Pemuka Agama yang Bijakasana
Beberapa hari ini banyak orang yang dikejutkan dengan pernyataan
mudurnya Bapak Paus di Vatikan sana. Keputusan ini dianggap tidak biasa karena
pada umumnya jabatan Paus ini adalah jabatan seumur hidup. Di Indonesia
sendiri, beberapa hari yang lalu muncul sebuah berita ditemukannya kerangka
seorang mantan suter dan dua orang janin yang sedang dikandungnya, rupanya
mantan biarawati tersebut dibunuh oleh kekasihnya yang pada waktu itu adalah
seorang Pastur.
Di sebuah komik Jepang yang saya baca, diceritakan ada orang-orang yang
heran ketika seseorang dengan penampilan yang anak muda banget dengan kaos merk
Nike, gondrong dan bersepatu boot adalah seorang pendeta kuil[1].
Keheranan para tokoh komik itu adalah yang sama dengan yang saya rasakan ketika
saya mendengar berita mengenai pembunuhan yang dilakukan oleh Pastur tersebut.
Pada umumnya kita pasti memiliki suatu kerangka yang membingkai pola
pikir kita mengenai para pemuka agama dari agama yang kita anut. Dalam kasus
saya, pemuka agama Katolik. Para pemuka agama tergambarkan sebagai seorang
lelaki-agama
kebanyakan masi patriakis, baik hati, ramah tamah, bijaksana, tidak sombong,
jika selibat maka akan setia dengan komitmennya itu, bahkan tidak mungkin jatuh
cinta, tidak duniawi dan hidup dalam kemiskinan.
Ya kira-kira begitulah gambarannya. Gegar budaya pertama saya adalah
ketika pada suatu acara makan malam rombongan untuk pertama kalinya, saya
mendengar seseorang yang memanggil frater dengan sebuatan “Ndhes!” Hancur sudah
stereotip dalam otak saya bahwa frater adalah seorang yang harus dihormati.
Semakin ke sini, semakin saya mengenal dekat mereka, semakin hancurlah
bingkai yang mengotaki pikiran saya mengenai para pemuka agama yang baik hati.
Mereka tetap sih orang baik hati, ramah tamah, senang berbagi makanan,
bijaksana untuk dimintai masukan, menyenangkan untuk diajak berteman. Tetapi
mereka juga bisa tidak suka dengan orang lain, bisa habis kesabarannya dan
marah-marah, bisa berbohong dan berkelit, bisa menjegal temannya, bisa jatuh
cinta dan melakukan kebodohan. Ya dalam pikiran saya, jadi tidak sesuai dengan
jualannya yang dari good to great.
Tidak bisa disangkal bahwa mereka manusia biasa. Pasti! Dan sebagai
seorang yang belajar psikologi, saya juga menganggap penting kesejahteraan dan
kebahagiaan psikologis seseorang. Jadi ya lumrah-lumrah saja ketika seorang
pemuka agama takut ketahuan pacaran membunuh kekasihnya itu, adalah wajar juga
ketika merasa stres Bapak Paus memilih mundur dan menjalani masa tua dengan
tenang dan bahagia. Apa salahnya?
Di sisi lain, saya pun juga manusia biasa dan juga umat biasa yang
mengandalkan para pemuka agama ini untuk mengantarkan saya kepada pengenalan
saya akan Tuhan. Bagaimana tidak, ketika masuk SMA para pemuka agama ini sudah
memasuki kehidupan yang terisolir dan disiplin di seminari. Bagi saya masuk SMA
adalah saat saya menjelang kebebasan, jauh dari orangtua dan belajar
bertanggung jawab dengan hidup saya sendiri yang sampai detik ini rasanya masih
juga belum berhasil. Saat para calon pemuka agama ini belajar untuk berdoa
dengan rutin, merefleksikan kehidupannya. Jangankan berdoa, ke gereja saja
bolong-bolong karena tidak ada orang tua yang mengingatkan.
Jadi, ketika seseorang yang sudah diformat sedemikian rupa masihlah
merupakan manusia biasa yang bisa khilaf dan penuh cacat cela, maka siapalah saya
ini. Saya juga manusia biasa yang memiliki impian dan harapan tentang seorang
pemuka agama yang sempurna, putih bersih dan memiliki lingkar halo yang
bersinar-sinar di kepalanya. Dan ketika itu tidak didapat, ketika kotbah yang
didengar tidak sesuai dengan yang ditemukan dalam hidup sehari-hari, ketika
sebagai manusia dirasa lebih menyenangkan untuk dikenal dan diajak berteman,
adalah suatu kewajaran ketika saya harus bergelut untuk menerimanya dan tetap
ke gereja seperti tidak terjadi apa-apa.
apik mesti kui komike hehehe...
BalasHapusAku langsung deg-degan dirimu sing komentar ning kene.... *kabuuurrr
BalasHapushiya...ha ha ha ha
BalasHapus