Ketika Agoni Tidak Boleh Menyanyi



Sore, 14 Februari 2018, di tengah ribetnya COD dagangan, saya tiba-tiba mendapat kabar bahwa pementasan Agoni yang rencananya akan diadakan di Galeri Lorong malam itu, harus dibatalkan. Pementasan yang bertajuk "Pameran Solidaritas Tanah Istimewa" ini dibatalkan karena Pak Dukuhnya menghubungi pihak Galeri setelah beliaunya juga dihubungi oleh pihak kepolisian untuk membatalkan acara tersebut. Alasan yang diajukan adalah karena acara ini tidak pro dengan program pemerintah dan dianggap meresahkan. Siapa sebenarnya yang resah ya?
Setelah saya ingat kembali pembatalan pementasan kali ini bukanlah kali pertama bagi Agoni sejak saya terlibat dengan mereka, tapi pembatalan sebelumnya terjadi beberapa hari sebelum pementasan, kali ini, kabar datang dua jam sebelum jadwal tampil. Apalagi bagi para anggota Agoni yang lain, ini pastinya pembatalan pementasan yang kesekian kalinya bagi mereka.
Pembatalan ini pastinya memunculkan beragam reaksi dari orang-orang yang terlibat. Antara marah sampai tidak habis pikir kenapa acara seperti ini acapkali dibatalkan. Marah dengan adanya represi yang dilakukan oleh aparat dan menghalangi hak orang lain untuk berbicara, menyuarakan solidaritasnya. Tidak habis pikir dengan betapa kasarnya cara bermain penguasa untuk membungkam suara-suara tersebut.

Kejadian ini sendiri terjadi bersamaan dengan "Deklarasi Jogja Damai Menolak Kekerasan, Intoleransi, dan Radikalisme". Deklarasi yang menyatakan bahwa Jogja merupakan rumah besar bagi keberagaman yang tidak membeda-bedakan suku, ras, agama, dan antargolongan tanpa terkecuali. Tanpa terkecuali katanya. 
Deklarasi yang semoga saja bisa dilaksanakan karena Jogja yang dalam beberapa waktu ini dianggap mengalami darurat toleransi. Ada beberapa kejadian berturut-turut yang membuat prihatin banyak pihak. Pembatalan bakti sosial di sebuah gereja oleh ormas, seseorang yang menyerang saat misa di sebuah gereja, dan kemarin pembatalan acara solidaritas yang dilakukan untuk korban penggusuran di Temon, Kulon Progo. Kejadian yang juga memunculkan anggapan bahwa pemimpin Jogja tidak lagi benar-benar peduli pada masyarakat yang harus dilindungi dan diayominya. Masyarakat yang tidak melulu menguntungkan bagi pemasukan daerah, masyarakat yang pastinya tidak selalu sealiran atau seagama atau segolongan. 
Apakah semua kejadian tersebut adalah karena kurangnya atau malah tanda dari hilangnya toleransi? Saya sendiri juga kurang paham. Saya pernah tahu bahwa saat semua daerah lain di Indonesia rusuh dengan alasan berbagai perbedaan 20 tahun yang, Jogja selamat dari semua itu. Jogja yang saya tahu memang pernah nyaman dan aman untuk saya yang multiple minoritas ini. 



Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Autoetnografi apaan sih?

Tes Rorschach: Antara Manual dan Kenyataan

The Geography of Faith