Sekali Lagi Pedih ini Diciptakan

Februari 7 tahun yang lalu. Di tanggal yang tidak berbeda jauh, saya mendapatkan kabar bahwa ada yang merusak Gereja di kampung saya. Saat itu, saya dan teman-teman di sekitar saya yang tumbuh bersama di tempat tersebut merasakan sakitnya ketika ada yang merusaknya. Tidak ada yang terluka kala itu, tapi rasa sedih dan takutnya tetap saja besar. Pagar depan gereja langsung bertambah tinggi beberapa senti. 
Kemarin kejadian yang sama berulang kembali, bukan di gereja yang sama. Dan juga bukan kejadian pertama sejak tujuh tahun yang lalu. Lima orang terluka karena seseorang yang tiba-tiba masuk ke dalam gereja saat misa berlangsung dan membacok beberapa orang dengan pedang yang dibawanya. Seorang di antaranya adalah Rama sepuh yang memimpin misa. Kali ini lawannya hanya satu orang dan bapak polisi juga datang untuk menindak orang tersebut. Peluru akhirnya ditembakkan ke perut pelaku setelah dia melawan ketika akan ditangkap. 
Sebagai orang yang masih tercatat beragama Katolik di KTP, banyak kejadian akhir-akhir ini yang rasanya bikin miris dan ngeri. Ada beberapa berita mengenai presekusi kegiatan keagamaan dan pemimpin agama. Ada berita mengenai konsolidasi untuk menjadikan Jogja sebagai serambi Madinah, atau orang yang tidak mau lagi duduk bersebelahan karena berbeda agama. Dan yang membuat saya paling takut adalah beberapa cerita mengenai anak-anak yang sudah mulai membenci orang yang beragama berbeda dari mereka. Entah sebagai pihak yang takut atau juga sebagai pihak yang anti dengan orang-orang kafir. 
Ketakutan-ketakutan yang semakin banyak dan semakin mudah disebarkan dengan maraknya sosial media sekarang ini. Dalam dua jam setelah kejadian saja, saya sudah mendapatkan berbagai macam berita dari berbagai macam portal. Dari yang privat semacam whatsapp sampai portal berita online. Dan rasanya ada dorongan terus memantau dan menyebarkan berita tersebut ke orang-orang terdekat atau yang saya rasa akan tertarik dengan berita tersebut.
Di sisi lain, sebagaimana yang biasa terjadi ketika ada tindakan yang diduga intoleransi kepada minoritas seperti ini, adanya banyak himbauan untuk tetap diam. Kecenderungan untuk meredam gejolak dengan tidak membuka berita mengenai apa yang terjadi. Sesuatu yang dulu pernah saya protes dan saya ungkapkan. Kenapa tidak diberitakan saja apa adanya? 
Kondisi yang agak sulit untuk dipertahankan pada saat ini pastinya. Bagaimana caranya meredam begitu banyak portal pertukaran berita dan informasi seperti sekarang ini. Dan reflek dari banyak orang, atau dari diri saya sendiri sajalah ketika takut, saya akan mencari teman atau mencari informasi sebanyak-banyaknya mengenai apa yang sedang terjadi. Saya takut dengan apa yang terjadi, dan saya lebih takut lagi dengan prediksi-prediksi yang mungkin terjadi di depan sana. 
Saya cukup besar untuk mengingat apa yang terjadi di tahun 1998. Saya mendengar berbagai cerita mengenai kerusuhan, berbagai pembunuhan, dan pengerusakan yang terjadi di berbagai kerusuhan sebelum itu. Betapa banyak hidup yang harus diulangi kembali setelah kejadian itu, betapa banyak trauma yang harus ditanggung.
Rasanya jika bisa, saya inginnya menghindari melakukan penyembuhan trauma dengan melakukan sesuatu untuk mencegah ini. Jika bisa, saya ingin melakukan sesuatu agar perbedaan itu adalah hal yang biasa saja. Semua orang itu berbeda apa adanya, jadi apa masalahnya?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Autoetnografi apaan sih?

Tes Rorschach: Antara Manual dan Kenyataan

The Geography of Faith