Mimpi yang sehari-hari

Sebagai penggemar fanatik YouTube, salah satu yang akhir-akhir ini kutonton adalah kepindahan Pandji Prangiwaksono ke New York untuk mengejar mimpinya menjadi stand-up komedian di negara di mana kesenian tersebut sudah memiliki sejarah panjang. Akhir-akhir ini rasanya orang-orang memiliki berbagai mimpi yang besar-besar melibatkan kepindahan ke luar negeri atau kepemilikan sesuatu yang begitu besar. 

Aku jadi melihat ke diri sendiri. Sepanjang hidup, sampai beberapa tahun yang lalu aku orang dengan mimpi yang jelas. Ingin menjadi penulis dan semua yang aku lakukan mengejar hal tersebut. Sampai akhirnya aku sudah menulis, menjadi buku dan terbit. Rasanya mimpi itu sudah tercapai, dan aku tidak tahu lagi mau ngapain. 

Pernah juga aku ingin melanjutkan sekolah ke luar negeri. Namun pada waktu itu kondisinya adalah aku ingin ke luar negeri karena mengejar seseorang. Patner dengan siapa aku ngobrol setiap hari, orang dengan siapa aku merasa dekat dan ingin terus dekat, sedang belajar di Eropa. Sebagai orang yang pas-pasan secara finansial, dan sedang hidup di dunia akademis, salah satu cara yang bisa aku lihat untuk bisa menyusulnya, ya dengan mencari beasiswa ke benua yang sama. Aku ini orang yang berperinsip tidak penting ke mananya, yang penting sama siapanya. 

Sampai akhirnya tahun 2020 lalu ketika hidup ambyar, byar! Bubrah semua. Relasi dengan partner yang berjalan ke arah yang tidak diprediksi, pandemi, keluar dari sekolah yang sedang dijalani, dan rusaknya kondisi psikologis yang membuat hidup rasanya kelelahan terus menerus. Di saat itu semua kehidupan yang sedang kubayangkan hilang di satu waktu. Kelulusan yang dibayangkan, kepenulisan yang seharusnya sedang kulakukan, bayangan karir yang sudah ada di kepala jika sekolah ini bisa aku selesaikan. Di sisi lain relasiku dengan patnerku itu yang entah akan bagaimana nasibnya, rasa aku mengkhianatinya, rasa takut bahwa relasi itu akan berakhir yang sampai melumpuhkan. Masalah lain adalah hancurnya kepercayaanku dengan Gereja dan segala strukturnya yang menjadi rumahku seumur hidup. Jadi di saat yang bersamaan, seluruh alasanku untuk hidup dan bergerak hilang begitu saja. 

Alhamdulillahnya, aku tidak terpikir untuk mengakhiri hidupku begitu saja di saat itu. Sebelum moment bom dijatuhkan di bulan Agustus, aku sudah merasakan kehidupan yang lebih buruk. Kebas, tidak bisa merasakan apapun. Kepala yang biasanya riuh, menyusun berbagai cerita, di bulan-bulan itu rasanya hanya putih polos. Rebahan melihat YouTube sepanjang hari, menikmati hari-hari awal pandemi yang sarat ketakutan dan ketidakpastian. Mencerna patah hati karena waktu itu si Partner sedang tidak ramah untuk dihubungi, keheningan yang tanpa penjelasan. Jadi, jatuhnya bom, dan meluapnya semua rasa yang selama ini tidak pernah aku izinkan untuk rasakan, menjadi tanda bahwa aku hidup. Menyakitkan, tapi aku merasakan kehidupan. 

Setelah itu hidup berjalan sebisanya. Sebisa aku bagun dan bekerja di hari itu. Jika tidak bisa bangun ya sudah, jika tiba-tiba menangis begitu saja ya sudah. Aku belajar untuk lebih ramah dengan diri sendiri dan bergerak lebih lambat. Energi ini tidak cukup untuk bergerak secepat dulu. Mencari bantuan dengan beberapa teman psikolog atau teman siapa saja yang bisa membantuku untuk mengurai semua kemarahan, kesedihan, kekecewaan, dan rasa sakit aku rasakan. Rasa sakit yang baru bisa aku rasakan setelah aku diizinkan untuk merasakannya oleh otoritas. Tadinya aku berpikir seharusnya rasa sakit ini tidak ada. 

Sekarang, tahun 2022 ini, jauh lebih baik tentu saja. Apakah masalahnya sudah selesai? Kurasa belum, Tapi segala yang terlihat untuk bisa diselesaikan dan diolah, sudah aku lakukan. Aku sudah mengerjakan PR yang kupikir harus aku lakukan. Sisanya adalah hal-hal yang ada di luar kendaliku. Mengganggu? Tentu saja, tapi aku sudah tidak bisa melakukan apapun untuk hal-hal itu. 

Kembali ke soal mimpi, akhir-akhir ini ketika ada obrolan soal mimpi entah dari YouTube atau sosial media lain, aku selalu bertanya ulang kepada diriku, apa yang aku ingin capai sekarang. Rasanya melihat negara lain tidak benar-benar menjadi mimpiku lagi. Seperti yang aku bilang tadi, tidak penting ke mananya, dan orang dengan siapa aku ingin berada, saat ini sudah ada di sekitarku. Sekolah lagi? Iya aku masih senang dengan segala hal yang berbau belajar. Mengasup diri dengan informasi baru, menyusun ulang data dan teori untuk mencapai pemahaman baru. Salah satu tanda yang membuatku berpikir aku sudah lebih sehat adalah aku tidak lagi berada dalam posisi, 'ya kalau mau, aku kaya gini, kalau engga mau ya sudah'. Masa itu sudah berlalu beberapa saat lalu, aku sudah menikmati belajar lagi dan mencari-cari informasi yang di hal-hal yang membuatku tertarik. Tapi kalau disuruh baca Lacan belum kuat sih.

Dan kemarin ketika bertukar kabar dengan teman yang menyarankan aku untuk pindah ke luar negeri, akhirnya aku menyatakan mimpi yang sedang kukejar saat ini. Mimpi yang rasanya begitu keseharian hingga sulit melihat itu sebagai impian. Aku ingin hidup yang stabil, pendapatan yang lebih dari hanya sekadar cukup, menjalani kehidupan yang lebih tenang dan kuharapkan lebih mudah. Setelah semua gejolak yang kualami dua tahun ini, atau mungkin lebih lama lagi sebenarnya, aku memimpikan kehidupan yang membosankan, tenang, aman, dan nyaman. Rasanya sampai saat ini aku sudah cukup banyak belajar dan berkembang, sehingga belum lagi perlu untuk keluar dari zona nyaman.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Autoetnografi apaan sih?

Tes Rorschach: Antara Manual dan Kenyataan

The Geography of Faith