Tubuh yang berubah dan bagaimana kita menerimanya

Kemarin adalah untuk pertama kalinya aku menjalani prosedur suntik mata di RS Dr. Yap. Suntik mata itu ternyata beneran suntik, matanya ditusuk gitu. Walau ternyata proses sebenarnya tidak semenakutkan itu sih. Setelah antri di pendaftaran, lalu antri lagi di persiapan one day care. Di situ pasien di panggil bersama keluarga untuk tanda tangan inform consent, dilakukan pemeriksaan tekanan darah, tekanan mata, dan diberi gelang berwarna pink. Biar tidak tertukar sama orang lain. Di kening di atas mata yang akan dilakukan tindakan juga dikasih tanda biar tidak salah suntik nanti dokternya. 



Kemudian setelah menunggu lama sekali dan baru dilakukan tindakan. Pasien dipanggil satu demi satu, diajak masuk ke ruang tunggu ruang operasi yang semi steril tulisannya. Sebelumnya semua pasian diminta melepaskan alas kaki di luar ruangan. 

Kami sekitar 5 orang diminta duduk dulu dan diabsen satu demi satu. Ketika ada satu nama yang ternyata belum ada, semua perawat jadi bingung dan mencari ke mana si Bapak yang seharusnya ikut suntik mata sore ini. Tidak lama ada satu perawat yang datang membagikan semacam kaos kaki sekali pakai, lalu perawat lain datang dengan pakaian operasi warna hijau dan dibantunya kami semua untuk memakainya. Setelah itu ada satu lagi perawat yang membagikan penutup kepala berwarna hijau juga. Di situ rasanya aku jadi terlalu excited, rasanya seru banget gitu pakai pakaian APD kaya dokter, atau kaya pasien mau operasi. Pengennya sih selfie dan foto-foto ya mumpung pakai kostum yang tidak biasa dipakai. Tapi setelah bercerita dengan seorang ibu yang sama-sama disuntik, ternyata buat beliau diberi pakaian APD itu membuatnya takut sekali sehingga menaikkan tekanan darahnya yang pada dasarnya sudah tinggi. 

Ternyata cara pandang dalam menghadapi situasi yang sama itu bisa memunculkan respon yang berbeda-beda. Awalnya aku juga cukup tegang membayangkan berbaring, lalu ada dokter bawa jarum suntik di depan mata, dan ditubleskan ke mata. Tapi selama proses beberapa kali diperiksa di RS dr, Yap, dengan perawatnya yang manis-masnis, dan alat pemeriksaan mata yang canggih, aku cukup yakin sih kalau mereka punya cara buat melakukan prosedur dengan aman dan senyaman mungkin. Selain itu sebelum prosedur sudah curhat-curhatan juga dengan seorang Ibu asal Kalimantan yang sudah veteran menjalani prosedur suntik, mungkin sudah 14 kali suntik untuk kedua matanya. Katanya jarumnya kecil, tidak terasa sakit, prosesnya cepat. Aku jadi lumayan tenang.

Setelah suntik, ternyata lumayan sakit. Ya rasanya seperti badan habis disuntik, ada kemeng-kemengnya. Tapi di mata. Rasanya langsung ingusan karena menangis, padahal mata yang habis disuntik tidak boleh kena air selama tiga hari, kalau nangis jadi kena air. Mata juga ditutup perban dan harus didiamkan semalaman, selain saat memberikan tetes mata pertama malam itu dan bisa dibuka sebentar. Tapi sakit dan mengganjalnya tidak lama, belum pulang dari rumah sakit, rasanya sudah cukup normal, hanya masih perbanan saja. 

Untukku, semua proses yang aku jalani ini-gula, mata, dan gigi-ini berasa petualangan baru yang walau mungkin terdengar aneh, menyenangkan. Sebelum mulai memeriksakan badan, rasanya aku ada di fase stuck dan bosan dengan pekerjaan. Dibandingkan dengan tahun kemarin yang ada pentas, ada persiapan pameran, ada terlibat dengan kegiatan kesenian, awal tahun ini rasanya kurang variasi kegiatan. Aku sudah coba kontak beberapa teman untuk cari-cari aktivitas. Namun, ketika semua proses pengobatan ini dimulai, rasanya malah excited.

Aku ini orang yang suka memiliki perasaan menumpuk atau membangun sesuatu, bereksperimen dengan suatu hal. Seperti misalnya belajar, atau investasi, itu adalah perasaan mencari sesuatu, lalu mengakumulasi pengetahuan, atau uang, atau apapun, dan mencari tahu apa hasilnya di masa depan. Ternyata hal yang sama terjadi di sini. Aku merasakan asiknya mengulik proses pengobatan ini. Bagaimana mengurus rujukannya, bagaimana reaksi obat ke dalam tubuh, atau kalau khusus mata, dari proses pemeriksaannya saja rasanya sudah baru sekali dengan berbagai peralatan anehnya. Dan aku juga penasaran, akan menjadi seperti apa aku beberapa bulan atau beberapa tahun ke depan. Sebagai seorang autoetnografer, proses ini menarik sekali. 

Dari proses ini aku menemukan kalau BPJS itu ternyata sangat berguna sekali. Kabarnya, sekali suntik itu bisa sampai 3 juta rupiah, dan aku bisa mendapatkannya gratis. Bahkan dokter di RS dr. Yap malah menyarankan untuk menggunakan BPJS. Dari apa yang aku baca di Twitter/X, dokter memang lebih suka pasien menggunakan BPJS, karena ketika diperlukan tindakan, pasien tidak akan mundur karena masalah harga. Dan terbukti padaku, dengan menggunakan BPJS bisa dipastikan obat yang harus diminum setiap hari akan terus ada tanpa memikirkan masalah biaya, tindakan yang harus dilakukan juga bisa dilakukan tanpa menunggu apakah pasien mampu membayarnya atau tidak. Walaupun, prosesnya memang harus lama, seperti misalnya, untuk gigi, pemeriksaan harus satu minggu sekali. Tindakan untuk mata, hanya bisa satu mata untuk satu bulan. 

Ya memang harus rajin dan tekun untuk mondar mandir ke RS dan mengantri. Tapi rasanya sistem ini sudah cukup baik untuk mengubah perilaku ke dokter dari masyarakat Indonesia yang lebih suka ke pengobatan tradisional. Dan setahuku dari beberapa pekerjaan yang melintas, BPJS terus memperbaiki dirinya dengan melakukan kajian dan wawancara kepada pengguna dan pemangku kepentingan terkait. Selain itu, para petugas kesehatan yang aku temui, walau kadang galak dan ketus, tapi sangat membantu dengan menyarankan menggunakan BPJS, membantu menguruskan rujukan, memberi petunjuk harus bagaimana, RS mana yang bisa dipilih. Sabar saja dan rajin-rajinlah bertanya. Jangan lupa, bayar iurannya agar sistem ini bisa terus berjalan dan semakin baik. Dan semoga negara ini tidak meliberalkan sistem kesehatannya setelah sekarang ini terasa meliberalkan pendidikan yang harusnya menjadi kebutuhan dasar masyarakat.

Proses pengelolaan kesehatan ini juga membuatku sadar kalau kesehatan yang lebih detail adalah suatu barang mewah. Kalau hanya hidup sekadarnya dan hanya berfungsi, kita pasti akan memprioritaskan itu. Sakit ya istirahat, minum obat flu yang dijual bebas di pasaran, atau tolak angin. Begitu terasa enak ya sudah, hari berjalan seperti biasa lagi. Aku mulai bisa melihat kesehatan tubuh dengan lebih mendetail ya setelah kebutuhan dasar dari Piramida Maslow terpenuhi. Setelah kebutuhan sehari-hari terpenuhi, tidak lagi berpikir besok bagaimana mau makan. Setelah kebutuhan akan keamanan terpenuhi, tidak lagi merasa galau kalau kosan habis dan tidak bisa bayar mau bagaimana. Bahkan rasanya setelah kegelisahan dan banyak kegalauan psikologis berlalu, aku baru bisa menyisihkan waktu dan tenaga untuk mengurusi kesehatan secara lebih serius, tidak hanya memastikan tubuh sekadar berfungsi, namun memastikan juga bahwa selain bisa berfungsi, kualitasnya juga baik.

Aku merasa cukup beruntung bisa memulai prosesnya sebelum harus ambruk atau masuk UGD dulu. Walau memang sudah ada gejala gangguan di mata, untuk membuatku bergerak. Bahkan kemarin aku sempat berpikir, apakah jika prosesnya tidak terjadi sekarang, misalnya saja sebelum hidupku bubar jalan beberapa tahun lalu, apakah aku bisa menghadapi semua ini dengan sudut pandang positif seperti sekarang, Karena sedikit-sedikit aku ingat kalau aku dulu orang yang banyak takut dan grumpy sekali. Aku masih ingin tahu bagaimana ambyarnya kesehatan atau ambyarnya hati, saling memengaruhi, atau bagaimana kejadian itu bisa membawa penderitanya memiliki bentuk yang baru. 

Beradaptasi dengan perubahan tubuh itu ternyata rumit sekali. Satu bulan mulai minum obat, ternyata harus mulai menyesuaikan dengan rasa lapar dan kenyang yang tidak seperti biasanya. Kalau biasanya sepiring nasi baru terasa kenyang, kali ini sebelum sepiring itu habis sudah kenyang duluan. Bagaimana menghadapi diagnosis, atau suatu kenyataan yang membuat kita harus mengubah kebiasaan atau siapa diri kita sama sekali. Aku merasa apa yang aku lakukan lebih mudah dengan perubahan yang perlahan dan satu demi satu. Olah raga dimulai lebih dahulu, lalu pola makan, lalu kebiasaan dengan obat-obatan. Aku masih berharap pada remisi sebelum rasa bosannya muncul. 

Di luar itu, ada banyak sekali pengalaman yang lebih mendadak. Seperti cerita Bapak yang aku temui di ruang tunggu operasi kemarin, bagaimana pengelihatannya hilang secara mendadak. Dia yang biasa aktif, bekerja sebagai dosen, kehilangan itu memukulnya. Sampai dia bercerita kalau itu membuatnya terpuruk, mengalami serangan jantung, sampai masuk ICU. Pengalaman itu terjadi satu atau dua tahun yang lalu, kemarin aku bertemu Bapak tersebut cukup bugar, dan tampak muda untuk usianya yang suudah 72 tahun. Masih menguji disertasi katanya. Masih ingin tahu bagaimana sakit pada tubuh bisa menimbulkan trauma pada jiwa, membunuh impian, atau mungkin malah memunculkan harapan baru dalam kehidupan. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Autoetnografi apaan sih?

Tes Rorschach: Antara Manual dan Kenyataan

The Geography of Faith