Manusianya mana?

Akhir-akhir ini ada beberapa berita yang ramai dibicarakan di facebook. Ada tiga yang menarik perhatian saya, yang pertama adalah tentang guru yang meninggal karena dianiyaya muridnya yang masih SMA, lalu ada berita tentang mahasiswa yang mengkartu kuning Jokowi, dan berita tadi pagi mengenai orang di Transjakarta yang menolak tawaran tempat duduk karena alasan perbedaan agama. Selain berita yang terakhir, saya tertarik-tertarik gemes dengan komentar, meme, dan wacana yang berputar di balik berita tersebut,
Mengenai kasus guru yang mengalami penganiyayaan sampai meninggal dunia, banyak sekali muncul komentar dan keprihatinan tentang bagaimana perlakuan murid ke guru oleh kids zaman now. Bagaimana zaman sekarang guru seakan tidak punya ruang dan penghargaan yang selayaknya dari berbagai pihak. Jika zaman dulu anak berbuat kesalahan dan dihukum, maka itu adalah suatu hal yang wajar terjadi. Anak-anak akan patuh, bahkan tidak berani bercerita kepada orangtuanya di rumah karena orangtua pasti memihak pada guru dan ikut memarahi si anak. Sedangkan di zaman sekarang, jika ada guru yang menghukum muridnya dengan kekerasan, bisa jadi orangtua si anak akan melaporkan guru tersebut ke komnas anak dan dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Belum lagi permasalahan gaji guru, bagaimana guru juga tidak dihargai oleh negara dan banyak permasalahan dalam pendidikan yang sudah lama terjadi juga jadi ikut menjadi dibahas dengan panas.
Saya gatel. Bukannya tidak mau menghargai guru dengan segala perjuangan dan perannya dalam mendidik dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Saya juga setuju kok kalau permasalahan pendidikan di seluruh dunia, tidak hanya di Indonesia, itu sangat banyak dan rumit. Ketimpangan dan ketidakadilan dalam sistem pendidikan itu terjadi di mana-mana. Kenapa pendidikan Indonesia jadi seperti sekarang, yang selain karena pemerintah Indonesia sendiri, juga sedikit banyak dipengaruhi oleh kondisi dunia. Iya, permasalahan itu memang terjadi. Saya setuju. Tapi semua pembicaraan dan wacana mengenai guru dan murid ini seakan-akan membuat kita lupa bahwa ada penghilangan kehidupan seorang manusia di sini. Sebelum bapak itu guru, bapak itu juga manusia lo.
Apakah jika anak tersebut dibangunkan oleh temannya, maka dia tidak akan memukul temannya? Apakah jika misalnya pada saat itu si anak dibangunkan oleh bapak bupati bisa dijamin anak itu tidak akan melakukan hal yang sama? Apakah jika si anak tadi tidurnya di tengah pasar dan dibangunkan, dia juga akan melakukan hal yang sama?
Saya jadi ingin mempertanyakan kemanusiaannya. Kenapa ada anak, di bawah umur, bisa melakukan penganiyayaan kepada sesamanya sampai menghilangkan nyawa? Kasus ini memang terjadi saat di kelas dan memang dalam konteks pendidikan. Tetapi ada nyawa yang dihilangkan di sini dan ada satu kehidupan yang juga terancam hilang, kehidupan si anak. Kenapa isunya jadi guru yang tidak dihargai, bukan hilangnya kemanusiaan sehingga ada anak yang sebegitu marahnya dan melakukan penganiyayaan sampai menghilangkan nyawa orang lain.
Sama juga dengan kegemesan saya dengan banyaknya komentar yang menyuruh si Mas Ketua BEM itu untuk belajar yang benar dan lulus saja. Atau yang mempertanyakan posisi si Masnya ini karena dia terafiliasi dengan partai atau kelompok oposisi. Atau menyalahkan cara si Masnya ini yang memang tidak tahu tempat dan waktu. Ada juga yang mempertanyakan kenapa tidak mengkartu kuning SBY. Eh, kalau masih ingat, Pak SBY dulu dibawain kerbau lo.
Baiklah, di luar si Mas ini siapa. Bukankah wajar bagi oposisi dan semua jajarannya untuk mengkritik pemerintahan? Di luar caranya bagaimana dan mungkin saja dia salah memilih wacana untuk dikritik, tapi lak yo wajar to kalau kadang meleset dalam melihat gambaran besar permasalahan dalam suatu negara sebesar Indonesia. Wong yang anggota DPR aja suka wagu kok bikin undang-undang, apalagi ini masih mahasiswa kinyis-kinyis yang mungkin 100 sks aja belum tempuh. Apakah dulu saat Orde Baru tumbang didemo mahasiswa itu semuanya bener-bener paham masalahnya di mana? Apakah menaiki gedung MPR itu adalah cara yang benar buat dilakukan? Ya belum pasti juga. Dulu sukses, orangnya banyak, yang didemo musuh orang banyak, populer, makannya jadi sah, boleh. Para aktivisnya ngga disuruh orang-orang buat “kuliah aja dulu, Dek”. Dan yang pasti, dulu belum ngetrend sosial media.
Bukankah para aktivis itu banyak yang mempertanyakan, ke mana mahasiswa selama ini dalam melihat permasalahan rakyat? Atau mempermasalahkan undang-undang yang memperketat aturan di pendidikan tinggi sehingga mahasiswa tidak bisa berpolitik dan berorganisasi. Ini ada satu yang bersuara, malah disuruh sekolah saja.
Saya bukan mau membela si mahasiswa ini, atau mau ikut-ikutan nyerang Jokowi. Dan memang tidak hanya itu kan posisi bisa diambil. Kayanya kalau ada di satu sisi jadi berlawanan dengan yang lain, ah… semena-mena. Jika ada mahasiswa yang berani bersuara dan dirundung beramai-ramai begini, lalu bagaimana jika suatu hari nanti pemerintahan di Indonesia ini menjadi tiran, dan tidak ada yang mau bersuara karena takut dirundung, misalnya? Jadi ya, di luar berbagai afiliasinya dan apa yang dikritik, yang dilakukan oleh anak ini menarik. Jika tidak menarik, pasti tidak akan viral dan menimbulkan banyak respon seperti ini kan ya?

Dan soal berita ketiga, saya prihatin jika itu benar terjadi…
Jadi, dikaitkan dengan judul, kayanya saya ini sebenarnya mau ngomong, di luar berbagai atribut apakah itu profesi, jabatan, afiliasi politik, agama, dan lain sebagainya, kita sering sekali lupa ada manusia dan kemanusiaan yang mula-mula harus kita jaga bersama.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Autoetnografi apaan sih?

Tes Rorschach: Antara Manual dan Kenyataan

The Geography of Faith