menghilangkan kesempatan anak-anak untuk belajar.
Saya belajar dari Mas Adit dan guru-guru lain di SD Kanisius Kenalan ini untuk mempercayai anak-anak dan membiarkan mereka berjalan dalam prosesnya masing-masing. Memberikan wadah, kegiatan dan pendampingan yang membuat anak-anak itu belajar dan berkembang sesuai dengan potensinya masing-masing. Mereka mau repot dan bekerja lebih keras agar anak-anak itu bisa belajar hidup di satu sisi dan memenuhi kompetensi yayasan dan Negara di sisi yang lain. Karena jujur saja, sering kedua sisi itu tidak berjalan beriringan.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Autoetnografi apaan sih?

Tes Rorschach: Antara Manual dan Kenyataan

The Geography of Faith