Tembok Menulis

Proses penulisan saya semester ini adalah proses terberat yang saya alami seumur hidup. Setelah sekitar enam tahun membahas masalah yang sama yaitu kecinaan. Masalah yang sudah saya temui seumur hidup saya. Yang berarti praktis saya ada di dalam situ selama 30 tahun, saya merasakan menulis itu mudah. Saat menulis bab kecinaan, saya bisa punya bayangan apa yang akan saya bicarakan, jika saya membicarakan bab A, misalnya, saya bisa tahu ke mana saya harus mencari. Petanya bisa saya bayangkan dari sekitar tahun 1740-an sampai sekarang. Permasalahan dari Sunan Kuning sampai Ahok, dari Geger Pacinan sampai Anies dan pribuminya. Saya bisa tahu, atau paling tidak membayangkan siapa saja nama-nama yang bisa saya akses untuk mencari tahu tentang suatu hal tertentu. Dan apa yang terjadi sekarang membuat saya merasa begitu buta dan tidak punya cukup amunisi untuk bisa berbicara.
Proses yang saya jalani sekarang ini pada akhirnya sudah menuntut saya untuk berproduksi, membuat tulisan tepatnya. Karena penyakit ngeyel saya yang biasanya, saya menolak untuk berbicara dengan konteks kecinaan yang sudah saya dalami selama ini. Alasan yang sebenarnya bodoh sih, tetapi saya ngotot untuk mengubah area besar-besaran. Paling tidak selama proses ini berjalan. Alasan lain, karena saya bosan berbicara tentang hal yang gelap, rasisme, pencaraian identitas sebagai minoritas, usaha untuk diterima, koping dalam mengatasi rasisme. Rasanya begitu gelap dan sedih. Tapi di sisi lain, kebuataan saya dalam arena ini juga menjadi kegelapan tersendiri dalam proses penulisan ini.
Jika digambarkan, saya ini masih dalam proses meraba-raba. Jika saya ada di danau yang bernama seni, jangankan menyelam, saya ini masih duduk-duduk di pinggiran dan hanya nyemplungin kaki saja sambil mendengarkan cerita orang-orang yang sudah menyelam. Di dalam sana ada ini lo... atau ada perdebatan seperti ini di pantai seberang sebelah sana. Rasanya semacam itu.
Saya jadi merasakan kembali ketakutan saya untuk berbicara melalui tulisan seperti ketika proses penulisan skripsi saya dulu. Dari apa yang saya alami dan apa yang saya lihat di sekitar saya, menulis memang menjadi suatu hal yang menakutkan dan terasa begitu sulitnya.
Kata Mbak Psikolog kemarin ketika saya ngobrol soal tulis menulis, apakah benar menulis itu sulit? Jangan-jangan hanya pikiran saja yang menganggap bahwa menulis adalah hal yang menyulitkan. Dan setelah kami obrolkan, ya bisa jadi memang begitu. Dalam pikiran banyak orang di Indonesia ini, menulis itu seringkali terkait dengan sesuatu yang akademis dan kebanyakan dibuat untuk dinilai. Pengalaman pertama saya menulis ya ketika di sekolah membuat karangan tiga paragraf mengenai liburan ke rumah nenek di desa. Dan setelah itu saya memang membuat banyak tulisan random tapi tidak pernah selesai. Tulisan panjang saya yang akhirnya selesai ya skripsi. Jadi wajar saja jika banyak orang yang berpikir bahwa menulis itu susah. 
Menulis akademis itu memang sedemikian susahnya, menulis fiksi bagi saya malah lebih susah lagi. Apalagi ketika kita tidak benar-benar tahu apa yang akan kita bicarakan dan seakan semua orang lain sudah berada di bidang tersebut jauh lebih lama. Seakan semua opini dan logika kita bisa dengan begitu mudahnya dipatahkan. Apalagi jika tulisan itu harus dipertemukan dengan Bapak Dosen yang begitu cerdasnya, atau begitu akademisnya. Rasanya semua tulisan itu terlalu memalukan untuk dikumpulkan dan tidak logis. Menyeramkan. Dan itu memang membuat proses menulis tambah macet.
Tapi di luar itu, di luar menulis yang harus dinilai, menulis itu adalah hal yang menyenangkan. Buat saya menulis adalah penyambung hidup. Saya menulis berbuku-buku untuk memertahankan diri saya tetap waras. Membantu saya berpikir dan memahami apa yang saya alami. Memberi saya kesempatan membicarakan hal-hal yang tidak bisa saya bicarakan dengan orang lain, atau ketika saya tidak punya teman untuk berbicara. Dan saya juga tidak tahu apakah tulisan itu bagus atau tidak, bisa dipahami atau tidak, karena hanya saya dan Tuhan yang tahu apa yang saya tuliskan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Autoetnografi apaan sih?

Tes Rorschach: Antara Manual dan Kenyataan

The Geography of Faith