Sofa Merah Marun


Mau diakui atau tidak, tetapi segalanya berawal dari ruang tamu ini. Ruangan yang hanya seluas 9 m2, dengan sofa berbantalan beludru merah marun. Ruangan yang selalu didominasi asap rokok yang diembuskan oleh Ethan, sahabatku. Eh, bukan benar-benar sahabatku pada awalnya. Tapi sekarang dia sahabatku, mentorku, konselorku dan bullier-ku.
Lima bulan yang lalu tepatnya, aku mendamparkan diri di sofa merah marun itu. Telentang dan bercerita, dengan ditemani segelas teh dan Ethan dengan sebungkus LA merahnya.
“Iya, aku tahu kalau kami lebih baik putus. Iya, aku tahu kalau dilanjutkan juga tidak akan sampai ke mana pun. Aku tahu…”
“Tapi…??” Ethan bertanya dengan nada menyebalkannya seperti biasa. Seperti biasa.
“Tapi sakit.”
Tidak ada air mata yang menetes di ruang tamu Ethan pagi itu. Tidak banyak juga rahasia yang kuungkap dari hubunganku dengan sahabatnya yang sudah berlangsung selama dua tahun ini. Bahkan sekarang, tidak banyak yang tersisa di ingatanku mengenai percakapan pagi itu.
Satu yang aku ingat, untuk pertama kalinya setelah aku hubunganku berakhir, setelah kandasnya suatu hubungan yang disebut cinta dan setelah hatiku remuk secara resmi, kepalaku terasa jernih. Rasanya ada yang mengangkat kabut yang sudah menyelimuti otakku selama berhari-hari setelah secara resmi, Wisnu−sahabat Ethan, mantanku−tidak lagi menyandang status kekasihku dan mengganti statusnya menjadi kekasih orang lain.
Kabut yang mendominasi otakku dengan suara-suara, “Bagaimana kalau waktu itu aku bisa lebih sabar, mungkin Wisnu akan memilih tetap bertahan?”
“Bagaimana jika dulu aku lebih perhatian? Tidak sibuk dengan kuliahku terus. Apakah dia tidak akan meminta putus?”
“Bagaimana kalau dia nanti mau memintaku berbaikkan? Mau nggak ya?”
Ah… pikiran-pikiran kotor yang mendominasi kepalaku. Penyesalan karena kehilangan. Pikiran yang hanya bisa menjadi pikiran, karena masa lalu tidak akan kembali. Dan masa depan? Siapa yang tahu.
Hari itu, setelah pembicaraan berjam-jam. Aku tidak lagi menggapai-gapai masa lalu dan menginginkannya kembali. Entah apa yang benar-benar Ethan katakan, aku tidak tahu. Aku hanya ingat ejekan-ejekkannya yang rasanya menyentilku akan kebodohanku di masa lalu. Tapi apapun yang ia katakan, rasanya aku kembali bisa menghargai diriku sendiri lagi. Aku yang sudah tidak dipilih oleh Wisnu.
Entah kenapa, pagi itu aku memilih untuk berakhir di sofa merah itu. Duduk dan memeluk lutut, karena rasanya aku akan pecah jika kulepaskan. Ethan yang tidak pernah menjadi tempatku bercerita selama ini. Ia hanyalah seorang yang menghabiskan malam-malam bersama Wisnu untuk bermain PS. Kenapa bukan kepada para sahabatku yang sudah menjadi tempat curhatku selama ini? Yah, apapun lah. Tapi itu adalah salah satu keputusan terbaik yang aku ambil. Bersama Ethan, aku menemukan kembali siapa aku. Aku yang benar-benar kusukai, bukan aku yang menyenangkan orang lain hanya karena aku tidak bisa bertahan sendirian.
Jadi di sinilah aku malam ini. Dalam ruang tamu bersofa merah marun. Ruang tamu yang sudah pekat oleh asap rokok.
“So…” Ethan yang selalu menyebalkan. Memandangku dengan gayanya yang menyebalkan. Menyalakan rokoknya dan mengembuskan asapnya dengan muka nikmat yang tetap menyebalkan.
“Apa?” tanyaku menantang.
“Galau apa lagi sekarang?” Ah, sekarang dia memerlihatkan senyum liciknya yang super menyebalkan.
“Apa harus galau dulu kalau main ke sini?”
“Diminum dulu, Mas.”
“Thank you.” Jawabku sambil menerima gelas yang diangsurkan Siska, istri Ethan.
“Tapi beneran masih galau kan?”
“Iya… Aku jadian sama Donny. Dan kayanya Ibuku mulai curiga deh aku gay…”
Malam yang akan panjang. Tampaknya Siska harus membuatkan beberapa gelas kopi lagi.

Komentar

  1. aseeeem.. abis baca aku diem sebentar dan baru sadar.. aku itu ternyata laki-laki.. *utekku lemot*

    BalasHapus
  2. aku juga baru sadar kalo aku itu laki-laki pas di tengah-tengah kok Cik :D

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Autoetnografi apaan sih?

Tes Rorschach: Antara Manual dan Kenyataan

The Geography of Faith