Pingit Circle



Salah satu kegiatan baru yang diadakan oleh para Frater yang penuh semangat buat para volunteernya semester ini adalah Pingit Circle. Apakah itu Pingit Circle? Secara gampangnya--karena kemaren Frater Mario menjelaskan dengan bahasa Inggres jadi susah ingetnya—Pingit Circle adalah suatu kegiatan tempat kita bisa berbagi pengalaman dan pemaknaan akan pengalaman yang kita alami tersebut. Karena judulnya Pingit Circle, maka sebisa mungkin pengalaman tersebut juga yang beraroma Pingitlah.
Nah, sebagai pembukaan di bulan September kemarin sudah sedikit berbagi cerita dan ada PR dari Frater Mario untuk mulai merasakan pengalaman dan merefleksikannya. Berat!
Demi membuat PR tersebut maka saya mencoba untuk melihat kembali pengalaman-pengalaman yang saya alami. Dan bingunglah saya. Kayanya ya gitu-gitu aja. Dimas yang lempar-lempar batu. Masih saling berantem. Masih pada nangis kalau ejek-ejekan. Masih ribut minta dibikinin PR, saya ulangi dibikinin.
Lalu tibalah saya pada suatu kejadian sederhana, sangat sederhana. Malam itu setelah Pingit dan berangkat menuju kuliner. Target malam itu adalah SSS Monjali. Bagi para kulineran pasti sudah akrab dengan lokasi tersebut, jadi tidak perlu saya jelaskan lagi. Kami berangkat bersama dari Pingit, lewat jalan Magelang. Pada waktu itu Mas Bayu sedang hidup sehat dan naik sepeda (Maap ya Mas Bay, sebut merk), dan dia lalu berpegangan lengan saya, biar cepet maksudnya.
Rasanya waktu itu saya ketarik, tangan saya sakit, saya nggak seimbang, dan saya takut jatuh. Saya mau ngebut nggak bisa, ntar Mas Bayunya yang jatuh, tetap dalam posisi itu saya juga takut. Maka dengan beralasan saya minta dilepaskan dan saya melarikan diri, membiarkan Mas Bayu berlelah-lelah mengayuh sepeda.
Dari sini saya mendapatkan nyala lampu. Aha!
Kalau saya hanya melihat dari tangan saya yang sakit ketarik, maka tanpa pikir panjang saya akan mengambil kesimpulan bahwa Mas Bayu akan menjatuhkan saya. Jelas kan! Dia menyakiti saya! Dia menghambat laju perjalanan saya! Merusak keseimbangan saya!
Tapi mari kita lihat dari sisi yang lain. Wajar kalau saya terganggu keseimbangannya dan jadi berat yang berkendara, saya menarik orang bersepeda. Dia yang nebeng pada kecepatan yang saya miliki, wajarlah kalau saya jadi lambat karena saya membawa orang lain bersama saya. Bayu bukan menjatuhkan saya, tapi dia butuh dibantu biar bisa lebih cepat.
Saya jadi ingat dengan anak-anak, sering kita jengkel dengan anak-anak yang ngomongnya suka ora nduwe tata. Waton. Tidak sedikit pasti yang sakit hati dengan anak-anak. Tapi mari kita lihat dari sisi mereka. Apakah mereka memang bermaksud untuk menyakiti kita? Menghina? Merendahkan kita? Yakin?
Kalau menurut saya dan biar sejalan dengan refleksi saya, maka saya jawab sendiri, ‘tidak’. Mereka tidak ada maksud sama sekali untuk menyakiti apalagi menjatuhkan kita. Sebagian besar dari mereka adalah butuh perhatian dan kesenangan dari kita. Caranya saja yang sering tidak kita pahami. Caranya saja yang membuat kita sakit hati.
Jangankan anak-anak, saya pun masih sangat sering gagal paham dan gagal mengkomunikasikan apa yang saya maksudkan. Sering saya menyakiti orang karena kenyablakan saya kalau ngomong. Sering saya marah sama orang lain karena saya takut dengan ketidakmampuan diri saya sendiri. Ketika terucap, “Kok kamu nggak sebaik dia sih,” yang saya maksudkan adalah “aku maunya kamu yang baik gitu sama aku.” Gagal paham, gagal mengkomunikasikan dan akibatnya adalah membuat sakit orang lain.
So, kembali pada anak-anak. Marilah kita melihat mereka di dalam konteksnya. Banyak dari mereka yang memang benar-benar tidak mendapat perhatian. Pernah zaman awal di Pingit dulu, saat dateng, jam tujuh malem, hujan deres, dan ada seorang anak laki, enam tahun, baru mau dibelikan nasi tempat Mak Lastri dan seharian belum makan. Bukan bulan puasa juga. Ya seperti itu kondisinya. Untuk beberapa dari mereka perhatian dari kita adalah suatu kemewahan. Bermain di Bale adalah suatu penyegaran dari rumahnya yang sempit dan mungkin mambu ciu. Berlarian dan berteriak-teriak di lapangan adalah masa di mana mereka bisa meluruskan kaki, karena rumah mereka yang sempit dan padat penduduk. Mereka misuh-misuh sama kita dan sama teman-temannya karena di rumah mereka cuma dipisuhi, dikurung, atau dihajar dan tidak bisa melawan. Siapa yang tau…
Ada yang bangga sama mereka, ada yang peduli sama PR mereka, ada yang menanyakan kabar mereka, dan itu istimewa. Bagaimana mau menanyakan PR ketika orang tua satu-satunya buta huruf. Bagaimana mau bangga dengan prestasi anak-anaknya ketika mereka pulang sudah lelah seharian mengais sampah dan menelan harga diri ditolak di sana-sini karena mengemis.
Jadi berbahagialah ketika kita ‘dimatak-matake’, ‘digoblok-gobloke’, ‘dicangkem-cangkemke’ sama anak-anak. Mereka percaya sama kita, mereka butuh perhatian kita. Ya bukannya nggak ditegur juga, tapi nggak perlu kan kita ikut mutung atau marah hanya karena hal-hal itu. Kalau kamu mengambil batu yang sama besarnya dan melempar balik Dimas yang melemparmu dengan batu, maka kembalilah ke kelas TK dan belajar, bukan mengajar.

Komentar

  1. what a sweet reflection :)
    *kemudian kangen Pingit*

    BalasHapus
  2. kalau masih mutung, mari bergabung dengan yg sama" mutung lalu buka 'kelas mutung' lalu mutung bersama-sama. hahai

    BalasHapus
  3. Vania, ayo ke Pingit lageee... Bawa silver Queen yang banyak :D

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Autoetnografi apaan sih?

Tes Rorschach: Antara Manual dan Kenyataan

The Geography of Faith